Cari Berita

Breaking News

Nasib Literasi di Negeri Para Pujangga

Senin, 27 Februari 2023

      Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy
        (berbatik merah-tengah)

Catatan dari International Minangkabau Literacy Festival 


oleh Anick HT


Di tengah gempuran digitalisasi dalam segala hal, internet of everything, salah satu perbincangan penting dalam berbagai forum adalah: siapkah kita menghadapi era ini? Siapkah anak-anak kita menjadi manusia global, sementara benteng kultural dan keberadaban kita terlalu lemah?

Tradisi literasi kita berada pada titik yang sangat rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca masyarakatnya. Sementara, berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 juga mencatat, hanya sekitar 3,74% penduduk Indonesia yang mengunjungi perpustakaan dalam tiga bulan terakhir di tahun itu.

Bagaimana dengan kondisi ranah Minang? Minangkabau atau Sumatera Barat secara umum, memiliki sejarah panjang tradisi literasi yang sangat kaya. Tanah ini melahirkan para pemikir dan penulis hebat negeri ini: Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Sjahrir, Tan Malaka, Hamka, dan seterusnya. Tersebutlah tanah ini sebagai negeri para pujangga.

Tradisi berpantun dan bersyair, pepatah juga sangat kuat melekat, dan digunakan dalam berbagai acara adat, seperti pernikahan, sunatan, dan upacara kematian. Kaba dan cerita rakyat juga sangat kuat diwariskan antargenerasi.

Minangkabau juga memiliki berbagai warisan budaya tertulis yang penting seperti naskah-naskah silsilah keluarga dan naskah-naskah sejarah. Naskah-naskah tersebut sering digunakan sebagai sumber informasi dan acuan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tradisi menulis jawi dan baca-tulis Alquran juga berkembang sedemikian rupa di tanah ini.

Pertanyaan pentingnya: bagaimana kondisi literasi Minangkabau hari ini? Atas pertanyaan ini, yang mengemuka adalah keresahan, kegalauan dari para pegiat literasi Minang. Bisa dibayangkan keresahan itu jika data UNESCO pada 2001 saja sudah mendeteksi 15 bahasa daerah yang sudah dianggap punah. 

Ini pula yang disimpulkan oleh Komunitas Penulis Satupena Sumatera Barat. Keresahan itulah yang memunculkan gagasan besar hari ini: International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) 2023, yang digelar selama enam hari. Mereka mengundang para penulis, peneliti, penyair dan pegiat literasi dari berbagai kota di Indonesia, serta dari berbagai belahan dunia.

Tagline IMLF 2023 ini juga menegaskan orientasi literasi yang mencakup pemahaman terhadap teks-teks “Nan Tasurek, Nan Tasirek, Nan Tasuruak.” (Kecakapan semantik, kecakapan simbolik, dan kecakapan spiritual).

Berkumpullah para penulis dan seniman dari Malaysia, Brunei Darussalam, Argentina, Australia, Rusia, India, Bangladesh. 

Dari Indonesia sendiri ada peserta dari Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Jakarta, dan Aceh. Nama-nama penyair besar seperti Isbedy Stiawan ZS, D Kemalawati, Din Saja, Boyke Sulaiman juga turut hadir.

Selama enam hari, panitia menyelenggarakan kegiatan di berbagai tempat: Aula kantor Gubernur Sumatera Barat, PDIKM Padang Panjang, Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi, dan kemudian disentralisasikan di PPSDM Bukittinggi di Baso, Agam.

Selain diskusi, jumpa penulis, peluncuran buku, pembacaan puisi, pementasan teater dan lagu tradisional, pameran lukisan dan foto, lomba mewarnai, lomba story telling, juga demo masak sebagai bagian dari pertukaran budaya antarnegara.

Selama enam hari kita dimanjakan dengan berbagai tradisi kultural yang sangat kaya berbasis adat Minangkabau, maupun persembahan dari negara-negara delegasi.

Salah satu yang menarik misalnya, penampilan teater dari Brunei Darussalam berjudul Nakhoda Manis. Pementasan teater selama lebih dari satu jam ini berkisah tentang asal muasal satu tempat bernama Jong Batu, di Kampung Burong Pingai Ayer. Kisah ini pun dianggap sebagai bagian dari sejarah Brunei. Menariknya, kisah perjalanan Sang Nakhoda Manis sama persis dengan kisah Malin Kundang yang dipercaya oleh masyarakat Minang.

Diskusi tentang berbagai tema literasi, dunia kepenulisan, dan perbukuan juga menghadirkan narasumber-narasumber yang sangat penting sepanjang acara ini. Salah satu peneliti Australia, Prof. David Reeve, adalah salah satu delegasi sekaligus narasumber yang menyedot perhatian. Pada 2017 ia menulis satu buku sosiologis antropologis penting berjudul “Angkot dan Bus di Minangkabau: Budaya Pop dan Nilai-nilai Budaya Pop.” Buku ini membahas keunikan dari angkot dan bus yang beroperasi di Minangkabau dari sisi gambar, tulisan dan juga musik yang digunakan oleh berbagai angkot tersebut.

Selama berlangsungnya acara, peserta juga disuguhi pameran lukisan dan foto yang sangat menarik. Lima orang seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini: Minda Sari (Padang, Indonesia), Nazhatulshima Nolan (Malaysia), Herisman Is (Pekanbaru, Indonesia), Reshma Ramesh (India), dan Denny JA (Jakarta, Indonesia). 

Ada dua hal yang unik dalam pameran ini. Reshma Ramesh, salah seorang penyair dari India manghadirkan puluhan karya fotografi yang hitam putih digabungkan dengan puisi. Persembahan berjudul Language of Shadows ini sangat unik dan inspiratif. Sementara, Denny JA menampilkan terobosan baru dengan belasan karya lukisnya yang penuh pesan moral. Ia menuangkan idenya dengan lukisan yang dibantu oleh Artificial intelligence (AI). Karya Denny ini menegaskan pengaruh digitalisasi ke dalam dunia seni lukis.

Ada satu hal lain yang luar biasa dan layak diapresiasi dari penyelenggaraan IMLF ini, yakni kolaborasi. Keterlibatan Gubernur Sumatera Barat, istri Gubernur, Walikota Padang, Walikota Bukittinggi, Bupati Agam, Walikota Padang Panjang, beberapa camat serta istri-istri Walikota dan Bupati tersebut sebagai Bunda Literasi menjadi dukungan penting terhadap bangkitnya kembali literasi Minangkabau.

Acara ini juga melibatkan banyak sekali penyair, seniman tari, seniman musik, serta ratusan anak-anak sekolah di sekitar Kabupaten Agam. Tak kalah penting, UKM-UKM yang disediakan tempat khusus dan diintegrasikan dengan kepentingan hampir 200 peserta dari berbagai negara ini. Dan secara keseluruhan, sebagaimana ketakjuban yang ditangkap kuat oleh delegasi India-Dr. Reshma Ramesh, keterlibatan kelompok perempuan dari berbagai segmen yang sangat dominan dalam acara ini.

Kolaborasi ini menumbuhkan spirit berharga bahwa kesadaran untuk membangkitkan kembali literasi Minangkabau lahir dari berbagai elemen dan stakeholders. Dan pegiat literasi tidak lagi berjalan sendirian. 

Kolaborasi seperti ini sangat penting untuk direplikasi dan digaungkan ke seantero nusantara. Dalam hal ini, penghargaan dan apresiasi sangat layak disematkan kepada Sastri Bakry, penyair Minangkabau, yang menyutradarai perehelatan besar ini. 

IMLF 2023 ini juga merumuskan 7 resolusi penting terkait revitalisasi literasi Minangkabau, serta 13 rekomendasi yang cukup komprehensif sebagai bagian dari upaya penguatan literasi. Salah satunya adalah usulan kepada Pemerintah Daerah untuk menganggarkan 1% dari APBD untuk pemajuan literasi budaya Nusantara, khususnya Minangkabau.

Baso, Agam, 26 Februari 2023.


LIPSUS