Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 422)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 26 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang  


KETIKA terdengar suara adzan Maghrib yang melengking kencang dari masjid di dalam kompleks rutan, aku meminta semua pemain volly dan tahanan lain untuk segera kembali ke kamar masing-masing.


Menyudahi euforia kemenangan dengan mensujudkan diri kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi, karena hanya atas ridho-Nya jugalah, obsesi mengakhiri dominasi tim volly Blok A, akhirnya bisa tercapai.


“Semua pemain yang muslim, aku minta solat dan sampein terimakasih sama Allah. Biar kemenangan ini berkah dan jadi pembuka jalan buat ngeraih kemenangan selanjutnya. Yang non muslim, berdoa nurut keyakinan agamanya masing-masing,” kataku kepada para pemain yang masih berdiri dan berbincang di depan kamarku bersama sang pelatih, Didit.


“Maksud om Mario, kita perlu bersyukur dengan sujud dan langsung sampein kepada Tuhan. Biar kita nggak jadi besar kepala,” ujar Didit. Menambahkan.


Tidak lama kemudian, kerumunan pun membubarkan diri. Seiring dengan itu, aku segera masuk kamar dan mengikuti solat berjamaah dengan imam kap Yasin. Selepas pak Waras memimpin doa, aku membaca Alqur’an. Sebuah kegiatan rutin yang berlangsung hingga suara adzan Isya tiba.


Usai solat Isya berjamaah, kami makan malam. Kali ini kap Yasin secara khusus membeli 12 potong ayam bakar ditambah enam bungkus nasi. 


“Syukuran apa ini, kap?” tanya Teguh, ketika melihat lauk makan malam kali ini berbeda dengan biasanya.


“Syukuran atas nikmat sehat buat kita semua,” jawab kap Yasin, sambil tersenyum.


“Selain itu, kap?” tanya Teguh lagi.


“Ya cuma itu, bersyukur kepada Yang Kuasa atas nikmat sehat yang dikasih buat kita semua. Nggak ada yang lain,” ucap kap Yasin.


“Mestinya bersyukur itu atas banyak hal-lah, kap,” kata Anton, menimpali.


“Yang utama itu mensyukuri nikmat sehat, Anton. Karena dengan sehat itulah kita bisa lakuin aktivitas apa aja. Yang sederhana misalnya, tim volly kita menang tadi, kan diawali juga dengan adanya nikmat sehat. Dan buatku, dengan mensyukuri nikmat sehat, semuanya ikut,” urai kap Yasin.


“O iya, gimana pertandingan tadi, seru ya,” kataku, menyela pembicaraan kap Yasin.


“Wah, seru bener, om. Kejer-kejeran perolehan angkanya. Emang hebat Didit sebagai pelatih, bisa ngebuat pemain kita bener-bener nggak kenal lelah. Semangat mereka buat menang, luar biasa,” ujar Anton. Menggebu-gebu.


“Posisi akhirnya gimana?” tanyaku lagi. Penasaran.


“Kita menang 3-1, om. Set pertama, tim sana yang menang, tapi setelah itu dibuat kocar-kacir sama tim kita, sampai akhirnya kita menang telak,” lanjut Anton.


“Angkat topi aku sama taktik yang diterapin Didit, om. Bener kata dia waktu kesini, kalau sudah kolaborasiin gaya om sama pola dia selama ini. Permainan tim kita terus berganti gaya, ditambah emang pemain kita juga cerdas-cerdas, jadi asyik bener nontonnya,” urai kap Yasin, menambahkan.


“Yang pasti, Hamid kejebur beneran sekali ini, ayah. Jangan-jangan nanti sampai ngejual kaosnya buat talangi taruhan,” kata Teguh, sambil tertawa ngakak.


“Iya sih, kasihan juga ngelihat Hamid tadi. Gitu pertandingan selesai, dia langsung ninggalin timnya, balik ke blok. Pusing berat kawan,” ujar Anton, juga ikut tertawa.


“Kalau nurut aku, si Hamid emang nggak punya mental jadi pelatih. Sebagai pelatih, harusnya dia nggak ninggalin gelanggang walau timnya kalah. Anak-anaknya kan mesti dibesarin hatinya, biar mereka tetep punya semangat buat main lebih bagus lagi ke depannya,” pak Waras menimpali.


“Hamid kan emang sekadar manfaatin posisinya sebagai pelatih buat jadi bandar taruhan sih, pak. Dari situlah selama ini dia cukupi kebutuhannya selama disini. Kalau sudah kayak gini, kembali dia ke awal, jadi anak ilang,” ucap Teguh.


“Kok kamu tahu kalau Hamid itu dulunya AI, Guh?” tanya kap Yasin. Ada keheranan dalam nada suaranya.


“Kawan satu profesi dan kebetulan sekampung sama aku yang ketangkep duluan, selama ini sekamar sama Hamid, kap. Dialah yang cerita, maka aku tahu gimana Hamid sebenernya,” jelas Teguh, seraya tersenyum. 


“Emang kamu ini bukan tahanan kaleng-kaleng, Guh. Kamu pasti menang taruhan ini. Besok giliran kamu beli lauk tambahan buat makan malem,” tanggap kap Yasin.


“Nggak, kap. Aku nggak pernah ikut taruhan apapun seumur hidup. Tapi, kalau diperintah besok malem nambah lauk makan kita, walau nggak sebanyak yang kap beli, ya bisalah,” kata Teguh, dan tertawa ngakak.


“Nah, gitu dong. Tapi, jangan beli ayam bakar lagi ya, Guh. Ganti menu, ikan bakar saos tiram,” kata pak Ramdan.


“Emang ada ikan bakar saos tiram di kantin, pak?” tanya Teguh.


“Pesen sama sipir dong. Menu itu spesial, adanya di rumah makan besar di luar sana. Kalau di kantin, nggak bakal ada,” sambung pak Ramdan.


“Baru ini aku denger ada ikan bakar saos tiram, pak. Setahuku yang ada itu kepiting saos tiram,” kata Anton, sambil melihat ke arah pak Ramdan.


“Kalau kepiting saos tiram sudah banyak dimana-mana, Anton. Bukan menu spesial lagi. Ikan bakar saos tiram yang sekarang lagi jadi menu spesial. Sudah, biar Teguh yang ngatur. Tahunya besok malem, kita makannya,” kata pak Ramdan lagi, seraya tersenyum. 


Saat kami baru selesai makan malam, tampak beberapa petugas rutan berjalan dengan cepat melewati kamar kami. Dan beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamar 33 dibuka dengan cepat.


Segera kami semua bergerak. Berdiri di balik jeruji besi. Ingin mengetahui apa yang terjadi. Tidak lama kemudian, tampak penghuni kamar 33 keluar. Berbaris rapih di pelataran depan, di sela-sela taman kecil. Ternyata, kamar tersebut tengah dirazia.


“Ayo, pada duduk semua, ngapain ngintip-ngintip gitu. Nanti malah tim razia masuk sini lagi,” kata kap Yasin, yang duduk santai sambil merokok di ruang depan.


Serempak, kami yang masih berdiri di dekat jeruji besi, langsung duduk. Mengikuti perintah kap Yasin. Memang, seringkali akibat tidak mendapatkan hasil yang memuaskan dari razianya, ada saja petugas yang menyasar kamar lain, yang penghuninya tampak memperhatikan kegiatan mereka.


Meski kami tetap berbincang ringan seperti biasanya seusai makan malam, namun terasa kurang nyaman. Karena bisa saja, petugas yang sedang melakukan razia, mendadak bergeser ke sekitar kamar yang menjadi tujuan utamanya.


Untuk mengatasi ketidaknyamanan, aku memilih untuk masuk ke ruang dalam dan naik ke tempat tidurku. Mengambil buku catatan harian, dan menulis. Melakukan kegiatan yang bisa menepikan kegundahgulanaan batin dan pikiran memang harus terbiasa dilakukan, karena hanya dengan cara itulah kita tetap bisa mempertahankan ketegaran dalam menjalani hari-hari di penjara yang penuh dengan ketegangan dan keterbatasan. (bersambung)

LIPSUS