Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 407)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 11 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang

 

SUARA adzan Subuh yang mendayu sendu dari toa masjid di dalam kompleks rutan, mengakhiri prosesi perdialoganku dengan Sang Pengeran Gusti. Bersamaan dengan itu, Anton dan Teguh menutup papan caturnya. Membangunkan pak Waras dan pak Ramdan.


Kembali hanya kami berempat yang solat berjamaah Subuh. Teguh langsung naik ke kasurnya setelah menaruh papan catur di sudut kamar. Seusai solat, aku tergerak untuk membuka Alqur’an. Dengan suara pelan, aku melanjutkan membaca ayat demi ayat di dalam kitab suci. 


Hingga suasana di luar kamar mulai terang dan lampu seluruh kamar di dalam kompleks rutan dimatikan secara otomatis. Suara riuh penuh canda tawa dari para tamping kebersihan menjadi penanda aktivitas rutin di dalam rutan. Bersahutan dengan suara burung parkit dan lovebird yang ada di kandang besar. Tepat di tengah-tengah taman.


“Om, kopi pahitnya sudah siap,” kata pak Ramdan ketika melihatku telah kembali menaruhkan Alqur’an di atas rak dekat tempat tidurku.


Setelah merapihkan dan membersihkan seprai, juga sarung bantal dan guling, kasur beserta pelengkap alat tidurnya ku sandarkan ke tembok. Baru aku melepas kain sarung dan turun dari lantai tempat tidur untuk menuju ruang depan. Duduk ndeprok menikmati kopi pahit yang masih kedul-kedul.


“Mimpi apa semalem, be?” tanya pak Waras, sambil menyeruput teh manis kesukaannya.


“Nggak mimpi apa-apa, pak. Emang kenapa?” ujarku seraya bertanya balik.


“Jarang-jarang babe kebangun malem langsung solat dan wirid sampai subuh kayak tadi. Makanya aku tanya, babe mimpi apa,” kata pak Waras, seraya tersenyum.


Seketika aku tertawa mendengar perkataan pak Waras. Pria yang dikenal sebagai ustadz kampung ini memang piawai dalam melahirkan suasana tenang dan riang. Meruntuhkan kegundahgulanaan yang menjadi isi jiwa para tahanan. Menghalau kepenatan yang bersemayam di dalam pikiran.


“Kok malahan ketawa to, babe ini. Kan emang bener, jarang-jarang babe bangun malem langsung solat dan wirid sampai subuh. Malahan aku yang semalem nggak kebangun,” lanjut pak Waras.


“Kali karena pak Waras nggak kebangun buat solat dan wirid kayak biasanya, makanya aku yang dibangunin. Biar di kamar ini setiap malemnya tetep ada penghuninya yang beribadah,” kataku, sambil tersenyum.


“Emang siapa yang ngebangunin, om?” pak Ramdan mendadak bertanya.


“Ya malaikatlah, pak. Masak setan atau hantu,” jawabku, dengan cepat.


“Kok om bisa tahu kalau yang ngebangunin itu malaikat?” tanya pak Ramdan lagi.


“Karena aku langsung tergerak buat solat, pak. Kalau yang ngebangunin tadi itu setan atau hantu, kan nggak mungkin gerakin aku buat solat,” sahutku, dan kembali tertawa.


“Masuk akal jawaban om ini. Yang aku pengen tahu, gimana biar kita dibangunin sama malaikat, om,” ujar pak Ramdan, penasaran.


“Nah, kalau soal itu tanyanya ke pak Waras. Aku nggak bisa jawabnya, pak,” kataku, sambil menengok ke arah pak Waras.


Sambil menggaruk-garuk kepalanya, pak Waras menyampaikan, sebelum tidur perlu membaca beberapa surah pendek dan berdoa. Termasuk menyampaikan permohonan agar dibangunkan untuk solat malam. 


“Selama ini aku selalu baca-baca dan berdoa sebelum tidur, pak. Tapi jarang bener bangun malem, apalagi mau solat,” kata pak Ramdan.


“Tambahi aja permohonan buat dikasih kesempatan untuk solat malem, pak. Sampein aja permohonan itu terus-menerus, pasti pada waktunya akan dibangunin dan pak Ramdan tergerak untuk solat malem,” sahut pak Waras, dengan suara santai. 


“Kapan waktunya aku bisa dibangunin malaikat kayak om Mario semalem itu ya, pak?” tanya pak Ramdan lagi.


“Nggak usah dipikirin kapan waktunya, pak. Kapan aja Allah berkehendak, ya terjadi. Kalau Dia belum berkehendak, terus aja ajuin permohonan dan pengharapan. Pasti akan kewujud maunya pak Ramdan,” kata pak Waras.


Seorang tamping kunci datang dan membuka gembok kamar. ia memberitahu, tahanan yang berusia di atas 50 tahun diperbolehkan keluar kamar untuk berolahraga. Aku, pak Waras, dan pak Ramdan pun langsung bergerak.


Anton yang ingin ikut berolahraga, dilarang oleh tamping kunci. Karena usianya belum memenuhi persyaratan bagi tahanan yang diberi dispensasi berolahraga sejak pagi hari.  


Ketika kami berjalan mengelilingi lapangan sepakbola dan mendekati pos penjagaan dalam, aku melihat komandan pengamanan yang mengurusku sejak awal masuk rutan, keluar ruangan. Segera aku bergeser dari lapangan dan menemuinya.


“Selamat pagi, pak,” kataku, menyapa.


“Pagi juga. Oh pak Mario. Sehat terus ya, pak,” jawabnya sambil menerima uluran tanganku untuk bersalaman.


Ia mengajakku duduk di teras depan pos penjagaan dalam. Meminta tamping membuatkan kami minuman kopi hangat.


“Kopiku belum habis di kamar, pak. Nggak usah,” kataku.


“Itu kan kopi yang di kamar. Disini kopinya beda lo,” ucap komandan, seraya tersenyum.


Dalam pertemuan itu, aku menyampaikan ucapan terimakasih atas pertolongannya menyelamatkan telepon selulerku dengan menugaskan tamping Kausar mengambilnya, sesaat sebelum pelaksanaan razia beberapa malam lalu. Pun ucapan terimakasih karena perjuangannya, tahanan yang berusia di atas 50 tahun kini diberi kesempatan khusus untuk berolahraga sejak pagi hari. 


“Kita kan teman, pak. Sudah jadi kewajiban buat saling menjaga. Hp pak Mario ada di saya, aman. Kapan diperluin, silahkan pakai. Tapi untuk sementara, gunainnya pas saya piket saja. Nanti kalau situasi telah kondusif lagi, nggak apa-apa pak Mario simpan di kamar,” tutur komandan dengan gaya kalemnya.


“Siap, pak. Terimakasih banyak atas perhatian, bantuan, dan semuanya,” kataku, dengan suara serius.


“Tetep santai aja, pak. Yang penting, ikuti aturan dengan baik. Kalau soal mau pakai botol alias hp, kapan saja bisa. Pakai punya saya juga nggak apa-apa. Toh, selama ini banyak kawan-kawan yang pakai hp saya kok,” lanjut komandan. 


Kami terus berbincang ringan. Dan aku bukan hanya disuguhi kopi pahit panas, tetapi juga dibelikan nasi uduk berlauk telor bulat sambel. Sambil menikmati sarapan, banyak hal yang disampaikan komandan. Sikap bersahajanya membuatku merasakan kenyamanan dan ketenangan. Meski tinggal di kawasan yang penuh kekerasan dan saling menjatuhkan. (bersambung)  

LIPSUS