Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 410)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 14 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang


O gitu. Ya wajar aja sih sekali-kali kamu keluar uang, Hamid. Toh, selama ini sering menang dan kamu dapet pemasukan seperti katamu tadi. Terus masalahnya apa sama aku,” kataku, memotong pembicaraan.


“Aku minta, pakde nggak usah lagi kasih saran atau dampingi tim Blok B,” ujar Hamid, tegas.


“Lah, aku kan tinggal di Blok B, masak nggak boleh kasih saran ke tim blok tempatku. Aneh aja kamu ini. Lagian, aku kasih saran itu setelah pelatih Blok B emang beri kesempatan,” sahutku dengan cepat.


“Pokoknya gitu mauku, pakde. Tolonglah bantu aku. Kan hari Selasa nanti mau tanding lagi. Waktu kami main, pakde nggak usah keluar kamar,” lanjut Hamid, dengan menatapku serius.


“Nggak usah pakai bahasa pokoknya dong, Hamid. Kalau minta tolong, ya minta tolong aja baik-baik. Kalau pakai pokoknya gitu, aku ngerasa diancem. Dan aku paling demen kalau ada yang ngancem-ngancem gini. Karena prinsipku di dalem sini, kamu jual, aku pasti beli,” ucapku, juga menatap Hamid dengan serius.


“Bukan gitu maksudnya, pakde. Aku bener-bener minta tolong. Maaf kalau bahasaku tadi salah,” sahut Hamid dengan cepat, dan memegang tanganku yang sedang memegang gelas berisi susu soda tawar.   


“Kalau om Mario nggak muncul ke lapangan dan nggak kasih saran ke tim Blok B waktu tanding hari Selasa nanti, apa kompensasinya,” kata Anton, tiba-tiba.


Tampak Hamid berpikir keras. Ada kerutan di dahinya yang lebar dan mengkilat. Saat ia menundukkan wajahnya karena meneguk kopi di tangannya, aku melirik ke arah Anton yang duduk di sebelahku. Anak muda ini hanya tersenyum cengengesan. 


“Kompensasinya aku siapin uang Rp 500 ribu buat pakde,” ucap Hamid, setelah berdiam beberapa saat.


“Kecil amat kalau segitu mah, om. Itu cuma buat pasang taruhan terkecil kan,” Anton yang menyahut.


“Oke kalau gitu. Maunya pakde emang berapa,” jawab Hamid, dengan suara serius.


Aku terdiam. Anton juga diam. Tantangan Hamid memang nyata. Namun aku menyadari, bakal masuk ke dalam jebakan yang sulit untuk aku keluar bila menyepakati keinginan pelatih tim Blok A tersebut.


“Gini aja, Hamid. Kasih aku waktu sampai satu jam sebelum pertandingan ya. Nanti kita seobrolan lagi,” kataku, setelah cukup lama menimbang-nimbang.


Dan setelah itu, aku mengajak Anton kembali ke kamar. Sesuai janjinya, Hamid yang membayar minuman kami. 


“Aku tunggu kabar baiknya ya, pakde,” ujar Hamid, ketika kami bersalaman.


Saat berjalan menyelusuri selasar untuk kembali ke kamar, aku menegur Anton yang “menantang” Hamid untuk kesiapannya membayarku jika memenuhi permintaannya.


“Maaf, om. Aku nggak bermaksud macem-macem tadi itu, sekadar pengen ngukur keseriusan Hamid aja. Lagian, aku tahu persis kok, om bukan tipe orang bayaran,” jelas Anton dengan suara pelan.


“Maksud kamu kalau om ini bukan orang bayaran itu apa, Ton?” tanyaku.


“Apapun yang om lakuin selama ini kan semua sesuai maunya om sendiri. Bukan karena diiming-iming mau dikasih ini atau dijadiin itu. Kasarnya ngomong, uang orang bisa nggak laku kalau om emang nggak sreg,” lanjut Anton, tetap dengan suara pelan.


“Kamu jangan lupa, kita ini hidup di penjara, Ton. Seringkali idealisme dan integritas terpaksa digadaiin karena kebutuhan harian. Okelah, mungkin penilaianmu terhadap om selama ini seperti katamu tadi, tapi jangan lupa, uang sering buat kita buta dan kalap, apalagi saat kita tersudut oleh kebutuhan yang mesti dipenuhi. Nah, om nggak mau terjebak oleh situasi kayak gitu,” kataku panjang lebar. 


“Siap, om. Aku paham maksud, om. Maaf kalau tadi itu aku terlalu lancang,” ucap Anton, dan memegang tanganku. Menunjukkan keseriusannya meminta maaf.


Sesampai kami di kamar, kap Yasin yang semula rebahan di lantai bidang tempat tidurnya, spontan duduk. Dan menanyakan hasil pembicaraan dengan Hamid, pelatih tim volly Blok A.


Aku meminta Anton untuk menjelaskan semuanya. Dengan terinci, sarjana ekonomi bisnis itu menguraikan seluruh pembicaraan kami. 


Kap Yasin dan beberapa kawan lain tampak sangat serius mendengarkan apa yang disampaikan Anton. Sedangkan Teguh yang menyandarkan badannya ke tembok kamar, sesekali tersenyum.


“Jadi bener ya yang dibilang Teguh, kalau ada taruhan itu?” tanya kap Yasin.


“Bener, kap. Info Teguh emang A-1. Bener kata om Mario, si Teguh ini bukan tahanan kaleng-kaleng,” ujar Anton.


“Terus sikap om sendiri gimana sebenernya?” tanya kap Yasin, sambil melihat ke arahku, yang duduk ndeprok berdampingan dengan pak Ramdan.


“Seperti yang aku bilang ke Hamid tadilah, kap. Sikapku akan aku sampein satu jam sebelum pertandingan,” jawabku, dengan tersenyum.


“Itu kan jawaban yang sengaja om buat ngegantung, biar Hamid mikirin om terus. Aku ini tanya suara hati om yang sebenernya gimana. Mau terima itu uang dan nggak muncul waktu pertandingan, atau kayak mana,” kata kap Yasin lagi, penasaran.


“Belum aku putusin, kap. Nanti di waktu yang pas, aku ambil sikap gimana. Toh, masih lama ini,” sahutku, tetap dengan tersenyum.


“Kapan waktu yang pas buat ambil sikap itu, ayah?” tanya Teguh. Ikut penasaran.


“Ya belum tahulah, Teguh. Nanti kalau sudah aku putusin gimana sikapi tawaran Hamid, pasti aku sampein ke kawan-kawan. Santai aja,” kataku.


“Kira-kira, kapan itu, ayah?” tanya Teguh lagi.


“Kalau janjiku sama Hamid satu jam sebelum pertandingan, barangkali ya satu jam 10 menit sebelum pertandinganlah sikapku sudah ada,” sahutku, dan tertawa.


“Bener-bener lo om ini. Ngebuat kami semua dag-dig-dug dan penasaran,” ujar kap Yasin, yang kemudian juga ikut tertawa.


Tiba-tiba suara adzan Ashar terdengar dari masjid, aku pun bergerak untuk segera mengambil kain sarung dan kupluk. Diikuti pak Waras, pak Ramdan, juga Anton, dan Teguh. 


Ketika kami berjalan bersama menuju Rumah Allah. Sambil menggamit tanganku, pak Ramdan mengaku bisa memahami mengapa aku menggantung keputusan saat berbincang dengan kawan-kawan di kamar, mengenai tawaran Hamid, pelatih tim volly Blok A.


“Emang nurut pak Ramdan karena apa?” tanggapku, penasaran dengan perkataannya.


“Karena om nggak mau, belum apa-apa sikap om sudah bocor dan sampai ke telinga pelatih tim volly, baik tim Blok A maupun blok B. Dan kalau itu sampai terjadi, malah nama om yang jelek,” jelas pak Ramdan, dengan wajah serius.


Aku langsung mengacungkan jempol ke arah pak Ramdan yang berjalan beriringan menuju masjid. Aku kagumi kedalaman pengalaman dan kecermatannya dalam menilai guliran pernak-pernik cerita kehidupan. 


Saat itulah aku menyadari, pria lanjut usia ini sesungguhnya orang yang berilmu, yang selama ini tidak pernah melihat kepada keilmuannya karena ia dipenuhi oleh cahaya ilmunya. Sangat berbeda dengan orang bodoh, yang tidak akan pernah melihat kebodohan dirinya, karena diselimuti oleh kegelapan.


“Kok malah ngelamun, om,” kata pak Ramdan, sambil menyenggolkan badannya ke tubuhku.


“Ah, nggak ngelamun kok, pak. Cuma lagi kagumi kecermatan dan kedalaman ilmu pak Ramdan aja, makanya diem tadi,” sahutku, sambil tersenyum.


“Yah, om mah paling seneng ngangkat-ngangkat dan nyenengin orang. Padahal, aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kebetulan aja aku belajar nerka-nerka soal tadi itu. Kalau pas ya Alhamdulillah, nggak pas ya tetep Alhamdulillah,” kata pak Ramdan, dan tersenyum sumringah. Tanpa beban.


Aku peluk badan pak Ramdan, dan terus berjalan menuju masjid. Ada kebersamaan yang begitu kuat, bukan hanya karena tinggal di sel yang sama, namun juga memiliki beban batin yang sama; sama-sama meninggalkan istri dan anak-anak di rumah dalam balutan ketrenyuhan. (bersambung) 

LIPSUS