Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 416)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 20 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang   

  

SAAT memasuki pos penjagaan dalam, setelah mengikuti proses pemeriksaan rutin di ruangan P-2-O hingga pos penjagaan luar, aku melihat pak Hadi sedang duduk santai sambil berbincang dengan beberapa sipir.


“Habis sidang, pak. Apa agendanya tadi,” tanya pak Hadi, yang langsung berdiri dari tempat duduknya dan menyalamiku.


“Iya, habis sidang ini, pak. Tadi dengerin keterangan saksi. Mulai dari yang laporin aku ke polisi sampai beberapa koleganya. Semua seirama pernyataannya. Mengada-ada,” jawabku, masih dengan nada kesal.


“Biasa itu, pak. Namanya saksi korban, pastinya ya pengen bener nenggelemin kita sampai ke dasarnyalah. Santai aja. Masing-masing kita akan tetep dapet karmanya kok,” sahut pak Hadi, seraya tersenyum, dan mengajakku duduk di teras pos penjagaan dalam.


Aku buka kantong plastik berisi minuman pemberian adikku Laksa. Aku keluarkan dua kotak, untuk kami minum sambil melanjutkan perbincangan. 


“Bukan menggurui ini, pak Mario. Sekadar sharing aja. Kunci ngadepi kebencian atau penghinaan, cukup dengan rendahin hati serendah-rendahnya. Sebab, kalau kita tanggepi dengan kekeselan, malah bakal buat kita sakit. Intinya, jangan dilawan, biarin aja,” kata pak Hadi, sambil menyulut rokok yang ada di tangannya.


“Iya bener sih itu, pak. Tadi istri sama adekku juga bilang gitu. Cuma kan nggak mudah buat bisa begitu aja terima tudingan yang mengada-ada, pak,” ucapku, menanggapi.


“Semua butuh proses. Dalam kondisi kayak gini, kita emang perlu orang yang mau jadi pendengar dan kasih saran, pak. Itulah pentingnya punya sahabat di dalem sini,” lanjut pak Hadi, melepas senyum penuh ketenangan.


“Bener itu, pak. Aku berterimakasih bener, pak Hadi sudah mau jadi sahabatku,” ucapku dengan wajah serius.


“Kita sama-sama seneng dan bahagia ditemuin disini, pak. Nggak ada sesuatu pun yang kebetulan. Yang mesti kita pahami, beda orang pasti beda cerita, beda porsi dan beda prinsip. Jadi baikan, ya nikmati aja apa yang kita jalani sekarang. Karena pohon yang besar, untuk tumbuh butuh proses yang panjang. Jangan pernah kehilangan semangat, itu aja kuncinya,” tutur pak Hadi dengan panjang lebar.


“Iya juga ya, pak. Kalau kita bisa ngelihat hati kawan-kawan yang didalem sini, pasti kita bakal dengerin cerita pahit di setiap hati mereka. Hebatnya, kawan-kawan disini terus berusaha buat selalu kelihatan baik-baik aja. Itu yang aku terus belajar,” tanggapku.


“Karena mereka sadar betul, kalau mau seneng atau terus ngeratapi takdir, sepenuhnya tergantung diri sendiri, pak. Saranku buat pak Mario, jangan genggem yang nggak muat ditangan, juga jangan kejer yang langkah kaki kita nggak akan sampai. Karena dalam hidup ini, kita pasti akan ketemu sama orang yang paling Tuhan benci, yaitu mereka yang bermuka dua. Di satu kesempatan mereka nunjukin satu sisi mukanya, di kala yang lain, tunjukin muka yang lain pula,” sambung pak Hadi, terus memotivasiku. 


“Selain itu, apa sarannya, pak?” tanyaku, menatap pak Hadi dengan serius.


“Tetep aja merendah. Biarlah yang tinggi hanya doa dan harapan kita. Juga, nggak usah sibuk buktiin diri kita yang sebenernya, tapi sibuklah dengan ngasah kemampuan diri pribadi,” jelas pak Hadi, juga dengan wajah serius.


Suara adzan Maghrib dari masjid di dalam rutan mengalun dengan syahdunya. Aku langsung berpamitan kepada pak Hadi, juga kepada sipir yang bertugas di pos penjagaan dalam, untuk kembali ke kamar.


“Nah, ini om Mario, kap,” kata Anton, saat aku berdiri di depan kamar.


“Emang kenapa, Ton?” tanyaku kepada Anton.


“Tadi kap bilang, yang lain dari sidang sudah pada balik, kok om nggak nongol-nongol. Jangan-jangan nyasar masuk kamar lain,” ujar Anton, dan tertawa ngakak.


Aku ikut tertawa mendengar perkataan Anton. Juga kap Yasin dan beberapa kawan lain. Setelah berwudhu, aku langsung ikut solat berjamaah dengan pak Waras sebagai imam. Seusai berdoa, baru aku berkemas. Membersihkan badan dan berganti pakaian.


Baru saja akan membuka Alqur’an, suara adzan Isya dari masjid terdengar dengan kencangnya. Kembali kami solat berjamaah. Dan setelahnya, makan malam bersama. Beberapa lauk makan yang dibawakan istriku, menjadi pelengkap makan kami penghuni kamar 30. Sebagiannya disimpan oleh pak Ramdan untuk lauk pada makan siang besok.


Setelah menghabiskan satu batang rokok sambil berbincang ringan di ruang depan, aku izin kepada kap Yasin dan kawan-kawan untuk mengaji. Aku diwarisi petuah oleh pak Waras, setiap hari harus membaca kitab suci. Tidak perlu sampai beberapa halaman, yang penting membiasakan mulut dan hati untuk mengucapkan isi Alqur’an.


Baru sekitar 30 menit membaca kitab suci, kantuk menyerang begitu kuatnya. Aku pun memilih menutup Alqur’an, karena terus-menerus menguap. Buru-buru aku merapihkan tempat tidur. Tidak begitu lama kemudian, aku telah lelap dalam tidur malamku. 


Dan seperti biasanya, ketika waktu solat Subuh datang, aku dibangunkan. Karena rasa kantuk masih belum hilang, seusai mengikuti jamaahan, aku kembali ke kasur, melanjutkan tidur. Matahari dengan sinar terangnya telah memasuki kamar sel, ketika aku membuka mata. 


Sambil minum air mineral dari tumbler yang ada di rak tempatku, mataku menyapu sekeliling. Hanya ada pak Ramdan di kamar. Sedang mengelap piring dan gelas. 


“Kok sepi, pak. Tumben,” kataku.


“Sudah pada keluarlah, om. Ini kan sudah mau dhuhur,” jawab pak Ramdan, dengan santainya.   

“Subhanallah. Sudah siang bener ya rupanya,” ucapku, sambil melihat jam yang ada di dinding kamar. Menunjukkan waktu pukul 11.45.


“Baru ini kami lihat om enak bener tidurnya, makanya nggak ada yang berani bangunin. Kalau kata kap tadi; biarin om Mario nikmati mimpi indahnya yang begitu panjang,” ucap pak Ramdan, sambil tertawa.


“Jangan nggak percaya, pak. Sejak masuk penjara, nggak pernah aku mimpi indah. Pernah sekali mimpi, malah mau dibakar sama api, untung aku kebangun,” sahutku, juga dengan tertawa.


“Yang bener dulu, om. Beneran nggak pernah mimpi selama ini?” tanya pak Ramdan, tampak ada kekhawatiran.


“Ya benerlah, pak. Apa untungnya juga aku bohong soal mimpi. Memangnya kenapa,” jawabku.


“Aku pernah baca buku kesehatan, orang yang nggak pernah mimpi selama beberapa minggu dalam tidurnya, berarti ada kelainan pada keseimbangan motoriknya, om,” urai pak Ramdan.


“Terus, dampak negatifnya apa?” tanyaku, penasaran.


“Aku lupa rinciannya gimana, om. Tapi kalau nggak salah, bisa buat tidak imbangnya ketenangan batin dan pikiran, juga gampang stres,” lanjut pak Ramdan.


“O gitu, pak. Cuma sebatas sampai stres aja kan, nggak sampai gangguan jiwa,” kataku.


“Seingetku gitu, om. Nggak sampai gila sih kalau nurutku. Tapi bagusnya, om cari informasi lain juga soal ini, biar bisa diatasi kalau masalahnya serius,” tutur pak Ramdan lagi. 


“Ya sudah, pak. Nggak usah dibesar-besarin atau jadi pikiran. Aku yakin kok, nggak pernah mimpi waktu tidur itu karena emang aku lagi nggak mood ngurusi taneman, jadi nggak ketemu kembangnya,” tanggapku, sambil tertawa.


“Maksudnya apa sih, om. Aku nggak nyambung,” kata pak Ramdan, menyela dengan cepat.


“Mimpi itu kan katanya kembang tidur to, pak. Ya pantes aja aku nggak pernah mimpi, wong selama disini nggak pernah ngurusi taneman di taman depan kamar. Bisanya merintah tamping aja,” jawabku, masih tetap dengan tertawa.


“Ah, om ini. Aku ngomong serius malahan dibawa bercanda. Jangan keseringan ginilah om, nanti pas om ngomong serius, kawan-kawan nganggepnya om lagi bercanda,” ucap pak Ramdan, juga diiringi tawa lepasnya. (bersambung)

LIPSUS