Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 425)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 01 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang 


TERNYATA bisa juga kamu jadi anak baik gini ya, Anton,” kata kap Yasin, seraya tersenyum.


“Aku kemarin siang baca buku yang ada di samping kasur kap. Disitu aku ketemu perkataan Imam Al-Ghazali, dan aku coba ikuti waktu pak Waras nyampein soal setan sama jin tadi. Yah, belajar ngamalin pengetahuan aja niatnya,” ucap Anton. 


“Apa kata Imam Al-Ghazali yang buatmu jadi nggak asal nyeplos kayak biasanya itu?” tanya pak Ramdan, menatap Anton.


“Yang aku inget, beliau bilang: kalau kamu lagi duduk sama orang berilmu, perbanyaklah diam, kalau kamu duduk sama orang bodoh, juga perbanyaklah diam. Karena diammu saat bersama orang berilmu atau alim, akan menambah ilmumu, sedang diammu saat bersama orang bodoh, akan menambah kewibawaanmu. Itu yang aku inget. Kalau salah, kan pak Waras bisa ngelurusin,” kata Anton, kali ini dengan wajah dan suara yang serius.


Spontan, kami melihat ke arah pak Waras. Pria bertubuh tambun yang memang dikenal sebagai ustadz kampung ini, tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mengisyaratkan, apa yang disampaikan Anton sesuai dengan perkataan Imam Al-Ghazali.


“Hebat kamu, Anton. Otakmu sudah bersih kalau gitu, bisa nginget petuah ulama besar,” ujar kap Yasin dan bergerak menyalami Anton yang masih terbengong.


“Alhamdulillah, beneran ini pak Waras. Apa yang aku sampein nggak melenceng dari perkataan Imam Al-Ghazali,” kata Anton, dan menatap pak Waras.


Pak Waras kembali tersenyum, dan mengacungkan kedua jempol tangannya ke arah Anton. Seketika anak muda itu menjatuhkan wajahnya ke lantai. Sujud syukur. 


Dan saat ia mengangkat kembali wajahnya, tampak ada air mengambang di kedua sudut matanya. Air mata keharuan dan kebahagiaan yang tidak terkira nilainya. 


Tamping kunci datang, membuka gembok kamar. Dan langsung bergerak ke kamar sebelah. Waktunya bagi para tahanan menikmati suasana bebas di luar selnya masing-masing. 


Tidak lama kemudian, puluhan orang berhamburan di sepanjang selasar jejeran kamar tahanan dengan wajah penuh keceriaan dan suara percandaan sebagai ekspresi kebahagiaan. Bak ayam yang baru dibuka pintu kandangnya, langsung berlarian kesana-kemari.


Aku beringsut dari ruang depan, untuk membersihkan badan di kamar mandi. Pak Ramdan yang juga telah bersiap untuk mandi, memberi kesempatan untukku terlebih dahulu. Seusai dari kamar mandi dan berganti pakaian, aku kembali ke bidang tempatku, dan merebahkan kasur yang semula disandarkan ke tembok.


“Lah, ngapa itu babe, kok malah gelar kasurnya lagi. Ini sudah mau dhuhur lo,” kata pak Waras, melihat aku kembali duduk di kasur.


“Lagi pengen leyeh-leyeh aja, pak,” jawabku, singkat.


“Oh iya, be. Lupa aku nyampeinnya. Tadi Aris kesini, pengen ketemu babe, katanya ada perlu,” lanjut pak Waras.


“O gitu, terimakasih infonya, pak. Palingan juga nanti dia kesini lagi kalau aku nggak cari dia,” ucapku, dan merebahkan badan di kasur. 


Beberapa saat kemudian, terdengar suara adzan Dhuhur dari masjid. Pak Waras dan pak Ramdan mengajakku solat berjamaah di Rumah Allah seperti biasanya. Namun, entah mengapa, siang itu aku sedang ingin solat di kamar. 


“Izin, aku nggak ke mesjid, pak. Pengen solat di kamar aja,” ujarku, menjawab ajakan pak Waras dan pak Ramdan.


“Aku juga solat di kamar ajalah, sama om Mario. Tetep jamaahan kan, om,” kata Anton, yang sebelumnya telah berdiri di pintu kamar untuk menuju masjid bersama pak Waras dan pak Ramdan. 


Dan akhirnya aku solat Dhuhur di kamar, dengan makmun hanya Anton seorang. Saat itu, memang hanya kami berdua yang berada di kamar. Kawan-kawan yang lain tengah menikmati waktu bebas dengan kegiatannya masing-masing.


Selepas menjalankan ibadah wajib tersebut, aku kembali ke kasur. Leyeh-leyeh. Hingga seiring berjalannya waktu, satu demi satu penghuni kamar kembali ke sel. Petugas apel siang dengan cepat melakukan tugasnya, dan setelah mereka berlalu dari kamar, kami segera makan siang bersama. 


Sebatang rokok telah habis aku hisap, sebagai pelengkap kenikmatan selepas makan siang. Sambil berbincang dengan kawan-kawan di ruang depan. Setelahnya, kembali aku beranjak menuju kasur dan tidur. Sampai dibangunkan pak Ramdan ketika adzan Ashar mengalun kencang.


“Aku solat di kamar aja, pak,” kataku kepada pak Ramdan. 


Mendengar jawabanku, pak Ramdan segera berbalik dan keluar kamar. Mengikuti langkah pak Waras yang telah berjalan terlebih dahulu. Baru saja aku selesai solat bersama Anton, datang Aris. Ia berdiri di balik jeruji kamar sambil memanggilku.


“Sebentar, Ris. Om Mario baru selesai solat,” kata kap Yasin, yang baru keluar dari kamar mandi.


“Siap, kap. Aku sabar menunggu kok,” jawab Aris.


Setelah selesai melakukan prosesi doa, barulah aku keluar kamar. Dengan tetap memakai sarung dan kupluk. 


“Kayak santri lo babe kalau pakai sarung sama kupluk-an gini,” ucap Aris, saat menyalamiku.


“Lha, kita kan emang lagi mondok sih, Ris. Lupa ya kamu,” sahutku, sambil tersenyum, dan mengajaknya duduk di gazebo depan kamar 34.


“Nggak usah di gazebo, lagi rame gitu. Nanti kita nggak bisa ngobrol malahan. Kita ke kantin aja, sambil makan mie ayam,” kata Aris. 


“Aku hari ini ke mesjid aja nggak, masak malah mau ngeluyur keluar blok buat ke kantin. Cari tempat lain aja asal nggak keluar blok,” ucapku.


“Lho, emang kenapa babe nggak solat ke mesjid kayak biasanya?” tanya Aris. Terheran.


“Lagi males aja, Ris. Kali keimananku lagi turun ya, makanya nggak kepengen solat ke mesjid hari ini,” jawabku. Terusterang. 


“O gitu, biasa itu, be. Iman kita emang sering naik-turun. Manusiawi aja. Nggak usah jadi beban, semuanya sekadar bagian dari lika-liku kehidupan,” kata Aris, seraya tersenyum.


“Tapi aku tetep solat dan jamaahan walau di kamar, Ris. Cuma bedanya nggak di mesjid aja,” terangku.


“Aku percayalah, be. Nggak mungkin lagi babe ninggalin solat lima waktu. Emang berat sih mertahanin keimanan kita tetep mantep, apalagi di bui gini. Tapi, ya nggak ada pilihan buat kita, selain jalani meskipun pahit, lalui walau sulit. Yang penting, kita harus tetep kuat dan semangat, biarlah waktu yang jadi obat,” tutur Aris panjang lebar, dan merangkulku. (bersambung)

LIPSUS