Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 418)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 22 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI makan siang, sambil mengobrol ringan di ruang depan dan menikmati sebatang rokok, aku mengusulkan kepada kap Yasin untuk memanggil pelatih tim volly Blok B. Membicarakan soal tawaran Hamid, pelatih tim volly Blok A.


“Boleh juga itu, om. Setuju aku, baiknya emang kita ajak Didit ngomong buka-bukaan,” sahut kap Yasin.


“O, pelatih tim volly kita namanya Didit to, baru tahu ini aku,” ucap pak Waras, menimpali.


“Bukan cuma pak Waras, aku juga baru tahu ini, pak,” kataku, seraya tersenyum.


“Ealah, ternyata pada nggak gaul ya para sesepuh kamar ini. Gitu bekennya nama Didit sebagai pelatih tim volly Blok B, pak Waras sama om Mario malahan nggak tahu namanya,” ujar Anton, dan tertawa ngakak.


Kami semua serentak tertawa mendengar perkataan Anton. Pemuda yang selalu menampilkan keceriaan dan tanpa beban dalam menjalani hari-harinya di penjara. Meski ia bakal menjalani tiga tahun hukuman, dan sejak terkena kasus hukum, telah dikucilkan oleh orang tuanya yang tengah menyandang posisi penting di pemerintahan.  


Kap Yasin meminta Anton memanggil tamping kunci untuk membuka pintu kamar dan menyusul Didit di kamarnya. Kamar 13. Sekitar 15 menit kemudian, Anton telah kembali bersama Didit. Pelatih tim volly Blok B tersebut langsung duduk di samping kap Yasin.


Tanpa berlama-lama, kap Yasin menyampaikan maksud memanggil Didit serta menceritakan peristiwa yang aku alami bersama Anton saat bertemu dengan Hamid, pelatih tim volly Blok A.


Didit mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mata tajamnya menatapku. Sesekali ia meminum dari tumbler yang dibawanya sendiri. Pun mengunyah permen karet yang diambil dari kantong kaos berkerahnya yang bermerek.


Melihat gayanya, aku memahami bila pria yang terkena kasus illegal logging ini merupakan sosok yang disiplin dan tidak mau bergantung kepada orang lain. Kepribadiannya sangat kuat.


“Mohon maaf ini, om. Sikap om sendiri dengan tawaran Hamid itu, gimana?” tanya Didit, setelah kap Yasin menguraikan panjang lebar.


“Aku belum ambil sikap, masih nimbang-nimbang,” jawabku, dengan santai.


“Yang jadi pertimbangan om, apa aja. Kalau boleh aku tahu?” tanya Didit lagi.


“Yang mendasar, aku ambil sikap kalau itu punya nilai buat tim kita. Bisa manfaat gitulah, buat kawan-kawan pemain utamanya,” kataku.


“Yang ada di pikiran om, kayak mana?” kembali Didit mengajukan pertanyaan,  dengan terus menatapku.  


“Yang pertama, aku terima tawaran itu. Artinya, aku nggak muncul sama sekali ke lapangan walau sekadar buat nonton pertandingan sore nanti. Kompensasinya, ada uang Rp 500 ribu dari Hamid buatku. Yang kedua, aku tetep muncul dan nonton, bahkan kalau kamu izinin, aku pengen main di pertandingan nanti. Tapi, tawaran Hamid batal dan bisa buat hubungan nggak baik. Nah, mana yang lebih bermanfaat buat kawan-kawan tim volly kita, itu yang lagi aku timbang-timbang,” ujarku, panjang lebar. 


“Oke, aku seneng sama pola pikir om. Sederhana tapi lugas. Terus, kalau om ambil opsi yang pertama, kan om dapet uang dari Hamid, apa yang ada di pikiran om. Maksudnya, uang itu mau om gimanain,” tanggap Didit.


“Uang itu pengenku sih buat kawan-kawan pemain kita, Didit. Biar mereka makin bersemangat. Nggak ada di pikiranku untuk ambil uang itu buat kepentingan pribadi. Bahkan aku sudah rencanain, nanti Anton yang nemuin Hamid dan ambil uang kompensasinya, langsung serahin ke kamu. Bersyukur bener aku sama kap Yasin, sudah nemuin kita. Jadi saling mahami, dan nggak timbul fitnah,” kataku, apa adanya.  


“Bagus pola itu, om. Kami dukung sikap om,” ucap kap Yasin, menyahuti perkataanku.


“Izin sebentar ya, kap. Mohon maaf. Itu tadi kan baru pola pertama yang disampein om Mario. Kalau yang kedua, apa yang ada di pikiran om,” kata Didit, menyela namun tetap dengan cara yang santun.


“Yang kedua, aku tetep muncul, kasih support ke tim bahkan kalau kamu ngizinin aku pengen main. Tapi, hubungan yang baru terjalin sama Hamid bisa jadi nggak baik,” jelasku.


“Kenapa om khawatir hubungan sama Hamid jadi nggak baik?” tanya Didit dengan cepat.


“Gini lo, Didit. Kalau om ngejaga hubungan baik, bukan berarti takut sama Hamid atau siapapun di dalem sini. Nggak, bukan karena itu. Tapi ngehargai dan mensyukuri terjalinnya silaturahmi. Terlepas apapun yang jadi alasannya, perkenalanku sama Hamid kan tetep aja atas izin Yang Di Langit. Nah, aku nggak mau, sesuatu yang atas ridho Dia, jadi rusak karena ulahku. Kalau rusaknya karena laku Hamid, ya nggak masalah,” jawabku dengan tegas.


“Aku paham sekarang, om. Ini saranku, tapi nanti minta masukan kap dan kawan-kawan juga, baiknya pola pertama yang jadi sikap om Mario. Karena terang benderang manfaatnya buat semangat kawan-kawan pemain. Kalau soal teknik permainan di lapangan, jujur aku sudah kemas strategi sendiri, berkat masukan om Mario beberapa hari lalu,” tutur Didit.


“Maksudnya, om Mario tetep ikuti tawaran Hamid, gitu ya?” tanya kap Yasin.


“Saranku sih gitu, kap. Kan jelas manfaatnya buat kawan-kawan pemain. Adanya uang Rp 500 ribu itu, aku yakin bakal nambah semangat mereka. Dan bukan nggak mungkin, sekali ini kita yang menang. Aku sudah kolaborasi teknik om Mario sama gayaku, dan aku yakin tim kita bakal buat kejutan di pertandingan nanti,” jawab Didit. 


Semua penghuni kamar 30 sepakat dengan pola pertamaku. Aku menerima tawaran Hamid untuk tidak muncul ke lapangan, dengan kompensasi menerima uang Rp 500 ribu.


“Jumlah pemain kan sembilan orang ya. Karena ada tiga pemain cadangan. Gimana kalau kita cari tambahan dari sokongan kawan-kawan di semua kamar blok ini, biar nanti jumlahnya jadi Rp 1 juta. Kan tiap pemain dapet bonus Rp 100 ribu,” pak Ramdan menyarankan.


“Maaf, pak. Aku kurang sepakat sama ide itu. Aku paham, maksudnya baik dan bagus. Tapi, aku nggak mau ngerusak mental pemain kita. Cukuplah uang kompensasi om Mario itu aja. Nanti masing-masing dapet bonus Rp 50 ribu setelah main, sisanya buat beli air mineral dan permen karet,” tanggap Didit, dengan wajah serius. 


Kami semua terdiam. Mencoba memahami bagaimana Didit mengemas tim volly Blok B dengan perhitungan yang sangat cermat. Bukan saja kepiawaian bermain, menjaga kebugaran badan, tetapi juga menata mental pemainnya. (bersambung)

LIPSUS