Oleh, Dalem Tehang
MALAM semakin temaram. Kepekatannya begitu tampak di balik arak-arakan awan gelap yang ada di langit di atas kompleks rutan. Satu demi satu penghuni kamar 30 beringsut dari ruang depan, menuju tempat peraduan masing-masing. Termasuk aku.
Saat kami mulai beringsut dari ruang depan, barulah beberapa kawan yang menempati bidang ruang depan untuk tidurnya, menggelar kasur lusuhnya masing-masing.
Beberapa waktu kemudian, suara mengorok pun terdengar bersahutan. Meningkahi keheningan malam. Aku yang masih belum bisa memejamkan mata, semula merasa terganggu dengan suara mengorok kawan-kawan.
Namun kemudian aku mencoba menikmatinya sebagai sebuah alunan musik peninabobo. Benarlah kata orang: berdamai dengan keadaan akan menemukan ketenangan.
Tanpa tahu kapan mulainya aku terlelap dalam tidur, hingga tiba-tiba aku merasakan telapak kakiku ditepuk-tepuk dengan pelan. Pak Waras membangunkan untuk solat Subuh.
Dan tetap seperti biasanya, hanya kami berempat dari 12 orang penghuni kamar yang melaksanakan solat Subuh berjamaah. Pak Waras, pak Ramdan, Anton, dan aku. Selebihnya tengah terbuai dalam tidur lelapnya masing-masing.
Selepas membaca Alqur’an sebanyak lima lembar, aku langsung mandi. Menjaga kesegaran badan. Karena tamping kunci yang biasanya membukakan pintu kamar bagi tahanan berusia di atas 50 tahunan untuk berolahraga, hingga mentari mulai meninggi dengan sinar terangnya, tidak juga tampak batang hidungnya.
“Kenapalah tamping kunci nggak ngebukain pintu kamar buat kita jogging ya, om?” tanya pak Ramdan, saat aku duduk di ruang depan seusai mandi, untuk menikmati kopi pahit buatannya.
“Aku juga kepikiran gitu tadi, pak. Ada apa tamping kunci nggak bukain pintu buat kita. Makanya, aku langsung mandi aja, biar badan tetep seger,” sahutku, dan mulai menyeruput minuman hangat kesukaanku: kopi pahit.
“Nanti kalau dia lewat sini, kita tanya. Pelanggaran tamping kunci itu, nggak kasih kita yang tua-tua buat olahraga. Padahal jelas-jelas, ini kebijakan komandan,” ujar pak Waras, menimpali.
“Ambil hikmahnya aja, pak. Siapa tahu pas lagi asyik keliling lapangan malahan kenapa-kenapa,” kata Anton, menenangkan.
“Maksudnya kenapa-kenapa itu apa, yang jelas kalau ngomong itu, Anton,” ucap pak Ramdan, dengan cepat.
“Ya siapa tahu ada kejadian yang nggak ngenakin. Misalnya, tiba-tiba pas lagi asyik jalan, malah kesandung dan jatuh, akhirnya kecetit. Kan bisa aja hal-hal yang nggak diduga dan nggak ngenakin itu terjadi sih, pak. Baikan ambil hikmahnya aja, dan nggak usah pula marah sama tamping kunci,” jelas Anton, dengan santai.
“Kamu ini doain nggak baik buat kami yang sudah tua-tua ini ya, Anton. Nggak boleh gitu. Doa yang baik-baik aja belum tentu dikabulin, malah bisa-bisa doa jelek yang diwujudin. Kan runyam juga nasib kami bertiga,” lanjut pak Ramdan, yang memang suka berdebat.
“Nggak gitu lo maksudnya, pak. Aku cuma ngingetin aja. Kata pak Waras, kalau sesuatu yang kita harepin nggak kewujud, segera ambil hikmahnya. Mungkin ada ketidakbaikan disana. Nah, aku ngembangin apa yang disampein pak Waras itu. Kita kan wajib saling ngingetin sih, pak. Bukan doain yang jeleklah,” tanggap Anton.
“Sudah dulu berdebatnya. Kurangi kebiasaan beradu argumen dan ngotot sama pendapat masing-masing itu. Lagian, cuma urusan tamping kunci doang. Baikan kita mikirin mau sarapan apa,” kataku, yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.
Sontak, semua terdiam. Pak Ramdan bergerak, masuk ke ruang dalam. Tidak tahu apa yang ia lakukan. Sementara Anton mencoba menenangkan dirinya dengan menyeruput kopi manisnya berkali-kali, dan pak Waras tetap dengan gaya khasnya; duduk menyelonjorkan kaki sebelah sambil mengelus-elus jenggot lebatnya.
Seorang tamping kebersihan yang sekaligus menjajakan sarapan melewati kamar kami. Spontan aku memanggilnya. Meminta empat bungkus nasi uduk. Dan langsung membayarnya.
“Ayo kita sarapan. Pak Ramdan, sini dulu. Tolong bawain sendok ya,” ujarku, memanggil OD kamar 30 yang menenggelamkan diri dalam aktivitas di dekat kamar mandi.
Aku, Anton, dan pak Waras mengerti, pak Ramdan masih belum puas hati setelah berbeda pendapat dengan Anton beberapa saat yang lalu. Pria lanjut usia yang pernah menjadi pejabat penting di pemerintahan itu, selalu melarikan kekesalannya dengan cara menjauh dan melakukan aktivitas sesuai tugasnya di kamar.
Tanpa bicara, apalagi menunjukkan emosi berlebihan. Diam dalam kegiatan adalah caranya melampiaskan kekesalan untuk kembali menemukan ketenangan.
Tidak beberapa lama kemudian, kami berempat menikmati sarapan nasi uduk. Suasana memang tidak seperti biasanya. Sama-sama menjaga pembicaraan. Sedikit agak menegang.
“Pak, gimana caranya tahu dosa kita ya?” tiba-tiba Anton bertanya kepada pak Waras, di sela-sela menikmati sarapan.
“Lah, kan kamu sendiri sudah tahu sesuatu yang kamu lakuin itu bener apa nggak to, Anton. Yang nggak bener itulah berujung dosa,” tanggap pak Waras.
“Aku ngerti kalau soal itu mah, pak. Maksudku, bener nggak karena kita banyak dosa, jadi susah dapetin ketenangan,” lanjut Anton.
“Aku dulu pernah baca buku judulnya Syarah Bulughul Maram, Anton. Disana ditulis, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin bilang: Siapa yang hatinya bersih, maka Allah akan karuniakan kepadanya firasat untuk tahu dosanya. Sehingga jiwanya tidak bisa merasakan ketenangan dan kelapangan terhadap dosa tersebut, dan ini termasuk nikmat Allah kepada seorang hamba. Coba kamu telaah sendiri perkataan itu. Kamu kan sarjana, pastinya lebih cerdas otakmu dalam mengkaji sesuatu,” jawab pak Waras, yang juga masih menikmati sarapannya.
“Kalau nurut aku, ketenangan itu nggak melulu terkait dosa, pak,” kata pak Ramdan, menyela.
“Maksudnya gimana?” tanya pak Waras.
“Kalau pendapatku, selama masih ada rasa benci di hati, selama itulah hidup kita nggak akan tenang,” lanjut pak Ramdan.
“Jadi, biar kita ngerasa tenang, harus ngebuang kebencian, gitu ya, pak?” giliran Anton bertanya.
“Iya, cuma itu satu-satunya cara dapetin ketenangan. Ngelawan rasa benci itu dengan ikhlasin apa yang sudah terjadi sebagai bentuk pembalasan dari dosa-dosa yang sudah kita lakuin,” urai pak Ramdan.
“Kalau gitu, ya tetep aja dong, ketenangan nggak akan kita rasain kalau kita banyak dosa,” Anton menyela dengan cepat.
“Iya juga ya, Anton. Ujung-ujungnya ya ke urusan dosa itu lagi ternyata ya. Kalau gitu, kita perbanyak amal kebaikan aja sambil ninggalin dosa. Sering-sering solat taubat dan baca istighfar,” kata pak Ramdan, seraya melepas tawanya.
Melihat pak Ramdan telah kembali tertawa, kami pun ikut tertawa dan senang hati. Karena suasana yang sebelumnya terasa agak tegang, kini telah mencair kembali.
Dan saat itu, aku teringat perkataan seorang sahabat: saat kita menanam padi, rumput pun ikut tumbuh, tapi saat kita menanam rumput, tidak akan pernah ada padi yang tumbuh. Pun saat kita melakukan kebaikan, terkadang muncul hal yang buruk, namun ketika melakukan keburukan, tidak ada kebaikan yang menyertainya. (bersambung)