Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 423)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 27 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang

  

TIDAK menyadari kapan mulainya, ternyata aku tidur dalam posisi tengkurap karena tengah menulis pada buku catatan harian. Hingga aku terbangun dengan mendadak akibat adanya suara kencang dari kamar 31. Teriakan dan hardikan-hardikan disertai suara tangan dan kaki yang beradu dengan badan. 


Spontan aku duduk dan memperhatikan sekeliling. Ternyata, kap Yasin dan beberapa kawan yang tidur selantai denganku, belum ada yang menaruhkan badannya. Semua masih berkumpul di ruang depan.


“Ada apa di kamar 31, Ton?” tanyaku kepada Anton yang masuk ke ruang dalam untuk ke kamar mandi.


“Razianya terus bergeser, om. Cuma kamar 32 tadi dilewati,” sahut Anton, bergegas masuk kamar mandi.


Aku sudah hapal pola razia yang dilakukan petugas internal rutan. Dan aku meyakini, mereka tidak akan masuk ke kamarku. Sebuah keyakinan berdasarkan pengalaman dan kebiasaan selama ini. Meski, tetap saja segala kemungkinan bisa terjadi. Apalagi di dalam bui. Yang menurut pikiran sehat tidak mungkin, bisa saja dengan mendadak menjadi mungkin.


Aku kembali merebahkan badan. Sesuai dengan kebiasaan saat akan tidur. Dan setelah membaca doa, aku pun kembali lelap. Beristirahat. Sampai terdengar suara adzan Subuh, baru aku terbangun.


Seusai solat berjamaah, aku kembali naik ke kasur. Melanjutkan tidur. Dan semakin lelap kematian sesaatku ketika lampu kamar dipadamkan secara otomatis oleh petugas rutan. 


Sorot sinar matahari telah memasuki sebagian kamar, ketika aku membuka mata. Tidak tergerak untuk segera meninggalkan kasur. Masih ingin leyeh-leyeh. Sempat terpikir untuk berolahraga jogging mengitari lapangan sepakbola yang menjadi kebiasaanku selama ini, namun hati terasa enggan.


Sampai kemudian terdengar suara Aris mencariku. Yang dijawab oleh pak Waras, bila aku masih tidur.


“Babe masih tidur jam segini, pak? Tumben. Jangan-jangan lagi sakit kali. Coba cek dulu, pak. Dia kan selama ini nggak pernah bilang-bilang kalau sakit. Tahu-tahu, drop aja,” suara Aris yang mengkhawatirkan kondisiku, terdengar kencang.


Pak Waras masuk ke ruang dalam. Saat ia mendekat ke arahku, buru-buru ku pejamkan mata. Seakan masih tidur lelap.


“Masih nyenyak tidur, Ris. Setahuku sih babe sehat-sehat aja kok. Nanti kalau dia bangun, aku sampein kamu dari sini,” kata pak Waras beberapa saat kemudian kepada Aris.


“Oke kalau gitu, pak. Tolong sampein ya, aku ada perlu,” jawab Aris, dan tidak lama kemudian terdengar suara sandalnya meninggalkan kamarku.


“Kenapa pura-pura masih tidur sih, om. Lagi nggak mood ya ladeni Aris,” tiba-tiba kap Yasin bicara dengan pelan, meski kedua matanya tetap tertutup. Hanya mulutnya yang menunjukkan ada gerakan, tersenyum.


“Kirain kap tidur lelap, nggak tahunya ngelamun,” jawabku, juga dengan pelan. Tanpa menengok ke arah kap Yasin yang tidur tepat di sebelah kiriku. Saat itu, wajah kami sama-sama menghadap ke atas. Mengarah plafon kamar.


“Aku tidur kok, om. Bukan ngelamun. Cuma, tidurnya napi yang sudah jadi ipis itu, beda sama kebanyakan orang,” ucap kap Yasin.


“Maksudnya, kap?” tanyaku. 


“Cuma sebelah mata aja yang mejem. Sebelahnya tetep ngebuka, walau sedikit. Yang diistirahatin juga hanya setengah dari pikiran dan perasaan doang,” lanjut kap Yasin, tetap dengan pelan dan tanpa menengokkan wajahnya.


“Kenapa gitu?” tanyaku lagi. Penasaran.


“Waspada dalam situasi apapun itu perlu, om. Kita ini di penjara, jangan dikira yang tidur di sebelah, nggak bisa disusupi orang buat ngebantai saat kita lagi tidur,” jelas kap Yasin.


“Ah, kap mah berlebihan parno-nya,” kataku, tetap dengan suara pelan.


“Bukan parno, tapi tetep perlu ekstra waspada aja, om. Kita nggak tahu isi hati orang. Yang baik dan nurut di depan kita, nggak jaminan tetep gitu di belakang kita,” sambung kap Yasin.


Aku terdiam. Mencoba menelaah perkataan kap Yasin, yang disampaikan dengan suara pelan dan tanpa saling memandang. Tidak pernah aku menyangka bila selama ini kepala kamarku hidup dalam lingkaran kekhawatiran yang begitu dalam.


Perlahan, ku tatap plafon kamar dengan sedikit membuka mata. Sesaat kemudian, kembali memejamkannya. Mencoba menemukan alur akan kekhawatiran pada diri kap Yasin selama ini. Hingga ia selalu hidup dalam kewaspadaan, bahkan saat tidur sekali pun, dan menjadi terbiasa hanya mengatupkan sebelah mata.


Tiba-tiba aku teringat sebuah ayat di dalam Alqur’an. Segera aku bangun dan mengambil kitab suci yang ada di atas rak. Membuka surah Ar-Ra’du ayat 11. Aku membaca artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.”


Dengan pelan, aku serahkan Alqur’an ke tangan kap Yasin, yang masih terus merebahkan badan. Dan ku tunjukkan ayat yang baru aku baca. 


Tampak kap Yasin membaca apa yang aku arahkan. Berkali-kali mulutnya berkomat-kamit, pertanda terus membaca dan mencoba memahami secara mendalam makna yang ditegaskan Allah pada ayat tersebut.


Setelah mengembalikan Alqur’an ke tanganku, kap Yasin menanyakan maksudku memintanya membaca makna ayat 11 surah Ar-Ra’du itu.


“Biar kap makin yakin, kalau Allah sudah nugasin malaikat ngejaga kita. Jadi, nggak perlu khawatir-khawatir amatlah jalani hidup ini,” kataku.


“Tapi, waspada itu kan sebuah ikhtiar, om. Dan kita wajib berikhtiar,” ucap kap Yasin.


“Nggak salah emang ikhtiar buat waspada, kap. Tapi, jangan over. Karena sewaspada atau sehati-hati apapun kita, kalau Allah berkehendak, sesuatu yang nggak kita sukai tetep aja terjadi,” lanjutku.


“Jadi maksud om, waspada boleh tapi jangan pula sampai tidur pun, cuma mata sebelah yang merem, gitukan,” kata kap Yasin lagi. Ada seulas senyum di bibirnya.


“Gampangnya ya gitulah, kap. Yang aku khawatirin, karena kencengnya kap ngejaga kewaspadaan, sampai kap nomorduain kalau yang nentuin apapun atas diri kita itu hanya Allah. Ikhtiar lahiriyah kap yang kelewatan itu bisa jadi bagian sederhana dari ketidaksadaran kalau telah ngecilin kuasanya Allah,” uraiku, yang telah kembali merebahkan badan. 


Mendadak, kap Yasin bangun dari kasurnya. Dan langsung mengucapkan istighfar sebanyak tiga kali dilanjutkan dengan melafalkan kalimat tauhid. 


“Terimakasih, sudah ngingetin aku, om. Sepele emang yang aku lakuin selama ini, dan nggak sadar kalau rasa khawatir yang berlebihan itu malah bisa jerumusin aku ke perbuatan nyepelein Sang Penguasa Langit dan Bumi ini,” ujar kap Yasin, dan menggenggam erat tanganku. Buru-buru aku bangun dari kasurku.


Aku tersenyum dan menepuk-nepuk bahu kap Yasin. Pria yang telah beberapa kali masuk penjara ini, sesungguhnya cukup rajin melaksanakan ajaran agama. Namun, seperti juga kebanyakan orang, acapkali kegundahgulanaan batin yang begitu dalam, membuat pikiran membawa kepada perilaku yang tanpa disadari telah melemahkan keberadaan Sang Khaliq. Dan disadari ataupun tidak, siapapun kita pasti pernah melakukannya. (bersambung) 

LIPSUS