Oleh, Dalem Tehang
SAAT kami masih menikmati sarapan sambil terus berbincang di teras pos penjagaan dalam, aku melihat pak Waras dan pak Ramdan telah selesai jogging dan duduk santai di tepian selasar. Juga tampak pak Edi di antara mereka.
Tidak lama kemudian, seorang tamping kebersihan mendekati mereka dan menyerahkan beberapa botol air mineral. Aku mengerti, pasti pak Edi yang membelikan kedua teman kamarku itu air minum. Pelepas dahaga usai berkeliling lapangan sepakbola sebanyak belasan kali.
Tampak juga di depan kantor rutan, puluhan sipir tengah berbaris rapih. Melaksanakan apel. Pergantian tim pengamanan rutan, segera dilakukan. Komandan yang mengajakku sarapan, akan segera meninggalkan tempat tugas bersama timnya. Berganti dengan tim yang lain.
“Kalau perlu telepon, jangan ragu-ragu ya, pak. Bilang aja. Nanti malem saya kan tugas lagi,” kata komandan, seraya tersenyum.
“Siap, pak. Terimakasih banyak atas kopi dan nasi uduknya pagi ini,” sahutku, juga sambil tersenyum.
Dan beberapa saat kemudian, aku berpamitan. Langsung bergabung dengan pak Waras, pak Ramdan, dan pak Edi yang masih duduk sambil berbincang santai di tepian selasar.
“Kayaknya serius bener kalau babe ngobrol sama komandan,” kata pak Edi, saat aku telah duduk ndeprok bersama mereka.
“Nggak ada yang seriuslah, pak. Cuma ngobrol ringan aja. Lagian, apa sih di dalem sini yang bisa diobrolin serius,” jawabku dengan santai.
“Tapi komandan emang sayang bener sama babe. Bayangin aja, kepala rutan dan KPR langsung lo yang mimpin razia, dia masih berani perintahin orang buat ngamanin botol babe. Gilakan itu,” lanjut pak Edi.
“Ah, sok tahu, pak Edi ini,” tanggapku, dengan cepat.
“Aku bukan sok tahu, be. Tapi emang paham bener sama gaya main nyelametin babe waktu razia kemarin itu. Aku kan sudah tiga kali masuk sini, jadi bisa dibilang sudah khatam sama gaya kawan-kawan sipir kalau jagain kawannya yang jadi tahanan,” kata pak Edi lagi, sambil tersenyum penuh arti.
“Emang beda ya kalau kita berkawan sama ipis. Lebih banyak dapet pengalaman dan pastinya lebih terjaga,” pak Waras menyela.
“Kalau dapet pengalaman, iya bener itu, pak. Tapi kalau lebih terjaga, nggak juga. Buktinya, botolku sendiri aja kena razia dua bulan yang lalu. Untung aku nggak masuk strafsel, berkat bantuan babe,” tanggap pak Edi.
“Tapi kan pak Edi tetep enjoy aja walau kehilangan botol waktu itu,” ucap pak Ramdan.
“Ya apa pula bisa kita-lah, pak. Mau ngamuk malah timbul masalah baru. Buatku, sabar saat kita susah bakal bikin lebih kuat. Jadi, ya terima aja kenyataan yang ada,” tutur pak Edi, dengan melepas senyum.
“Selain sabar saat kita susah, apalagi yang jadi pegangan pak Edi selama ini?” tanya pak Ramdan. Ada rasa penasaran.
“Tawakal saat kita takut, bakal bikin kita berani. Syukur waktu kita lapang, akan buat kita selalu ngerasa cukup. Dan ikhlas saat patah hati, bikin kita lebih bijak. Itu aja sih peganganku selama bolak-balik masuk bui,” urai pak Edi, apa adanya.
Saat kami masih berbincang, dari arah kantor rutan aku melihat sipir Almika berjalan melewati tengah lapangan menuju tempat kami duduk. Ketika ia sudah dekat, aku pun bangkit dan menyalami petugas pengamanan rutan tersebut.
“Ada titipan tante, om,” kata sipir Almika, dan menyerahkan sebuah amplop tebal.
“Apa ini, Mika?” tanyaku.
“Nggak tahu aku apa isinya, om. Tapi kalau ngelihat bentuknya sih, uang. Tante cuma bilang tolong kasih ke om, ada bantuan dari kawan om,” jawab Almika.
Ia menjelaskan, tadi malam istriku meneleponnya. Menanyakan apakah ia besok pagi bertugas piket di rutan. Kalau bertugas, diminta mampir ke rumah. Ada yang akan dititipkan buatku.
“Tadi juga tante kirim tiga bibit pohon, om. Katanya pagi ini mau ditanem di halaman Blok B. Bibit pohon jambu, mangga, dan durian. Aku serahin ke petugas penanggungjawab blok tadi di depan,” sambung sipir Almika.
“O iya, Mika. Pohonnya sudah kamu bawa juga ya. Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya,” kataku, dengan sukacita.
“Sudah, om. Paling sejam lagi kayaknya mau ditanem. Tadi ada tamping yang disuruh panggil Dino dan Basri. Biar mereka aja yang ngurusin, ngapain om nambah-nambah kerjaan,” ucap Almika, dan sesaat kemudian berpamitan. Menuju pos tempatnya bertugas. Di pos menara belakang.
“Kok istri babe malah ngirim kesini titipan kawan babe, bukannya buat dia aja. Kan dia juga yang selama ini ngurusin babe,” kata pak Edi, saat melihatku memasukkan amplop dari sipir Almika ke kantong celana.
“Istriku emang gitu, pak. Kalau sesuatu itu ditujuin buatku, nggak pernah dia mau buka, kecuali atas izinku. Toh, nanti juga pasti aku sampein ke dia, apa yang aku terima dari bantuan kawan ini,” sahutku.
“Bagus juga perilaku istri babe kalau gitu. Kalau istriku, beda bener. Semua ATM-ku aja dia yang pegang. Setiap aku tidur, pasti ngerazia dompetku pula,” lanjut pak Edi sambil tersenyum kecut.
“Semua itu kan tergantung gimana kita, pak. Kalau kita apa adanya, istri juga nggak bakal nganeh-nganeh, apalagi sampai ngerazia dompet. Kunci berumahtangga itu sederhana kok, saling terbuka aja,” kata pak Waras.
“Aku sudah terbuka sama istri, tapi masih aja dia sering bukain dompet dan tas pribadiku, pak,” ucap pak Ramdan. Menimpali.
“Kalau emang gitu, ya sudah bawaan, pak. Kalau sudah jadi karakter, susah ngerubahnya. Cuma buatku, sejelek apapun perilaku istri, itulah cerminan kita. Jadi nggak perlu diomongin ke orang lain, karena itu bagian dari aib kita juga,” sambung pak Waras.
“Jadi, kalau ngomongin istri itu yang baik-baik aja ya, pak?” tanya pak Edi.
“Iya, mesti gitulah, pak. Karena dia adalah bagian terpenting dari hidup kita. Ibaratnya nafas kita. Masak nafas kita bau malah diomongin kemana-mana, ya nggak eloklah,” sahut pak Waras dengan santainya.
Tiba-tiba pak Ramdan memberi isyarat untuk kami menengok ke arah pintu utama Blok B. Tampak Dino dan Basri baru keluar, dan berjalan cepat menuju kantor rutan.
“Mereka bakal dapet tugas nanem pohon. Baikan kita balik ke kamar aja,” kata pak Edi, dan bergerak cepat meninggalkan tempat kami kongkow.
“Bukannya kita ikut bantu-bantu, pak Edi,” kata pak Waras.
“Aku nggak pernah nyangkul, pak. Ketimbang pinggang sakit, lebih baik nanti aja ngelihat pohon-pohonnya setelah mereka tanem,” jawab pak Edi, yang terus berjalan cepat menuju pintu masuk Blok B.
“Gimana, om. Kita mau bantuin nanem pohon nggak?” tanya pak Ramdan kepadaku.
“Kita kan sudah kasih bibit pohon buah-buahannya, pak. Nggak perlulah ikut nanemnya. Toh, Dino sama Basri juga bakal nyuruh tamping kebersihan buat nanemnya,” sahutku, dan bergerak dari tepian selasar.
Spontan, pak Waras dan pak Ramdan juga mengikuti langkahku. Berjalan masuk ke Blok B dan langsung ke kamar dengan wajah cerah-ceria. Menggambarkan ketenangan batin. Yang lahir dari kesadaran, jika kehidupan kita sesungguhnya hanyalah mengikuti takdir, bukan melawan takdir. (bersambung)