Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 424)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 28 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang  


PAK Waras masuk ke ruang dalam. Melihat aku dan kap Yasin duduk berdekatan, ia tersenyum.


“Rupanya bangun tidur langsung diskusiin arti mimpi ya,” ucap pak Waras, sambil terus melangkah menuju kamar mandi. Yang posisinya tepat berbatasan dengan tempat tidurku.


“Mimpi aja nggak pernah, apanya yang mau didiskusiinlah, pak,” jawabku, dan segera berkemas untuk meninggalkan tempat tidur.


Setelah merapihkan dan membersihkan selimut, kasur, bantal, dan guling, aku turun dari lantai atas. Menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.


“Om, kopi pahitnya sudah siap. Sama ada singkong rebus kiriman komandan,” terdengar suara pak Ramdan dari ruang depan.


“Kok cuma om Mario aja yang disiapin kopi sih, pak. Emang dikira aku belum bangun apa,” kap Yasin menyela dengan suara lantang.


"Oh, siap, kap. Kirain masih molor. Nggak biasanya sih jam segini sudah melek,” sahut pak Ramdan, yang segera bergerak untuk menyiapkan kopi manis untuk kap Yasin. 


Beberapa saat kemudian, kami telah duduk di ruang depan. Menikmati minuman hangat buatan pak Ramdan dan mencuili singkong rebus kiriman komandan.


“Tumben pagi-pagi komandan ngirim singkong rebus, pak?” tanyaku kepada pak Ramdan.


“Dia piket pagi, om. Biasalah, tampingnya yang rebusin, makanya kita bisa sarapan singkong pagi ini,” jawab pak Ramdan.


“Alhamdulillah, terus bersyukur ya, be. Lagi tidur pun ada aja yang kirim makanan. Rejeki emang nyari yang ditujunya dan nggak disangka-sangka datangnya,” kata pak Waras, sambil menikmati singkong rebus.


“Bagusnya kita semua yang bersyukur, pak. Bukan aku aja. Karena sebenernya kan ini rejeki kita semua, cuma lewat aku,” sahutku, yang juga menikmati singkong rebus sebagai pengisi perut.


“Ngomong-ngomong, gimana sih cara iblis alias setan itu beranak-pinak ya, pak. Aku penasaran bener lo,” kata kap Yasin tiba-tiba, seraya menatap pak Waras.


“Lha, ngapa to kok ndadak ngomongin soal iblis atau setan ini, kap?” tanyaku dengan cepat.


“Gini lo, om. Faktanya, begitu banyak orang yang terus dipengaruhi iblis atau setan dalam hidupnya. Nggak usah ngomongin orang lain deh, aku pribadi aja. Sekadar mau rutin solat subuh berjamaah di kamar, malesnya minta ampun. Padahal aku tahu waktu om, pak Waras, pak Ramdan maupun Anton bangun dan solat. Tapi, aku nggak tergerak buat ikutan. Setan atau iblis kayak melukin gitu, biar aku tidur lagi. Dan akhirnya, aku jarang solat subuh,” tutur kap Yasin, panjang lebar. 


Mendengar pengakuan kap Yasin, tampak pak Waras tersenyum dengan santainya. Seakan apa yang dialami kepala kamar kami itu sesuatu yang biasa-biasa saja.


“Kok malah senyum to, pak. Mbok yo dikasih kejelasan apa yang jadi omongan kap tadi,” kataku, menatap pak Waras.


“Aku senyum karena inget waktu masih ngajar di madrasah dulu. Ada muridku yang nyampein pertanyaan, mirip sama yang kap omongin tadi, be. Dan ini makin buatku yakin, kalau urusan setan atau iblis emang nggak bakal selesai dibahas sampai kiamat datang,” jawab pak Waras. Ada seulas senyum tipis di sudut bibir tebalnya. 


“Kalau gitu, pak Waras tahu dong gimana iblis beranak-pinak?” tanya kap Yasin.


“Aku nggak tahu pastinya, kap. Cuma yang ku inget, nurut kitab tafsir Al-Qurtubi, iblis itu berkembang-biak dengan cara bertelur,” kata pak Waras.


“Penjelasan lugasnya gimana?” tanya kap Yasin lagi. Penasaran.


“Dalam kitab itu disampein, Allah nyiptain zakar pada paha kanan iblis dan farji pada paha kirinya. Dan waktu iblis nikahin paha kanan sama paha kirinya, keluarlah setiap hari 10 telur. Dari setiap telur itu, keluarlah 70 iblis atau setan lelaki dan iblis perempuan. Itu yang aku inget,” ujar pak Waras.


“Jadi bisa dibilang, setiap hari si iblis alias setan itu nambah 700 anak dong, pak,” kata pak Ramdan, menyela.


“Itu baru dari satu iblis aja lo, pak. Jangan lupa, iblis atau setan ada di bumi ini lebih dulu dari Nabi Adam. Nenek moyang kita sebagai manusia. Kebayangkan, kalau sekarang manusia di bumi misalnya ada 15 miliar jiwa, berapa banyak setan di sekelilingnya. Lagian, mereka itu kan nggak mati-mati, beda sama manusia kayak kita. Makanya, wajar kalau ada yang bilang, kita ini sebenernya hidup di tengah-tengah keroyokan mereka buat jauhi ajaran Allah,” urai pak Waras dengan panjang lebar. 


Kami semua terdiam. Apa yang disampaikan pak Waras bukan hanya merupakan pengetahuan baru, tetapi juga menyadarkan diri, bahwa kami saat ini tinggal dan hidup di dalam bui tidak lepas dari akibat ketidakberdayaan menghalau godaan iblis alias setan.


“Kalau jin gimana, pak?” tanyaku, terus menggali pengetahuan pak Waras. 


“Kalau jin muslim itu saudaranya kita orang muslim, be. Makanan mereka cuma kotoran manusia dan tulang. Itu yang aku tahu dan ada haditsnya soal ini,” jawab pak Waras, dengan gaya khasnya; santai.


“Gimana haditsnya?” tanyaku lagi.


“Haditsnya diriwayatin oleh Tarmidzi.  Abdullah bin Mas’ud mengatakan, Rasulullah bersabda: janganlah kalian beristinjak (cebok) dengan kotoran, dan jangan pula dengan tulang. Karena keduanya merupakan makanan bagi saudara kalian dari kalangan jin. Gitu bunyi haditsnya,” jelas pak Waras. 


“Terimakasih bener pengetahuan buat kami ngenali iblis sama jin ini ya, pak. Bener-bener berarti buat kami. Maklumlah, kami ini kan mayoritas baru belajar agama setelah di dalem penjara,” kata kap Yasin, sambil tersenyum ke arah pak Waras. 


“Sama-samalah, kap. Kita kan emang perlu saling nyampein dan ngingetin buat kebaikan. Kalau kata Imam Al-Ghazali, nuntut ilmu itu adalah takwa, nyampein ilmu adalah ibadah, mengulang ilmu adalah dzikir, dan mencari ilmu adalah jihad. Jadi, kalau kata kap tadi, mayoritas kita baru di dalem penjara ini cari ilmu dan belajar agama, sebenernya ya kita lagi berjihad. Optimis aja dan terus jaga istiqomah kita,” tanggap pak Waras, tetap dengan gaya santainya.


“Aku juga terimakasih, pak. Apa yang pak Waras sampein, nambah pengetahuanku. Dan ini luar biasa,” ujar Anton, yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.


“Kok baru buka mulut sekarang, Anton. Tumben, biasanya kamu ceplas-ceplos seenak udelmu aja,” kata pak Ramdan, sambil tertawa.


“Bukan gitu, pak. Aku lagi belajar nyesuaiin sama situasi. Ada kalanya jadi pendengar yang baik, ada waktunya nyeletuk semaunya,” sahut Anton, diiringi tawa lepasnya. (bersambung)

LIPSUS