Oleh, Dalem Tehang
SENJA nan cantik akan segera berlalu, berganti malam dengan kepekatannya. Aku berpamitan kepada pak Edi, meninggalkan gazebo dan kembali ke kamar. Dan beberapa saat setelah di kamar, suara adzan Maghrib terdengar.
Pak Ramdan segera menggelar sajadah untuk kami solat berjamaah. Pak Waras minta kap Yasin mengimami solat. Setelahnya, ia yang memimpin doa. Selepas doa, aku segera naik ke lantai bidang tempat tidurku. Seperti biasanya, langsung mengambil Alqur’an dan mengaji. Pun pak Waras dan pak Ramdan terdengar sama-sama tengah membaca kitab suci di ruang depan. Hingga adzan Isya menggema, kami hentikan kegiatan tersebut. Untuk solat berjamaah kembali.
Makan malam bersama yang menjadi tradisi di kamar 30 terus berjalan seperti biasanya. Meski hanya memakan nasi cadong dengan beberapa lauk tambahan, tidak mengurangi kenikmatan mengisi perut karena selalu diselimuti dengan kebersamaan dan keceriaan.
Ketika berleha-leha di ruang depan, kembali pak Waras menyampaikan idenya untuk memasang karpet dari plastik di seluruh kamar. Mengingat telah banyak keramik yang retak, pecah, bahkan berlubang.
“Oh iya ya, pak. Kan sudah pernah soal ini kita bicarain, aku lupa tanya harganya. Jadi belum bisa sampein ke kawan-kawan,” tanggap kap Yasin.
“Kalau kap sibuk, biar aku tanya ke sipir yang biasa jual barang kebutuhan kamar dan tahanan,” kata Anton.
“Nggak usah, Anton. Aku aja nanti yang tanya. Aku janji secepetnya sampein perkembangan soal ini,” sahut kap Yasin.
Seorang tamping keamanan berdiri di balik jeruji besi. Meminta kimel-an yang menjadi tradisi setiap pergantian tim keamanan yang piket. Anton sebagai bendahara kamar, langsung merogoh saku celana trainingnya, dan mengeluarkan uang Rp 10 ribu, serta menyerahkan ke tamping.
“Kalau dihitung-hitung, setiap tim keamanan sekali piket malem sampai pagi, nggak kurang dapet uang Rp 1 jutaan ya dari tahanan,” kata pak Ramdan, beberapa saat kemudian.
“Nggak segitulah, pak. Paling antara Rp 600 sampai Rp 800 ribuan,” jawab kap Yasin.
“Ya besarlah itu, kap. Mereka kan piket dua hari sekali, berarti satu minggu bisa tiga kali. Sebulannya 12 kali. Kalau sekali piket dapet pemasukan dari ngemel ke tahanan Rp 700 ribu aja, nggak kurang dari Rp 8 jutaan sebulannya. Luar biasa ternyata seseran sipir itu ya,” lanjut pak Ramdan, diiringi tersenyum kecut.
“Dalam satu tim itu kan banyak orangnya sih, pak. Kira-kira 20-an anggota. Wajar aja kalau mereka dapet tambahan pemasukan karena sudah ngejagain kita sejak malem sampai pagi,” ucap Teguh, menimpali.
“Kalau setiap tim anggotanya 20 orang, berarti dalam sebulan masing-masing dapet seseran sekitar Rp 400 ribuan. Yah, lumayan besar juga,” ujar pak Ramdan lagi.
“Ini kenapa jadi ngitung rejeki orang ya, nggak elok tahu,” kata pak Waras, menengahi.
“Ini bukan ngomong soal rejeki, pak. Tapi soal kewajiban setiap kamar buat kasih ke tim keamanan yang jaga malem sampai pagi. Mereka kan sudah digaji negara, tugasnya ya jagain kita-kita inilah. Lah, kenapa masih aja ngemel sama kita yang dijaga, yang statusnya tahanan,” jawab pak Ramdan, dengan serius.
“Ya terserah pak Ramdan ngelihatnya gimana, tapi nurut aku, tetep aja kita ngitung rejeki orang kalau ngomongin soal ini. Ya sudahlah, masing-masing sudah diatur rejekinya sama Yang Di Langit, nggak usah protes-protes,” lanjut pak Waras.
“Bukan maksudku proteslah, pak. Manalah mungkin tahanan bisa protes. Aku cuma pengen sampein, kok tega sih para anggota tim keamanan mintain uang sama tahanan. Mereka kan tahu gimana susah lahir batinnya kita-kita ini. Jadi, sekadar lampiasin suara hati aja ini mah, pak. Nggak berani juga aku kalau nyampein protes, bisa-bisa malah kena masalah baru,” imbuh pak Ramdan, dan kali ini diikuti dengan gelak tawanya.
“Ya bilang dong kalau sekadar keluarin uneg-uneg, pak. Biar kita-kita yang dengernya juga nggak salah tanggep. Sebab, satu aja penghuni kamar yang protes sama kebiasaan disini, seisi kamar bisa kena hukuman,” ujar kap Yasin, juga ikut tertawa.
“Maaf kalau caraku tadi buat kawan-kawan jadi tegang ya. Yang penting, jangan marah ya,” kata pak Ramdan, beberapa saat kemudian.
“Memangnya kenapa kalau marah, pak?” tanya Teguh.
“Kamu perlu tahu, Guh. Kemarahan itu sering buat orang baik jadi jahat. Ngerubah orang cerdas jadi ceroboh, bisa juga ngerubah orang waras jadi nggak terkendali. Dan akhir dari kemarahan itu cuma penyesalan,” jawab pak Ramdan, sambil menebar senyuman.
“Wuih, hebat ternyata pak Ramdan ini. Berilmu dan punya pengetahuan mumpuni juga. Kenapa selama ini banyak diem aja ya, nggak mau berbagi sama kami,” tanggap kap Yasin.
“Nggak gitu juga kali. Aku inget pesen ibuku waktu baru diterima jadi ASN dulu: saat ada orang takjub sama kehebatanmu, ingetlah kalau yang mereka kagumi itu adalah penghalang yang Allah berikan buat nutupi aib-aibmu. Jangan ngelambung karena pujian, dan jangan terpuruk akibat celaan. Gitu pesen ibuku, kap,” ucap pak Ramdan.
Kap Yasin dan kami semua menganggukkan kepala mendengar apa yang diucapkan pak Ramdan, mengulang pesan sang ibu. Ada nasihat untuk tetap berkerendahan hati, tetap berdiri sesuai posisi, dan terus menyadari akan kenisbian seorang makhluk.
“Emang kita ini lebih inget pesen-pesen ibu dibandingin ayah ya. Aku juga sama dengan pak Ramdan, walau sudah punya cucu, yang sering keinget ya pesen ibu itulah,” ujar pak Waras, setelah kami berdiam beberapa saat.
“Karena ibu emang lekat lahir batin sama kita, pak. Makanya, apapun ceritanya, tetep ibu itulah yang terbaik buat kita sebagai anak-anaknya,” tanggap kap Yasin.
“Terlepas dari soal agama atau apapun juga, kita sebagai anak pasti akan banyak ikuti ibu. Fisik utamanya. Mulai dari warna rambut, kecerdasan, cara tidur, kebiasaan makan, sampai ke pengendalian rasa,” kata Teguh, menimpali.
“O gitu, jadi kepinteran kita bukan nurun dari ayah ya, Guh?” tanya Anton.
“Bukan, Ton. Sepengetahuanku, pembentukan kepinteran seorang anak itu terbentuk dari ibunya, bukan ayahnya. Tapi, 90% pembentukan fisik anak dari ayahnya,” jelas Teguh.
“Terus apa dong ciri fisik yang nurun dari ayah?” tanya Anton lagi.
“Biasanya mulai dari tinggi badan, struktur gigi, warna mata, bentuk bibir, sikap berani ambil risiko sampai ke selera humor,” jawab Teguh.
“Ngomong-ngomong soal ibu atau wanita, nurutku, yang namanya wanita hebat itu bukan karena dia cantik, kaya, pinter, bukan juga karena di sampingnya ada lelaki gagah dan kaya raya,” pak Waras buka suara.
“Jadi, nurut pak Waras, wanita hebat itu yang kayak mana?” kap Yasin mengajukan pertanyaan.
“Menurut pengetahuanku dari baca buku, yang dibilang wanita hebat itu yang mampu terus berdiri selesaiin masalahnya. Yang mampu berdoa dan percaya semua akan berlalu,” ujar pak Waras.
“Selain itu, apa lagi kriteria wanita hebat versi pak Waras,” kata pak Ramdan, memotong.
“Wanita hebat itu melukis kekuatan lewat proses kehidupan. Sabar saat tertekan, tersenyum ketika hati menangis, juga tetep diam waktu terhina. Pesonanya memancar saat memaafkan, dan pastinya ya bisa membalut luka hatinya dengan kesabaran,” sambung pak Waras.
“Ini mah kriteria buatan seorang tahanan. Karena kita lagi di penjara gini, kita pengenin wanita hebat istri kita itu kayak yang disampein pak Waras tadi,” tanggap pak Ramdan sambil tertawa.
“Jangan salah, pak. Justru karena kita punya wanita hebat yaitu istri kita, makanya kita tetep bisa bertahan dalam ketenangan selama disini. Kan banyak kawan-kawan yang akhirnya pisah sama istrinya karena masuk penjara. Kita kan nggak. Kenapa itu? Ya karena istri kita adalah wanita hebat,” jawab pak Waras dengan tegas.
Kami semua menganggukkan kepala. Memahami makna perkataan pak Waras. Betapapun tegarnya seorang laki-laki, ia tetap membutuhkan seorang wanita yang hebat. Dan bertahannya sebuah rumahtangga justru diuji saat hidup keseharian berjarak, bahkan dalam keterpurukan. Satu di penjara, satu di rumah dalam selimut hati nan merana. (bersambung)