Cari Berita

Breaking News

Harris Harap Sastra Indonesia "Baru" Lahirkan Kritikus

Jumat, 24 Februari 2023



INILAMPUNG, AGAM -- Menyambut dunia digital telah menggusur media cetak, terutama media cetak seperti koran dan majalah. 

Dunia digital yang bersamaan hadirnya internet, sehingga masyarakat bisa cepat membaca, memirsa, dan menulis beralih ke media sosial: FB, WA, dan lainnya.

Masalah dan tantangan media digital dalam memajukan baca, tulis, dan pirsa diangkat dalam seminar International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) di PPSDM Baso Agam, Jumat (24/02/2023).

Sastrawan cum guru besar Universitas Negeri Padang (UNP) Prof. Harris Effendi Thahar mengatakan bahawa dunia digital juga melegitimasi sastra Indonesia "baru".

"Sastra Indonesia 'baru" yang saya maksud adalah kelahiran sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan secara baru, yakni melalui media online yang menggunakan berbagai aplikasi seperti facebook, youtube, atau bisa juga melalui whats app," penulis cerpen "Si Padang" itu.


Karya sastra itu, lanjut dia, dapat berupa puisi, cerpen, novel secara bersambung, naskah drama dan seterusnya yang ditulis oleh siapa saja yang merasa berbakat yang sebelumnya belum punya kesempatan menerbitkannya dalam bentuk karya tercetak melalui penerbit.  

"Bahkan ada peulis yang sudah biasa menerbitkan karyanya di media cetak, ikut nimbrung memublikasikannya melalui media online," dia menambahkan.

Selama ini, kata Harris bila seorang penulis ingin menerbitkan karyanya menjadi buku atau publikasi di suratkabar atau majalah, tentulah bersedia diseleksi oleh redaksi penerbit yang dituju. Karena, penerbit apa pun sangat memelihara kredibilitasnya sebagai penerbit, baik penerbit buku maupun penerbit koran atau majalah.  

"Karya-karya sastra yang bermutu yang lahir dari suatu penerbit, akan menjadikan penerbit itu sebagai jaminan mutu seperti halnya penerbit Balai Pustaka di zaman kolonial Belanda, pemuatan cerpen di Koran Kompas edisi Minggu, malajah Sastra Horison (alamarhum), sebagai contoh."

Dia mempertanyakan, bagaimana dengan karya-karya sastra yang menjamur di media sosial, yang barangkali hanya melalui self sencorship? Berbicara mengenai mutu, tentulah pembaca yang akan menilainya, syukur-syukur ada kritikus yang tertarik untuk membicarakan karya-karya yang bisa saja bermutu bagus. 

"Dari segi jumlah audiens, media sosial sekarang telah melebihi pembaca media cetak seperti yang sudah dibicarakan di atas," tuturnya.

Apakah perkembangan ini merupakan suatu kemajuan dari proses penciptaan karya sastra Indonesia? 

Memang, imbuh dia, setiap kemunculan sesuatu yang baru, seperti kebebasan memublikasikan karya sastra tersebab kehadiran internet dan media sosial, melahirkan banyak harapan-harapan di samping juga ada kekhawatiran. Harapan-harapannya adalah karena akibat kebebasan memilih jalur penerbitan karya, semakin terbuka dan semakin banyak lahir karya sastra di dunia, dan tentu juga di Indonesia.  

Sementara soal mutu, tekan dia, yang mungkin ada kekhawatiran sebagian orang, diharapkan dapat pula melahirkan kritikus-kritikus sastra baru, terutama di  kalangan akademisi untuk memperkaya kajian kesastraan Indonesia.

LIPSUS