Cari Berita

Breaking News

Melongok Minang Melalui Para Penyair

Minggu, 26 Februari 2023


Oleh Anick HT


-----------
Judul : Minangkabau dalam Batin Penyair (Antologi Puisi Satupena Sumbar)

Penulis : Abdullah Khusairi, Armaidi Tanjung, Gamawan Fauzi, dkk

Editor : Sastri Bakry & Armaidi Tanjung

Penerbit : Pustaka Artaz, 2022

-------------


Bukan karena jalan dialih urang lalu tapi pemilik yang menyesat

Bukan cupak dililih urang penggalas tetapi pembeli yang minta cupak dikerat

Ninik mamak menggadai bundo pun membagi dan menjual sukat

Sako soko dan pusako tak berumah ketika sansoko dijual bermurah-murah

Penjual dan pembeli pun antah berantah


INI adalah cuplikan satu bait puisi karya Hasanuddin Datuk Tan Patih berjudul Ironi Nagai Hari Ini. Bait ini adalah potret kecil dari akumulasi kegelisahan terhadap perubahan dan pergeseran budaya di Ranah Minang. Soal ini pula yang banyak direspons oleh 9 penyair yang menulis 104 puisi dalam buku bertajuk “Minangkabau dalam Batin Penyair.”

Saya berkesempatan menghadiri peluncuran buku ini dalam rangkaian acara International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) tanggal 25 Februari 2023 di PPSDM Bukittinggi. IMLF ini sendiri digelar selama 6 hari di Kota Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Baso.

Membaca buku ini, kita seperti ditumpahi dengan kegelisahan demi kegelisahan akibat terkikisnya budaya luhur Ranah Minang. Tata krama yang menghilang, nilai adat dan agama memudar, sako pusako yang tergadai, rumah gadang yang bolong, krisis literasi negeri pujangga.

Inilah sisi gelap kemajuan zaman. Para penyair ini menangis menjerit melihat gejala perubahan struktur budaya seperti itu. Bagi mereka, eksistensi Minang dan keminangan sedang terancam. Apakah semuanya akan berubah? Ke mana arah perubahan itu?

Gamawan Fauzi dalam pengantarnya memberi nuansa optimistis, bahwa perubahan Minang tetap menyisakan kekhasan dan karakternya. Perubahan itu tak kuning dek kunyik dan tak lamak dek santan. Menurut Gamawan, ada empat tingkatan adat: adat sabana adat, adat yang teradat, adat yang diadatkan, dan adat istiadat.

Menurutnya, pada tingkat adat sabana adat-lah perubahan itu tak boleh terjadi. Ia berbuhul mati. Dicabuik tak mati, diasak tak layua. Inilah filter terakhir adat. Jika terjadi perubahan pada tingkat ini, hilang pulalah eksistensi Minang.

Pada konteks seperti ini, kegelisahan para penyair dalam buku ini justru menemukan relevansinya. Mereka melihat daya kikis modernisme dan globalisasi telah sedemikian kuat hingga alarm perlu dibunyikan. Nama-nama besar Ranah Minang seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Hamka, Tan Malaka, perlu dipanggil kembali dan diperkenalkan kepada generasi penerus Minang.

Alarm ini harus nyaring, sehingga para anak bundo kanduang dituntut untuk meracik kemajuan, tapa meninggalkan tradisi. Dr. Satrio Arismunandar, Sekjen Satupena, mencontohkan keberhasilan Jepang dalam hal ini. Jepang adalah negara yang sangat maju, namun sama sekali tidak kehilangan tradisi dan budayanya. Bagi Satrio, tradisi dan adat keminangan tidak identik dengan spirit anti-kemajuan. Mereka bisa berjalan beriringan dan saling mendukung.

Karena itu, seperti ditulis oleh Denny JA dalam pengantarnya, penerbitan buku puisi seperti ini bisa dianggap sebagai anak tangga untuk membangkitkan kembali Minangkabau, terutama dalam kerangka literasi. Bagi Denny, Minangkabau bukanlah raksasa yang sedang tidur, namun raksasa yang sedang istirahat sejenak untuk dibangkitkan kembali.

Di luar soal kegelisahan, antologi puisi ini juga berbicara banyak tentang keindahan tanah Minangkabau, kekuatan tradisi, masalah-maslah sosial yang terjadi, termasuk respons para penyair terhadap isu-isu nasional. Melalui puisi-puisi ini, kita disuguhi kekayaan dan keindahan Minang yang aduhai, dalam kaca mata para penyair. Dalam hal ini, buku ini juga menjadi penyaksi peradaban.

Ada tiga puisi yang tertulis utuh dalam bahasa Minang yang asyik. Meskipun sebagai pembaca saya hanya bisa meraba-raba kalimat demi kalimat, namun bagi saya, bahasa Minang adalah bahasa yang sangat enak rimanya. Apalagi jika dibunyikan. Ada kenikmatan rima yang asyik.

Banyak puisi lain juga juga nampak asyik ketika dalam beberapa baitnya bertutur atau mengutip pepatah petitih dalam bahasa Minang. Seringkali, rasa bahasa merupakan elemen penting dalam berpuisi atau pun membaca puisi. Tradisi berpepatah ini juga menjadi elemen penting Ranah Minang yang tidak hilang sampai saat ini.

Ini pula yang diungkapkan oleh D. Kemalawati, penyair Aceh, yang turut berbicara dalam peluncuran buku ini. Bagi penyair yang sering disapa Deknong ini, puisi-puisi Minang memiliki kelebihan tersendiri dalam hal cara bertutur dan konsistensi kepenulisan. Bagi Deknong, 104 puisi dalam buku ini sudah sangat cukup untuk melihat Minang dan keminangan. Ia merepresentasikan puluhan literatur tentang Minangkabau.[]



LIPSUS