Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 420)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 24 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang


KALAU kasih uang ke petugas tadi kayak kita ngegaremi laut, gitu maksudnya kan, pak,” sahut pak Ramdan dengan cepat.


“Kalau dilihat secara lahiriyah, ya kayak gitulah. Tapi, semua kembali ke kawan-kawan, mau nyumbang apa nggak. Ikhlas apa nggak. Itu aja kok,” tambah pak Waras. 


“Pak Waras sendiri mau nyumbang apa nggak?” tanya Anton.


Pak Waras menjawab pertanyaan Anton dengan menggelengkan kepalanya. Disertai senyuman di sudut bibir tebalnya. 


“Kalau om Mario, gimana?” tanya kap Yasin.


“Maaf, kap. Aku nggak bisa nyumbang,” jawabku, singkat.


“Jadi, siapa yang mau dan bisa nyumbang buat anak sipir yang ulang tahun?” tanya kap Yasin, sambil melihat ke semua penghuni kamar 30.


Secara bersamaan, semua menggelengkan kepalanya. Tidak satu pun dari kami yang bisa dan mau mengeluarkan uang sesuai yang diinginkan seorang petugas rutan tersebut. 


“Ya sudah kalau gitu. Nanti aku sampein apa adanya ke sipir tadi, kalau dia dateng kesini lagi,” kata kap Yasin, beberapa saat kemudian.


“Sampein apa adanya aja, kap. Kondisi kita emang bener-bener nggak bisa bantu. Dan maaf ini, kap. Lain kali, kalau ada yang kayak gini, baikan langsung kap jawab aja. Jangan digantung. Toh, akhirnya juga kalau urusan uang, kita nggak bakalan bisa bantu,” kata pak Ramdan, dengan wajah serius.  


“Kadangkala aku nggak habis pikir, dimanalah otak dan hati nurani sipir yang minta ini-itu sama tahanan. Apa mereka bener-bener kekurangan secara materi, apa karena rakus dan manfaatin situasi,” tutur Teguh, setelah kami semua berdiam beberapa saat.


“Jangan kamu habisin pikiranmu, Guh. Nanti nggak bisa hidup rasional lagi kamu. Inilah unik dan anehnya di penjara. Nikmati aja,” tanggap kap Yasin, dan tertawa ngakak.


“Itu kan bahasa kiasan sih, kap. Saking nggak masuk akalnya kenyataan yang sering kita alami disini,” sahut Teguh, juga sambil tertawa. 


“Makanya, Guh. Jangan cuma andelin pikiran aja. Pakai juga hati nuranimu. Biar nggak gampang galau,” celetuk Anton.


“Sesuatu yang buat Teguh sampai kehabisan pikiran, sebenernya lumrah aja nurut aku. Nah, aku coba jawab ya. Emang sifat atau sikap rakus itu bagian perilaku alamiah seorang anak manusia. Nggak ada di dunia ini orang yang puas sama apa yang dia miliki. Tetep kurang itulah, walau setengah bumi sekalipun sudah dalam genggamannya,” tutur pak Waras. 


“Kalau gitu, kapan seseorang puas sama yang dia miliki, pak?” tanya kap Yasin, memandang ke arah pak Waras yang duduk santai bersandar pintu kamar.


“Aku sampein hadits Nabi aja ya, biar kita sama-sama paham dan aku nggak salah ngomong. Beliau bersabda: Seandainya seorang anak Adam punya satu lembah emas, niscaya ia akan inginkan dua lembah lainnya, dan yang bisa memuaskan nafsunya hanyalah tanah atau kuburan. Allah menerima taubatnya orang-orang yang bertaubat. Gitu kata Kanjeng Nabi kita,” urai pak Waras.


Kami semua sama-sama mencerna dan mencoba memahami apa yang disampaikan pak Waras. Dalam kondisi terampas kebebasan karena harus hidup penuh keterbatasan lingkungan penahanan, memang sangat dibutuhkan hadirnya pengetahuan yang bisa menambah wawasan dan menenangkan peperangan antara batin dan pikiran. Karena pada hakekatnya, mendamaikan dari peperangan diri sendiri itulah yang sangat berat untuk dilakukan. 


Tamping kunci datang, membuka gembok besar sudah berkarat yang menggantung di pintu kamar. Anton bersiap keluar, menuju Blok A untuk menemui Hamid.


“Jadi sepakat ya, om. Aku sampein ke Hamid kalau om di kamar aja,” kata Anton, setelah berganti kaos.


“Aku tetep ke mesjid dulu buat ikut jamaahan ashar-lah, Ton. Setelah itu, langsung ke kamar. Nggak keluar lagi,” jawabku.


“Oke, siap, om,” ujar Anton, dan bergegas keluar kamar. 


Ketika aku di kamar mandi untuk membersihkan badan, terdengar suara Didit mencariku. Pak Ramdan memberitahu kepada pelatih tim volly Blok B tersebut, jika aku sedang mandi. Setelah berganti pakaian, aku ke ruang depan. 


“Om, ditunggu Didit di gazebo depan kamar 34,” kata pak Ramdan.


Aku melihat dari balik jeruji besi kamar, Didit sedang berbincang dengan pak Edi. Tawa mereka sesekali terdengar nyaring. Aku pun mendekat. Seusai bersalaman, aku duduk, di antara pak Edi dan Didit.


Saat itu, Didit menyampaikan bila timnya benar-benar siap bertarung dengan satu tekad: mengalahkan tim Blok A.


“Sip kalau gitu, aku bantu doa,” kataku, dan dengan gerakan refleks menggenggam erat tangan Didit. Mensupport. 


Tidak lama kemudian, Anton datang dengan wajah cerah-ceria. Dan setelah duduk di sebelahku, ia memberikan sebuah amplop.


“Sesuai kesepakatan, om,” ucap Anton, ketika aku pandangi wajahnya.


Tanpa membuka dan mengecek isinya, langsung ku serahkan amplop dari Anton ke tangan Didit.


“Sesuai pembicaraan kita tadi. Inshaallah berkah,” kataku.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, om. Aku sudah sampein ke kawan-kawan, apa yang om alami dan manfaatnya untuk tim. Mereka terharu sekaligus bangga sama om. Itulah mereka bertekad untuk kalahin tim Blok A di pertandingan nanti,” tutur Didit dengan suara tersendat, menyimpan keharuan tersendiri.


“Bukan dulu, itu amplop apa isinya sih. Kenapa juga Didit jadi gitu semangatnya ngadepi pertandingan nanti,” kata pak Edi, sambil mengernyitkan dahinya.


“Bukan apa-apa, pak. Ada bantuan dari kawan buat tim volly kita. Makanya sama Anton langsung diserahin ke Didit. Kalau pak Edi mau nambahi bantuan itu, ya monggo,” jawabku dengan cepat. 


Pak Edi langsung tertawa ngakak, sampai badannya berguncang. Aku, Didit, dan Anton tersenyum melihat ekspresi unik di wajah kap kamar 34 itu saat tertawa lepas.


“Kok malah ketawa to, pak?” tanyaku, setelah pak Edi meredakan tawanya.


“Habis babe ini aneh-aneh aja sih. Akulah diminta nambahi bantuan, wong lagi nyungsep kayak gini. Kayak nggak paham aja gimana susahnya kita,” ucap pak Edi, kali ini disertai senyum kecutnya. (bersambung)

LIPSUS