Oleh, Dalem Tehang
KETIKA kami masih berbincang ringan dalam keriangan, seorang tamping regis datang. Memberitahuku jika nanti jam 11.30 sudah siap di pos penjagaan dalam untuk mengikuti persidangan.
“Siap perintah,” jawabku, seraya tersenyum, yang ditanggapi tamping regis dengan senyuman pula.
“Pantes aja om sudah mandi, rupanya karena mau sidang ya,” kata Anton.
“Lah, aku kan emang biasa mandi pagi sih, Ton,” sahutku, sambil tertawa.
“Iya, om emang mandi pagi, kalau lagi ada yang mau diurus. Kalau nggak, kan pas sudah deket-deket dhuhur mandinya,” sambung Anton, yang juga tertawa.
“Anton, kamu lihat nggak tadi, om Mario kan senyum-senyum waktu tamping regis bilang kalau dia ada agenda sidang hari ini,” kata pak Ramdan, sambil melihat ke arah Anton.
“Iya, aku lihat itu. Aneh juga ya, wong ngebales penyampaian orang, kok om Mario malah senyum-senyum. Emang apa maksudnya ya, pak,” sahut Anton.
“Kamu mau tahu arti senyum om Mario tadi? Dia tersenyum itu sebenernya bukan karena bahagia denger kabar mau sidang, tapi dia nggak kepengen tamping tadi dan kita semua tahu kalau sebenernya hatinya lagi terluka,” ucap pak Ramdan, dan kembali tertawa hingga ngakak.
“Ah, pak Ramdan ini bisaan aja nebak-nebak. Sudah kayak peramal aja,” sahutku, yang juga ikut tertawa.
“Jangan salah nilai lo. Kenapa babe tadi senyum sama tamping, karena dia pengen terus nebar sedekah, pengen terus bisa dapetin cuilan-cuilan pahala dari setiap peristiwa,” ujar pak Waras, yang ikut tertawa pula.
“Beneran gitu, om?” tanya Anton, sambil memandangku yang masih tertawa.
“Inshaallah yang dibilang pak Waras itu bisa aku lakuin, Ton. Semua kan kembali ke niat. Kalau niat kita kasih senyum ke orang lain sebagai wujud penghargaan sebagai sesama, inshaallah bisa jadi sedekah dan inshaallah juga jadi pahala,” sahutku.
Sambil terus berbincang, aku menyiapkan pakaian warna putih lengan panjang, celana kain warna hitam, juga kopiah hitam, dan sepatu. Perasaanku menjadi kurang nyaman, juga kurang percaya diri melihat baju dan celana yang akan aku pakai hadir di persidangan siang nanti, dalam kondisi agak lusuh.
Anton yang melihatku beberapa kali memperhatikan kondisi pakaian dengan tatapan kurang nyaman, menyarankan agar disetrika terlebih dahulu.
“Siapa yang bisa nyetrikain ya, Ton?” tanyaku.
“Ada, om. OD kamar 33 kan buka jasa setrikaan. Sepasang pakaian bayar Rp 5.000,” kata Anton.
“O gitu. Rapih nggak nyetrikanya. Sudah mahal, kalau nggak rapih, malah kesel aja nanti,” sambungku.
“Waktu masih sidang-sidang dulu, aku selalu minta dia setrikain kok, om. Lumayan rapih. Halus bener bekas setrikanya,” jelas Anton.
“Boleh juga kalau gitu, Ton. Aku minta tolong kamu setrikain baju sama celana ini ya,” ucapku, dan memberinya uang Rp 5.000 untuk biaya menggosok sepasang pakaianku.
Anton memanggil tamping kunci, dan memintanya membawakan pakaianku ke OD kamar 33 untuk disetrika. Sebagai upah mengantar baju dan celanaku, Anton memberi satu batang rokok kepada tamping tersebut.
Sekira 20 menit kemudian, tamping itu telah membawa kembali baju dan celanaku dalam kondisi yang terlipat seusai disetrika. Rapih dan halus memang hasil kerja OD kamar 33 yang dipromosikan Anton tersebut.
“Rapih dan halus kan hasil setrikaannya, om. Kawan OD kamar 33 itu dulunya emang kerja di tempat laundry bagian setrika pakaian, jadi sudah biasa kerjain beginian,” tutur Anton, ketika melihatku cukup puas dengan hasil setrika pada pakaianku.
Waktu terus bergulir dengan cepatnya. Ketika jam di kamar menunjukkan pukul 11.15, aku pun keluar dan langsung menuju pos penjagaan dalam. Dengan memakai pakaian khas peserta sidang: mengenakan kemeja warna putih lengan panjang, celana panjang warna hitam, sepatu hitam, dan berkopiah hitam.
Dan seperti biasanya, aku juga membawa buku kecil untuk catatan, pulpen, kacamata baca, dan tentu saja satu bungkus rokok beserta koreknya. Setelah melalui proses absensi, peserta sidang hari itu sebanyak 25 orang langsung berjalan menyelusuri tepi lapangan untuk melapor ke pos penjagaan luar.
Tanpa melalui proses yang berbelit, akhirnya kami telah berada di ruang P-2-O untuk kembali menjalani pengecekan sebelum kemudian naik ke kendaraan khusus tahanan yang akan membawa ke gedung Pengadilan Negeri.
Tepat saat suara adzan Dhuhur menggema dari masjid di dalam rutan, mobil tahanan bergerak. Semula berjalan perlahan karena melewati wilayah perkampungan. Namun, saat telah memasuki jalan raya, dengan suara sirine yang mengaung dengan khasnya, kendaraan pengangkut para terdakwa itu pun melaju dengan kencangnya. Membelah kepadatan arus lalulintas, dan sekitar 45 menit kemudian telah sampai di tempat persidangan.
Ketika aku turun dari mobil, tampak istriku Laksmi dan adikku Laksa, telah menunggu di tangga tempat kami memasuki sel sementara sampai tiba waktunya memasuki ruang persidangan.
Seorang penjaga tahanan dari Kejaksaan Negeri yang telah mengenalku, langsung mengantarkan kami ke ruang bagian belakang. Terpisah dengan puluhan tahanan lain yang ditempatkan di sebuah ruangan khusus bagian depan.
Cukup lama aku memeluk istriku. Begitu besar rindu ini kepadanya. Beberapa kali aku ciumi ia. Penuh rasa cinta dalam selimut kasih sayang. Adikku Laksa juga memelukku dengan erat. Sambil tangannya terus mengelus punggungku. Menyampaikan pesan ketenangan dan tetap penuh kesabaran.
Setelah kami duduk di ruangan yang biasa menjadi tempatku menunggu jadwal sidang, istriku Laksmi mengeluarkan dua bungkus nasi berlauk ayam bakar. Aku dan adikku Laksa langsung menyantap makanan tersebut, dengan sesekali aku menyuap istriku, yang terus memelukku.
Setelah makanan habis, aku berwudhu dan solat Dhuhur. Di dalam ruangan khusus tersebut terdapat sebuah toilet kecil dan selembar sajadah. Betapapun, aku tetap bersyukur karena bisa selalu melakukan ibadah setiap kali akan mengikuti ataupun setelah persidangan.
Jaksa penuntut dan pengacaraku datang. Mengecek kesiapanku mengikuti persidangan. Setelah berbincang sesaat, mereka meninggalkan aku, istri, dan adikku Laksa. Sekitar satu jam kemudian, penjaga tahanan dari Kejaksaan Negeri datang, dengan membawa rompi warna merah. Pertanda aku segera memasuki ruang sidang.
Jalan beriringan dengan beberapa tahanan lain yang juga akan mengikuti persidangan, aku memasuki sebuah ruangan. Istriku Laksmi dan adikku Laksa telah duduk di kursi panjang. Berdampingan dengan pengacaraku, Makmun dan timnya.
Tidak beberapa lama kemudian masuk beberapa pria. Di antara mereka terdapat Yudi, pria yang melaporkanku dalam kasus penipuan dan penggelapan. Melihat kehadiran mereka, spontan darahku mendidih.
Aku tahu persis, begitu piawainya mereka merekayasa cerita hingga membuatku mendekam di penjara. Istriku Laksmi langsung memegang tangan kiriku, saat menyadari bila jiwaku mendadak hampir tidak terkendali.
“Ayah yang tenang ya. Kan ayah tahu, kebohongan cerita yang mereka akan bawa. Jadi nggak usah buat ayah kehilangan kendali,” bisik istriku, dengan santai.
Beberapa kali aku menarik nafas. Dan menghembuskannya dengan perlahan. Terus mencoba menenangkan jiwa yang sontak menggelora. Adikku Laksa yang duduk di kursi belakangku, memeluk dan membisikkan kata agar aku tetap tenang dan bisa mengendalikan diri.
Ku genggam erat telapak tangan istriku. Mencari penambah semangat untuk aku segera menemukan kembali ketenangan jiwa.
Aku menundukkan wajah, menatap lantai. Merangkai ucapan istighfar di dalam hati. Memejamkan mata, berharap Yang Kuasa segera mengembalikan ketenangan pada batinku yang terdalam. (bersambung)