Oleh, Dalem Tehang
SAAT aku baru saja membersihkan badan di kamar mandi, terdengar suara adzan Dhuhur dari masjid. Buru-buru aku ingin menyelesaikan mandi, namun pak Ramdan menyampaikan, ia tidak ke masjid melainkan ingin berjamaah saja denganku di kamar. Akhirnya aku pun berlama-lama di kamar mandi. Menikmati guyuran air nan sejuk dari dalam bak yang cukup besar.
Seusai berganti pakaian, aku mengimami solat Dhuhur di kamar dengan jamaah satu orang, yaitu pak Ramdan.
“Om mau dibuatin kopi pahit nggak?” tanya pak Ramdan, ketika kami selesai berdoa.
“Ya mau dong, pak. Kan belum ngopi sejak pagi,” jawabku, sambil tersenyum.
“Emang belum ngopi dari pagi, kan om bangun tidurnya aja sudah siang,” celetuk pak Ramdan.
Hanya dalam hitungan beberapa menit, kopi pahit yang masih panas kedul-kedul sudah tersedia di tempatku duduk ndeprok, di ruang depan. Pak Ramdan memang cekatan menakar air untuk membuat minuman, sehingga teko listrik sebagai pemanas air bisa lebih cepat bekerjanya.
“Wah, lagi ngopi rupanya ya, om. Pantes nggak jamaahan di masjid,” kata kap Yasin, yang masuk kamar bersama Anton, pak Waras, Teguh, dan beberapa kawan lain setelah solat Dhuhur berjamaah di masjid.
“Bangun siang tadi, kap. Tapi tetep solat jamaahan kok, berdua pak Ramdan,” sahutku.
“Nikmat bener kayaknya tidur om tadi ya. Ngoroknya itu yang nggak ketahan. Bersenandung naik turun. Sampai kami bingung, itu suara irama musik jaz, dangdut apa pop,” lanjut kap Yasin, sambil tertawa.
“Iya tah aku ngorok sampai kayak gitu, kap,” kataku, yang langsung ikut tertawa.
“Bener kok, om. Tanya aja ke kawan-kawan kalau nggak percaya. Makanya kami nggak mau ngebangunin, biar om puas nikmati tidur pules diiringi senandung ngorok naik turunnya,” ujar kap Yasin lagi.
“Babe emang nyenyak bener kok tadi tidurnya. Itu tandanya, pikiran dan hati bener-bener lagi tenang. Tetep bersyukur, dapetin ketenangan ya, be,” kata pak Waras, seraya menatapku, yang sesekali menyeruput minuman kopi pahit.
“Gitu ya penilaian pak Waras. Alhamdulillah. Padahal, gara-gara sidang kemarin, aku kesel bener lo, pak,” kataku, apa adanya.
“Nggak usah heran, be. Inilah hidup. Pagi hari kita seneng, siangnya bisa aja kita senep. Siang hari terik bener, masuk sorenya hujan lebat. Mendung seharian nutupi sinar matahari, malah nggak turun hujan. Pas malem kelihatan bintang-bintang di langit, mendadak hujan deras. Semesta bekerjanya emang nggak terduga, be. Apapun itu, nggak ada yang abadi. Maka, jangan gampang kesel, apalagi marah sama situasi yang nggak kita sukai, karena bisa jadi beberapa saat kemudian, kita malah happy-happy,” tutur pak Waras panjang lebar, sambil tersenyum dengan gaya santainya.
“Nanti dilanjut ceramahnya, pak. Kita mau apel dulu, lanjut makan,” kata Anton, yang berdiri di samping teralis besi, memantau pergerakan sipir yang akan melaksanakan apel siang.
Beberapa saat kemudian, dua orang sipir didampingi seorang tamping regis berdiri di balik jeruji kamar. Kami semua berdiri dalam posisi berbaris, dan berhitung dari satu sampai 12 sesuai isi penghuni kamar.
“Sehat semua kan? Itu om Mario kenapa matanya kok agak bengkak, sakit mata atau kebanyakan tidur,” kata salah satu sipir yang bertugas.
“Alhamdulillah, kami sehat semua, dan. Om Mario emang baru bangun tidur, jadi matanya agak sembeb,” sahut kap Yasin.
“O gitu, syukur kalau tetep bisa tidur nyenyak, om. Tetep jaga kesehatan, imbangi dengan olahraga ya, om,” lanjut sipir berusia sekitar 40 tahunan tersebut.
“Siap,” jawabku, pendek.
Sipir bertubuh kurus itu, tersenyum. Dan sesaat kemudian menjulurkan tangannya ke dalam kamar melalui sela-sela teralis. Mengajakku bersalaman. Dengan cepat, aku pun mengulurkan tangan. Kami bersalaman. Genggaman sipir tersebut cukup kencang.
“Aku anaknya Nawi, om. Kawan om waktu bujang dulu. Salam dari papa buat om,” ucap sipir itu, tetap dengan tersenyum.
“O iya, inget om sama Nawi. Salam kembali buat papanya ya. Terimakasih masih inget sama om,” sahutku, juga sambil tersenyum.
“Papa banyak cerita soal om. Alhamdulillah, aku seneng bisa lanjutin pertemanan om sama papa. Nanti kita lanjut obrolannya ya, om. Izin mau nerusin tugas dulu,” ucap sipir tersebut, dan kembali menyalamiku. Kali ini dengan sedikit menundukkan wajahnya. Pertanda hormat kepada kawan papanya.
“Heran bener aku sama om Mario ini, ada aja yang kenal. Entah muter-muter lewat jalur mana, tiba-tiba ada aja yang nemuin dan ngenalin diri,” kata Anton, saat kami memasuki ruang dalam untuk bersiap makan siang.
“Jangankan kamu, Ton. Aku sendiri juga heran kok,” jawabku, dan tertawa ngakak.
“Emang babe nggak inget sama papanya sipir tadi. Nawi namanya,” ucap pak Waras.
“Kawanku yang namanya Nawi itu banyak, pak. Jujur, belum kebayang, Nawi mana yang dimaksud sipir tadi,” kataku, terusterang.
Mendadak semua penghuni kamar 30 tertawa ngakak mendengar pengakuanku. Bahkan kap Yasin sambil tertawa, memukul-mukul kepalanya sendiri berkali-kali.
“Ampun bener aku sama om Mario ini. Tadi kayak iya bener ngenalin papanya sipir itu, nggak tahunya kebayang orangnya aja nggak sampai sekarang,” kata kap Yasin kemudian.
“Ya kan nggak mungkin aku tanya ke sipir tadi, Nawi mana ya? Nggak sopanlah kalau sampai aku tanya gitu, kap. Baikan sok sudah paham aja, kan jadi bagus endingnya,” ujarku, masih sambil tertawa.
“Sudah dulu ngobrolin soal Nawi si misterius itu, sekarang waktunya kita makan. Pak Waras, tolong sekali ini doanya jangan panjang-panjang, sudah laper berat soalnya,” tukas pak Ramdan.
Kembali kami semua tertawa. Permintaan pak Ramdan kepada pak Waras sebenarnya mewakili kami semua. Karena pri bertubuh tambun yang dikenal sebagai ustadz kampung itu, memang selalu saja berpanjang-panjang saat memimpin doa, bahkan untuk sekadar doa makan sekalipun.
Memahami situasi perut mayoritas kawan yang telah melilit kelaparan, kali ini pak Waras cukup pendek dalam untaian doanya. Dan selanjutnya, kami pun makan siang bersama.
“O iya, om. Nanti sore kan mau tanding lagi nih tim volly kita. Sudah ada keputusan belum soal tawaran pelatih tim Blok A,” kata kap Yasin, di sela-sela kami makan siang.
“Kan masih beberapa jam lagi waktunya sih, kap. Sabar ya,” jawabku, sambil terus menikmati makan siang berlauk telur bulat sambel goreng.
“Emang ayah sudah solat istikharah ya?” tanya Teguh.
“Urusan ginian kok pakai solat istikharah segala sih, Guh. Remeh-temeh ini mah. Iya kan, om,” celetuk kap Yasin lagi.
“Ya siapa tahu, ayah sebelum mutusin sesuatu perlu pakai solat istikharah dulu, kap. Kayak orang tuaku di kampung, kalau mau lakuin sesuatu yang penting, pasti istikharah dulu,” lanjut Teguh.
“Ini cuma urusan tanding volly, Teguh. Emang kamu mau dagang narkoba pakai istikharah, pasti nggak kan,” pak Ramdan menimpali.
“Nggak mungkinlah, pak. Masak mau dagang narkoba pakai istikharah. Malah salah kaprah namanya. Tuhan langsung marah pastinya,” jawab Teguh, seraya tersenyum.
“Dan terbukti kan, Tuhan marah sama kamu. Sekarang kamu masuk bui kayak gini,” sambung pak Ramdan.
“Sudah, nggak usah ngomong yang bisa buat hati kawan nggak nyaman. Kita ini sudah jadi keluarga, jangan saling nyudutin. Kita semua ada disini karena bermasalah. Sesama orang bermasalah, hindari masalah. Sesama tahanan mesti saling serangkulan,” kata kap Yasin, memotong pembicaraan.
Kami semua langsung terdiam. Sikap tegas kap Yasin memang membuat suasana di kamar 30 selalu penuh kehangatan dan kebersamaan. Ia mampu menempatkan diri sebagai kepala kamar yang lentur, bijak, dan tegas. Bahkan tidak jarang bersikap keras. Kepemimpinan yang sangat mumpuni di dunia penjara. (bersambung)