Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 409)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 13 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang  

 

KATANYA mau nanem pohon buah-buahan, om. Sudah ada belum pohonnya?” tanya kap Yasin, ketika aku, pak Waras, dan pak Ramdan masuk ke kamar. 


“Pohonnya sudah dianter kok, kap. Sudah diterima sama penanggungjawab blok. Tadi juga Dino sama Basri sudah dipanggil ke kantor. Paling sebentar lagi ditanem,” jawabku.


“Oh ya. Syukur Alhamdulillah kalau gitu, om. Aku takut kelupaan aja. Kan nggak enak sama yang lain,” tanggap kap Yasin, seraya mengacungkan jempol tangan kanannya.


“Kita mau ngelihat nanemnya nggak om?” tanya Anton.


“Nggak usahlah, Ton. Ngapain. Nanti aja pas kita keluar, lihat posisinya di sebelah mana. Kalau mau cari keringet, kamu aja yang tanem pohon dari kita,” jawabku.


“Nggaklah, om. Aku nggak suka nanem-nanem. Biar orang lain aja yang kerjainnya,” ujar Anton, sambil tersenyum. 


Seusai membersihkan badan dan berganti pakaian, aku berkeinginan untuk mengisi waktu dengan beribadah. Aku bentangkan sajadah di bidang tempat tidurku, dan melaksanakan solat dhuha dilanjutkan dengan membaca Alqur’an. 


Sementara kap Yasin, Anton, pak Waras, pak Ramdan, dan beberapa kawan lain tengah menikmati sarapan. Mie rebus tanpa telur dilengkapi nasi cadong sisa kemarin.


Baru tiga lembar membaca kitab suci, tiba-tiba terasa mengantuk. Aku tidak berusaha melawannya, melainkan menerima kehadiran kantuk dengan merebahkan badan. Dan kembali tidur. Hingga suara adzan Dhuhur yang begitu kencang, membangunkanku.


Pak Waras memberi isyarat, mengajakku ke masjid untuk solat berjamaah. Bersama kap Yasin, Anton, dan pak Ramdan, kami pun jalan bersama menuju Rumah Allah. Suasana masjid terasa lengang. Setiap hari Minggu, memang anggota majelis taklim tidak diwajibkan solat di masjid. Padahal, mereka itulah yang selama ini meramaikan masjid. 


Suara puja-puji untuk Tuhan Yesus menggema dari gereja yang ada di dalam kompleks rutan. WBP yang non muslim memang sangat rutin melakukan ibadahnya. Dan semua peribadatan di dalam rutan berlangsung dengan khidmat. 


Ketika berjalan meninggalkan masjid untuk kembali ke kamar, terdengar sebuah suara memanggilku dari arah kantin. 


“Yang panggil itu Hamid, om. Pelatih volly Blok A,” kata Anton, mengenali sosok yang memanggilku.


Spontan aku mengangkat tangan. Merespon panggilannya. Namun tetap meneruskan langkah menuju pintu utama Blok B. 


“Om, Hamid lari kesini. Tunggu dululah,” kata Anton lagi.


Aku pun menghentikan langkah. Dan beberapa saat kemudian, Hamid telah berdiri di depanku.


“Bisa ngobrol sebentar, pakde?” tanya pria bertubuh atletis dengan tato bergambar burung garuda di lengan kanannya itu.


“Kali pasnya nanti ya, Hamid. Kan ini mau apel siang dulu. Habis itu ya,” sahutku, dengan memberi seulas senyum untuk pelatih tim volly Blok A tersebut.


“Nggak usah apel kan nggak apa-apa sih, pakde. Kita ngobrol sambil makan siang di kantin. Aku yang traktir,” kata Hamid lagi.


“Nggak enak kalau nggak ikut apel. Nanti habis apel, aku sama Anton ke kantin. Kamu tunggu aja disana,” jawabku, dan melanjutkan langkah untuk kembali ke kamar.


Saat akan memasuki pintu utama Blok B, Anton mengajakku melihat pohon-pohon yang beberapa waktu sebelumnya telah ditanam oleh Basri, Dino, dan tamping kebersihan. Karena pada setiap pohon diberi kertas bertuliskan asal kamar, kami pun dengan cepat mengenali pohon bibit mangga, durian, dan jambu kiriman istriku.


“Punya kamar kita yang paling tinggi dan seger, om. Kalau yang lain kayaknya kurang terawat selama ini,” kata Anton, setelah melihat puluhan pohon yang baru saja ditanam.


“Istriku kan suka sama taneman, Ton. Selama ini dia rutin ngerawat semua taneman yang ada di rumah. Bahkan, kadang malem-malem dia siramin. Jadi ya wajar aja kalau pohon kita lebih seger dari yang lain. Lagian, kayaknya yang lain itu kan baru beli,” tanggapku.


“Alhamdulillah. Mudah-mudahan tamping kebersihan yang ditugasin nyiramin pohon-pohon ini juga telaten ya, om. Biar semuanya bisa tumbuh subur dan cepet besar,” tutur Anton.


Setelah di kamar dan mengikuti apel siang, kap Yasin mengajak kami untuk segera makan bersama. Berlauk ikan asin dan sambel mentah, dengan sayuran bayam, kali ini masakan catering pesanan dari dapur rutan terasa lebih nikmat. 


“Lebih kerasa enaknya ya makanan siang ini,” kata pak Ramdan.


“Iya bener, pak. Rasa asinnya juga kerasa. Selama ini kayaknya nggak pernah dikasih garem kalau masak,” sahut Teguh.


“Buah melonnya juga banyak. Nasinya lebih pulen. Walau tetep aja banyak kerikilnya,” lanjut pak Ramdan, sambil tertawa.


Seusai makan siang, aku mengajak Anton menemui Hamid, yang menunggu di kantin. Pelatih tim volly Blok A tersebut tampak menunggu kami dengan tetap duduk di bagian sudut kantin.


“Mau makan atau minum apa, pakde. Pesen aja,” kata Hamid, ketika aku dan Anton telah duduk di depannya.


“Minum aja kali ya, Ton. Pesenin soda susu tawar aja buatku. Kamu terserah mau minum apa,” kataku kepada Anton.


“Nggak makan, pakde?” tanya Hamid.


“Barusan kami makan. Minum aja,” jawabku.


Anton langsung bergerak menyampaikan pesanan minuman kami. Hamid sendiri tengah menikmati es kopi ditambah pisang goreng keju.


“Jadi gini, pakde. Maaf kalau aku agak ngotot pengen kenal dan ketemu. Gara-gara pertandingan volly kemarin, aku bukan cuma kena semprot tapi juga rugi besar,” kata Hamid, memulai pembicaraan.


“Maksudnya gimana ya, Hamid?” tanyaku, dengan santai. 


“Hasil tanding kemarin kan seri antara Blok A dan Blok B, pakde. Selama ini, tim asuhanku selalu menang. Nah, dengan hasil seri itu, buatku bener-bener jadi sasaran kesel kawan-kawan dan keluar uang banyak,” sambung Hamid.


Aku dan Anton saling melirik. Kami teringat dengan perkataan Teguh, bila pertandingan volly petang kemarin menjadi ajang taruhan banyak tahanan. Dan Hamid sebagai pelatih tim Blok A ditengarai sebagai bandar taruhannya.


“Coba ceritain yang jelas sih. Aku nggak mudeng sama omonganmu yang ngegantung gitu,” kataku lagi.


“Gini lo, pakde. Setiap ada pertandingan volly, kan banyak aja kawan yang taruhan. Mereka kumpulinnya ke aku. Ya kayak bandar gitulah aku ini,” ujar Hamid. Membuka diri.


“Iya, terus gimana,” kataku, memotong.


“Selama ini tim Blok A kan selalu menang, jadi dapetlah aku pemasukan. Nah, kemarin sore, dengan hasil seri itu, akhirnya aku harus bayar banyak ke petaruh,” urai Hamid dengan nada suara bergetar.


Aku tersenyum. Pun Anton yang duduk di sebelahku. Terungkaplah dengan terang-benderang bila banyak hal di dalam rutan yang berisikan permainan uang. (bersambung)

LIPSUS