Oleh, Dalem Tehang
JAKSA penuntut umum dan pengacaraku telah duduk di tempatnya. Beberapa saat kemudian, majelis hakim yang terdiri dari tiga orang, memasuki ruang sidang. Semua yang ada di tempat tersebut langsung berdiri. Menghormati kehadiran para Wakil Tuhan.
Aku diminta duduk di kursi pesakitan, dan setelah menanyakan kesiapan untuk mengikuti persidangan, majelis hakim memintaku duduk di samping pengacara. Empat pria yang dihadirkan jaksa sebagai saksi, maju ke depan. Menjalani pengambilan sumpah dengan atas nama Tuhan dan disaksikan Alqur’an yang diposisikan di atas kepala mereka.
Dan seperti yang telah disampaikan pak Edi, pernyataan saksi memang sepenuhnya mengulang cerita yang telah mereka rekayasa sejak awal ketika memberikan keterangan kepada penyidik Kepolisian. Meski terus mencoba menenangkan jiwa atas kedustaan para saksi dalam keterangannya, tidak urung emosiku pun sempat meletup. Hingga ditegur oleh majelis hakim.
Saksi yang sebenarnya aku harapkan kehadirannya yaitu Aceng, direktur utama perusahaan koperasi simpan pinjam, justru tidak datang. Meski aku telah mengira jika ia memilih tidak datang, tetapi ketidakhadirannya membuatku tetap saja merasa kesal dan marah.
Proses persidanganku kali ini benar-benar dipenuhi oleh gelegak emosi yang hampir tidak terkendali. Dan atas keterangan empat saksi yang penuh rekayasa cerita tersebut, aku tetap bertahan dengan sikapku untuk mempertahankan kebenaran. Bahwa yang aku lakukan hanyalah menandatangani surat pernyataan peminjaman dana tanpa pernah secara langsung menerima dari tangan Yudi.
Aku membantah keras kesaksian Yudi dan kawan-kawannya bahwa mereka pernah secara langsung memberikan sejumlah dana ke tanganku di ruang kerjaku.
Setelah sidang ditutup dan akan dilanjutkan pada hari Kamis dengan agenda kembali mendengarkan keterangan saksi, yakni saksi ahli dan notaris, aku bergegas meninggalkan ruang sidang dan kembali ke ruangan khusus tempatku berada selama di gedung Pengadilan Negeri.
Melihat jiwaku masih membara, istriku terus memeluk dan membisikkan kata-kata untuk memberikan ketenangan. Pun adikku Laksa.
“Kakak nggak usah kesel ya. Memang saksi-saksi tadi ngerekayasa cerita dan bikin kakak bener-bener terjepit. Tapi yang kakak jalani ini hukuman dunia, mereka akan alami hukuman yang lebih sakit di akherat nanti. Bagaimanapun baiknya perilaku mereka di dunia, karena telah bersumpah palsu atas nama Allah, akan buat mereka nggak bakal masuk surga. Bahkan, nyium bau harum surga aja nggak,” kata Laksa, panjang lebar.
“Iya, dek. Kakak juga sudah pernah denger adanya hadits qudsi soal ini. Tapi, gimana juga pernyataan mereka tadi itu buat kakak sakit hati bener,” sahutku.
“Ayah, pelan-pelan lepasin dendem dan sakit hatinya ya. Yakin aja, Tuhan nggak tidur. Semesta pasti akan bekerja dengan caranya. Tetep sabar dan ikhlas aja. Serahin semuanya dengan Yang Maha Kuasa,” ucap istriku Laksmi, sambil terus memelukku.
Terdengar suara adzan Ashar dari masjid di dalam kompleks Pengadilan Negeri mengalun dengan kencangnya. Segera aku berwudhu dan solat di atas sajadah lusuh yang ada di ruangan tempat kami berada.
Cukup lama aku merangkai doa, meminta ketenangan dan kesabaran serta keikhlasan kepada Sang Pengatur Kehidupan, Allah Rabbul Izzati.
Seusai aku solat, Laksa bergegas melakukan hal yang sama. Adik istriku ini juga cukup lama menyampaikan pengharapan melalui doanya. Aku tahu, ia pun mendoakan bagi ketenanganku.
“Ayah, ibaratnya saat ini ayah itu lagi ditenggelemin ke dasar sumur oleh banyak tangan. Nggak usah dilawan. Terima aja. Sambil ayah terus atur nafas. Nanti setelah mereka mengira ayah telah mati, perlahan ayah muncul ke permukaan air, dan menaiki dinding sumur untuk akhirnya bisa kembali keluar dari sumur tersebut,” kata istriku Laksmi, dengan menatapku penuh rasa keprihatinan.
“Iya, bunda. Ayah akan pahami dan lakuin apa yang bunda sampein. Inshaallah, ayah tetep bisa sabar dan kembali temuin ketenangan,” jawabku, dan memeluk Laksmi dengan eratnya.
Setelah melipat sajadah, Laksa mendekatiku. Memelukku dengan erat. Dan membisikkan agar aku tetap tenang. Karena semua sudah digariskan oleh Sang Pengatur Kehidupan.
“Jangan berprasangka buruk atas takdir ini ya, kak. Tetep yakin, Allah pasti akan beri yang terbaik dan terberkah buat kakak. Kuncinya, jiwa dan pikiran kakak harus tetep ikhlas dengan apapun yang kakak alami,” ujar Laksa, dengan menatap tajam ke arah mataku.
“Iya, dek. Inshaallah, kakak tetep bisa sabar dan ikhlas. Terus doain ya,” sahutku, dan menggenggam erat kedua tangannya.
Tiba-tiba petugas penjaga tahanan dari Kejaksaan Negeri muncul di depan pintu. Memberi isyarat bila aku harus segera naik ke mobil tahanan untuk kembali ke rutan.
“Kok cepet amat, pak?” tanyaku.
“Banyak yang sidangnya ditunda, om. Karena bersamaan dengan rapat hakim disini. Apalagi, hari ini kan cuma 25 orang aja yang mestinya sidang,” jelas pegawai tersebut.
Segera aku melepaskan pelukan pada istriku, dan menggandengnya untuk keluar ruangan. Laksa membawakan dua kantong plastik berisi makanan bawaan istri dan adikku tersebut.
“Ayah yang tenang ya. Nggak usah dipikirin lagi apa omongan saksi-saksi tadi. Yang penting, ayah yakin dan tetep pegang teguh sama kebenaran yang sebener-benernya. Kami semua tetep bangga sama ayah, apapun kondisi ayah,” kata istriku Laksmi, terus menyemangatiku.
Sesaat sebelum naik ke mobil tahanan yang telah berisi penuh sesak oleh peserta sidang, aku peluk dan cium istriku. Sambil mengelus kepalanya dari balik hijab, ku sampaikan bila aku akan tetep bertahan dengan kebenaran yang sebenarnya apapun risikonya.
Laksa memelukku dan kembali membisikkan kata untuk aku terus sabar dan ikhlas. Serta segera bisa mengendalikan jiwa dan pikiranku.
“Kami semua tetep support kakak. Terus bertahan dengan kebenaran, walau mungkin harus jalani hukuman yang cukup lama, ketimbang berbohong yang justru akan merusak keyakinan. Inget kak, lebih baik nebus kesalahan di dunia daripada nanti di akherat ngebauin wangi surga aja nggak bisa,” kata Laksa, dan menyalamiku dengan erat.
Ketika mobil tahanan bergerak pelan untuk meninggalkan gedung Pengadilan Negeri, dari jendela kendaraan yang tanpa kaca namun dilapisi teralis besi, aku tatap istriku Laksmi yang berada dalam pelukan Laksa. Ada ketenangan dengan cara Laksa memperlakukan kakak perempuannya yang merupakan istriku.
Aku sempat melambaikan tangan kepada mereka, yang spontan disahuti dengan lambaian tangan juga. Istriku tersenyum meski penuh keharuan. Laksa pun menampakkan senyumnya. Cara mereka melepasku dengan senyuman itu, membawa pengaruh cukup besar bagiku.
Dengan terus membayangkan wajah istriku Laksmi, perlahan tapi pasti, jiwaku kembali menemukan ketenangannya. Seiring dengan melajunya mobil tahanan menuju rutan. Bahkan saat beberapa tahanan mencandai karena aku mencium istri berlama-lama di depan pintu mobil, aku telah bisa menyahutinya dengan senyuman.
Kendaraan tahanan melaju kencang dengan suara sirine yang tiada henti. Dalam waktu kurang dari 40 menit, aku dan 24 tahanan lain telah sampai di pintu gerbang rutan. Untuk kembali menjalani hari-hari di alam penuh keterbatasan. (bersambung)