Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI mengikuti solat Ashar, aku langsung meninggalkan masjid. Tidak mengikuti kultum yang disampaikan ustadz Umar. Pak Waras dan pak Ramdan melihat ke arahku, yang berjalan terburu-buru menuju pintu keluar masjid.
Aku hanya memberi isyarat dengan memegang perut. Aku yakin, mereka memahami bila aku meninggalkan masjid terlebih dulu dari kawan-kawan karena ada gangguan di perutku. Mules.
Sesampai di kamar, aku langsung ke kamar mandi sekaligus membersihkan badan dan berganti pakaian. Kap Yasin yang baru selesai solat sendirian, melanjutkan membaca Alqur’an. Ia memang memiliki kebiasaan mengaji selepas solat Ashar, sedangkan aku terbiasa selepas solat Maghrib.
Aku keluar kamar dan duduk di gazebo depan kamar 34. Menonton berita di televisi. Tidak lama kemudian, pak Edi keluar dari kamarnya, sambil membawa dua cangkir berisi kopi.
“Aku sudah siapin kopi pahit buat babe. Aku sendiri yang ngerebus air dan ngebuatnya. Pasti beda rasanya,” kata pak Edi, dan menaruhkan cangkir berisi kopi pahit hangat di depan tempatku duduk.
“Namanya kopi pahit, ya sama ajalah rasanya, pak. Beda kalau kopi manis, tergantung seberapa banyak kasih gulanya,” sahutku kepada pak Edi, dan mengucapkan terimakasih atas kopi pahit buatannya.
“Iya juga ya, be. Namanya kopi nggak pakai gula, mau diracik gimana juga ya tetep pahit itulah ya. Aku kok jadi bego gini ya,” celetuk pak Edi, sambil tertawa ngakak dan memukul-mukul kepalanya.
Sambil masih tertawa ngakak, aku menyodorkan rokok ke tempat pak Edi duduk. Sesaat kemudian, ia mengambil satu batang dari dalam bungkus rokokku.
“Rokok cap Mangga. Emang aneh-aneh lo babe ini. Rokok ginianlah jadi favorit, padahal rokok yang lebih enak juga bisa beli,” kata pak Edi, seraya menyulut rokok di tangannya.
“Jangan salah, pak. Dalam urusan rokok, masing-masing kita punya selera. Ada yang sama, dan banyak yang nggak sama. Jadi, enak nggak enak itu tergantung orangnya, bukan barangnya,” jelasku.
“Babe bilang gitu karena nerapin ilmu gatuk-gatuk namanya. Ilmu nyesuai-nyesuaiin sama kesukaan pribadi. Ilmu padu-padan istilah kerennya,” sahut pak Edi dan terus tertawa ngakak.
Setelah beberapa kali mengirup kopinya, pak Edi menanyakan perkembangan perkaraku di pengadilan.
“Besok aku sidang, pak. Agendanya dengerin keterangan saksi,” kataku.
“Oh gitu, be. Pasti saksinya bakal nyudutin itu, be. Ngarang bebas sesuai apa yang disampein ke penyidik itulah yang bakal diomongin. Gitu biasanya, be,” ujar pak Edi.
“O gitu ya, pak. Tapi kan kita bisa sampein kalau yang diomongin saksi itu nggak bener. Majelis hakim pasti bisa ngenilai nantinya,” tanggapku.
“Ya iyalah, kita pasti dikasih kesempatan buat nanggepin keterangan saksi, be. Terima semua, terima sebagian, atau nolak semua keterangan saksi. Biasanya gitu majelis hakim nyampein pertanyaan ke terdakwa,” lanjut pak Edi.
“Terus apa sikapku sebagai terdakwa?” tanyaku.
“Semua tergantung sikap babe. Mau bertahan dengan kebenaran yang babe yakini, apa lentur ikuti alur permainan yang ngegelinding selama proses persidangan,” jawab pak Edi dengan cepat.
“Sikapku jelas kok, tetep bertahan dengan kebenaran yang aku yakini, pak. Dan saksi juga tahu sebenernya yang bener. Tapi kan di penyidik aja sudah diputarbalik jadi nggak karu-karuan,” ucapku dengan tegas.
“Ya sudah, kalau babe sudah punya sikap dan yakin sama kebenaran yang babe pegang, bertahan aja. Toh, ini cuma urusan dunia. Sudah kepalang ditahan kayak gini, baikan tetep jaga integritas diri aja, be. Biar Tuhan juga mau ngebantu karena kita tetep pertahanin kebenaran. Biar saksi yang ngarang bebas itu dapet azabnya di akherat nanti,” kata pak Edi, panjang lebar.
“Maksudnya saksi yang ngarang bebas bakal dapet azab itu, gimana pak?” tanyaku, dengan serius sambil menatap pak Edi.
”Babe nggak tahu ya, seseorang yang bersaksi dan disumpah atas nama Tuhan, kalau dia bohong dalam keterangannya, jangankan masuk surga, nyium bau surga aja nggak bakalan. Itu ada di salah satu hadits qudsi, be. Coba cari kalau babe nggak percaya,” jawab pak Edi, juga dengan wajah serius.
“Emang bener gitu, pak?” tanyaku lagi.
“Ya beneranlah, be. Maka aku bilang tadi, kalau babe nggak percaya, cari aja hadits qudsi-nya. Bisa babe tanya sama ustadz Umar atau pak Waras,” sambung pak Edi.
“Kalau waktu pak Edi jalani sidang dan dengerin keterangan saksi, apa yang dilakuin?” aku bertanya lagi.
“Santai ajalah aku mah, be. Biar aja saksi ngomong apa aja, kan mereka pasti ngarang bebas dan nyesuaiin ingatan sama keterangan waktu di penyidik dulu. Waktu ditanya majelis hakim, baru aku sampein tanggepanku,” jawab pak Edi.
“Kok pak Edi bisa santai gitu gimana, kan pastinya keterangan saksi itu nyudutin?” aku terus bertanya.
“Aku ini pemegang filosofi Jawa yang bunyinya: gliyak-gliyuk tumindak, sareh pakoleh,” ucap pak Edi.
“Maksudnya apa itu,” kataku, dengan cepat.
“Upaya itu dilakukan perlahan tapi tujuan tercapai. Gitulah kira-kira makna filosofi Jawa peganganku itu, be,” jelas pak Edi.
“Gimana tujuan bisa tercapai kalau keterangan saksi nggak sesuai faktanya,” ujarku, penasaran.
“Tujuan kita waktu disidang itu apa? Ungkapin kebenaran yang sebener-benernya kan, be. Biar aja saksi ngarang bebas dan nyudutin kita. Tetep aja kita fokus sama tujuan, tapi dengan cara santun dan perlahan. Bukan dengan meledak-ledak, marah atau malah nuding saksi telah berkata bohong,” urai pak Edi.
“Tapi kan keterangan saksi yang nggak bener itu perlu kita lurusin jugalah, pak,” tanggapku.
“Nggak usah mikirin begituan, be. Ancaman azab nggak bakal nyium bau surga itu sudah jelas buat saksi yang kasih keterangan bohong. Ngapain kita mikirin urusan pernak-pernik persidangan. Yang penting, tujuan kita tercapai. Tetep bertahan sama kebenaran yang sebener-benernya. Itu aja,” tegas pak Edi.
“Nurut pak Edi, saksi yang bakal hadir di sidangku besok juga bakalan ngarang bebas ya,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.
“Kalau saksi itu yang ngelaporin babe atau yang terkait, pastinya ya gitulah, be. Gitu juga saksi ahli yang didatengin penyidik, pasti sesuai skenario pelapor. Karena biasanya, saksi ahli cuma dikasih hasil BAP aja, dan diminta kasih telaahan sesuai keahliannya,” terang pak Edi.
“Susah juga ya kita perjuangin kebenaran, pak,” ucapku, dengan nada pesimis.
“Babe tahu nggak, kenapa Tuhan bikin pengadilan di padang mahsyar nanti. Karena di dunia ini nggak ada keadilan. Jadi, nanti itu Tuhan langsung yang ngadili. Yang bener masuk surga, yang salah nyemplung neraka. Tapi setidaknya, kalau kita tetep bertahan sama kebenaran yang kita yakini walau bakalan di penjara cukup lama, di akherat nanti akan dikasih penghargaan sama Tuhan. Sebaliknya, saksi yang bohong atau penegak hukum yang nggak tegakin kebenaran, bakalan dapet hukumannya. Dan hukuman di akherat itu sakitnya luar biasa. Kita hidup disini yang susah kayak gini, nggak ada apa-apanya sama nanti yang bakal mereka alami,” kata pak Edi, panjang lebar.
“Kenapa kok lari ke urusan akherat aja sih, pak. Yang kita obrolin ini kan urusan dunia,” ujarku.
“Karena pada akhirnya, hidup kita yang sebenernya itu ya di akherat itulah, be. Kalau kata orang Jawa, urip neng ndunyo iki kur mampir ngombe. Hidup di dunia ini sekadar mampir untuk minum. Karena kita kayak pengembara. Lagian, kalau sudah di bui gini masih aja ngutamain mikirin dunia, ngebuang-buang waktu aja, be,” lanjut pak Edi, dengan menggebu-gebu.
Aku hanya diam. Mencoba menelaah dan memahami begitu banyak perkataan pak Edi yang membawaku pada alur pikir baru. Memikirkan kehidupan lanjutan dari babak pertama di alam fana ini. Meski sejak di dalam rutan aku mulai menapaki kehidupan rohani, namun tak ayal apa yang dikatakan pak Edi memberi sengatan tersendiri pada jiwaku. (bersambung)