Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 419)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 23 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang


AKU seneng sama gayamu, Didit. Cepet mahami persoalan dan langsung ambil keputusan,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Maaf ya, om. Kebetulan aku emang sudah biasa ketemu masalah sekaligus  cari solusinya. Semua kan karena terbiasa aja. Apalagi, aku sadari bener, orang yang terlalu mikirin akibat dari suatu keputusan atau tindakan, sampai kapan pun nggak akan jadi pemberani. Makanya, aku kebiasaan ambil keputusan cepet dan tuntas, karena nggak mau jadi pengecut,” jawab Didit, pelatih tim volly Blok B itu, sambil tersenyum. 


“Gimana kalau keputusanmu yang cepet itu ternyata salah, misalnya?” tanya pak Ramdan.


“Aku segera evaluasi diri, pak. Dimana kurang pasnya keputusan itu. Kenapa jadi salah, dan sebagainya. Prinsipnya, aku nggak akan biarin kesalahan buatku gelisah, karena gimana juga, cuma di malam yang paling gelap itulah, bintang-bintang tampak bersinar lebih terang,” sahut Didit, dan terus menebar senyum simpatiknya.


Sekira satu jam berbincang, Didit berpamitan. Segera mengkonsolidasikan timnya. Aku berpesan kepada Anton, satu jam sebelum pertandingan untuk menemui Hamid, mewakiliku. Bersepakat.


“Aku dampingi Anton boleh ya, ayah?” tanya Teguh.


“Nggak usah, biar Anton sendiri aja,” jawabku. 


“Kenapa?” tanya Teguh lagi. Penasaran.


“Karena waktu itu kan aku sama Anton, Teguh. Jadi, wajar kalau dia yang ngewakili. Kalau saat itu sama kamu, ya kamu yang nemui Hamid,” jelasku.


“Om Mario itu ngajari, kalau sesuatu itu mesti ditempatin sesuai porsinya, Guh. Jangan ujuk-ujuk muncul atau nabrak-nabrak,” pak Ramdan menyela.


“Aku paham kok, pak. Nggak cuma soal nempatin posisi aja yang diajarin ayah sama caranya ini. Tapi ayah juga ingetin kita, kalau hati itu butuh logika biar selalu terjaga, dan logika butuhin hati agar selalu berharga. Gitukan, ayah,” ujar Teguh lagi, sambil tersenyum ke arahku.


“Terserah kamu mau nyimpulin gimana, Teguh. Yang pasti, kita semua perlu terus belajar untuk bersih hati dan bersepakat buat perbaiki diri, itu aja. Kata seorang ulama, hati yang bersih bakal bisa ngelihat kebaikan orang lain yang nggak terlihat sekalipun. Sebaliknya, hati yang kotor, akan sangat mudah ngelihat kejelekan orang lain sekalipun itu nggak pernah ada,” sahutku, sambil terus menghisap sebatang rokok.


Tiba-tiba seorang sipir bertubuh tambun dengan kepala berambut plontos, berdiri di balik jeruji besi. Dengan suaranya yang berat, menanyakan kap kamar.


Kap Yasin yang sedang konsentrasi mengisi teka-teki silang dan duduk di antara kami di ruang depan, spontan berdiri dan mendekat ke jeruji besi. Seusai bersalaman, tampak sipir itu bicara perlahan. Beberapa kali kap Yasin menganggukkan kepalanya. 


Sekitar 10 menit, keduanya berbincang. Pelan. Sipir itu bergerak, meninggalkan jeruji kamar. Kap Yasin pun kembali duduk di tempatnya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Yang kami yakini, sebenarnya tidak tengah gatal.


“Ada apa, kap?” tanya Teguh.


“Petugas tadi minta bantu uang Rp 500 ribu. Besok anaknya mau ulang tahun. Mau diajak ke mal dan makan-makan,” kata kap Yasin, seraya tersenyum kecut.


“Kenapa anaknya yang ulang tahun, kita yang disuruh biayai ya, kap. Emang ada hubungan darah apa, kita sama petugas tadi,” tanggap Teguh dengan suara meninggi.


“Ya inilah penjara, Guh. Banyak hal nggak masuk akal yang mau nggak mau harus diterima akal,” celetuk kap Yasin.


“Terus tadi apa jawab, kap?” Anton bertanya.


“Aku bilang, mau bicarain dulu sama kawan-kawan,” jawab kap Yasin.


“Emang kita mau sokongan buat ulang tahun anaknya sipir tadi, ya nggaklah, kap,” sambung Anton. Tegas. 


“Mestinya kap jawab tadi itu, kalau kita nggak punya uang buat bantu dia. Bisanya bantu doa,” pak Ramdan menyela seraya tersenyum sinis.


“Kan nggak mungkin langsung jawab saklek gitulah, pak. Mau gimana pun juga, dia itu petugas. Sipir disini. Salah sedikit aja kita ngomong, bisa jadi alasan buat dia kesel dan marah,” sahut kap Yasin, tetap dengan menunjukkan senyum kecut di sudut bibirnya. 


“Terus, yang mau kap lakuin gimana?” tanya Teguh.


“Yah, kalau kawan-kawan ada yang mau sedekah, ayo kita kumpulin. Berapapun adanya, itu yang nanti aku kasihin ke petugas tadi,” ucap kap Yasin dengan santainya. 


“Kap, yang bener itu, kita penerima sedekah, bukan pemberi sedekah. Bukan cuma karena kita ini tahanan, tapi emang kita nggak punya uang. Buat iuran mingguan kebutuhan kamar aja, banyak yang nunggak lo. Masuk akal nggak sih, kalau kita malah dimintai sedekah,” Anton menyela dengan panjang lebar.


“Aku paham kondisi kita semua, Anton. Nggak usah kamu sindir gitu. Aku tahu persis, nggak ada di kamar ini tahanan yang tajir. Semua ngos-ngosan dan tergantung sama bantuan keluarga. Tapi inget, bersedekah di saat kita sulit itu, pahalanya berlipat. Jadi maksudku, yang mau aja, yang nggak mau, ya nggak apa-apa,” balas kap Yasin. 


“Kalau akhirnya nggak ada yang mau sedekah seperti bahasa kap tadi, gimana?” tanya Anton lagi.


“Ya nggak apa-apa. Nanti aku sampein ke petugas tadi kalau kita nggak bisa bantu,” sahut kap Yasin, tetap dengan gaya santai.


“Kenapa nggak dari awal aja kap bilang kalau kita nggak bisa bantu,” Anton kembali menyela.


“Aku ngerasa nggak etis kalau tadi langsung jawab gitu, Anton. Maka ku bilang mau bicarain dulu sama kawan-kawan. Kalau akhirnya emang nggak ada, ya mau gimana,” ujar kap Yasin.


“Kalau nurut pak Waras sama om Mario, gimana soal ini. Kok cuma diem aja dari tadi,” kata pak Ramdan, sambil melihat ke arahku dan pak Waras.


“Nurut aku, kalau diniatin sedekah, emang urusannya bukan soal masuk akal apa nggak masuk akal. Tapi keikhlasan hati. Yang dibilang kap tadi, kalau kita bersedekah di waktu sulit justru lebih baik, nggak salah. Jangan-jangan Tuhan malah langsung tersenyum sama penyedekah yang dirinya sendiri dalam situasi sulit,” ujar pak Waras, setelah berdiam beberapa saat. 


“Jadi bisa aja kan kalau kita kasih uang ke petugas dengan niat bersedekah?” tanya kap Yasin.


“Ya bisa memang, kap. Persoalannya, yang mau diberi sedekah, orangnya lebih mampu dari kita. Terus, dia juga masuk kriteria penguasa atas diri kita disini. Masak iya, yang dalam penguasaan kasih sedekah sama yang menguasai. Itulah yang buatku diem aja dari tadi, karena lagi nelaah keadaan ini,” jawab pak Waras, sambil tersenyum tipis. (bersambung)

LIPSUS