Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 426)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 02 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


AKHIRNYA, aku dan Aris duduk ndeprok di tepian kolam ikan hias yang ada di depan kamar 25. Saat itu, pria yang pernah menjadi Wakil Rakyat ini meminta pendapat mengenai adik perempuannya yang akan menikah.


“Kalau sudah sampai jodohnya, ya nikahinlah, Ris. Terus masalahnya apa,” tanggapku.


“Bapakku kan sudah wafat, be. Aku anak tertua di keluarga. Aku yang berhak jadi wali nikahnya. Adekku juga memang minta aku yang nikahin, nggak mau pakai wali yang lain,” tutur Aris.


“Maksudmu, gimana caranya minta izin dari rutan buat nikahin adek, gitukan?” tanyaku. Langsung membaca arah pembicaraan Aris.


Aris menganggukkan kepalanya dengan mantap. Tatapan matanya penuh harap.


“Nanti kita diskusiin sama komandan ya. Pasti ada jalannya, Ris. Apalagi, ini adek kandung, pastilah pimpinan rutan juga punya kebijaksanaan,” kataku, seraya tersenyum. Menebar hawa ketenangan agar Aris berkurang kegalauannya.


“Aku minta tolong babe aja yang jajaki ya, nggak usah langsung sama aku,” ujar Aris, setelah berdiam beberapa saat.


“Lah, kan kamu yang berkepentingan langsung, ya kamu harus ada dong, Ris. Okelah aku yang nyampein, tapi kamu juga mesti ikut. Aneh-aneh aja kamu ini,” sahutku dengan cepat.


“Aku takut ditolak dan gagal usaha ini, be. Kebayang sama aku, gimana perasaan adekku kalau sampai aku nggak bisa jadi walinya waktu nikah. Apalagi dia adek perempuan satu-satunya,” kata Aris.


“Nggak usah mikirin hal-hal yang nggak ngenakin hati, Ris. Jalani aja dulu. Inget ya, gagal atau berhasil itu sama-sama berhak buat hadir di kehidupan ini, jadi nggak usah khawatir apalagi takut,” ucapku.


Suara adzan Maghrib terdengar dari masjid di dalam kompleks rutan, kami pun segera berpisah menuju kamar masing-masing setelah bersalaman. Seusai solat berjamaah, aku naik ke bidang tempat tidurku dan membaca Alqur’an. Suara adzan Isya menyudahi kegiatan rutinku mengaji.


“Kayaknya ada yang serius bener Aris ngajak ngobrol om tadi?” tanya kap Yasin, saat kami makan malam bersama berlauk ikan bakar saos tiram yang dibeli Teguh. 


“Nggak juga sih, kap. Cuma kasih tahu adek perempuannya mau nikah dan dia pengen jadi wali nikahnya,” sahutku, terus menikmati makan malam.


“Maksudnya, Aris yang nikahin, gitu ya?” tanya kap Yasin lagi.


“Iya gitu maksudnya, kap,” jawabku, singkat.


“Terus, ada masalah apa emangnya, om?” Anton menyela.


“Nggak ada sih sebenernya, Ton. Cuma Aris ngajak diskusi buat dapetin izin keluar rutan untuk nikahin adeknya aja,” jelasku. 


“Kira-kira bakal diizinin nggak, om?” tanya Anton.


“Ya nggak tahu, kan belum dijajaki. Tapi biasanya, kalau sekandung yang nikah atau ninggal, pimpinan rutan sih kasih izin buat keluar,” kataku.


“Aku juga sebenernya sudah pengen lo nikah. Cuma pacarku belum kasih jawaban karena aku masih di penjara,” celetuk Anton, diiringi tawa ngakaknya.


“Sudah bener pacarmu itu, Anton. Masak iya nikahnya di ruangan rutan. Terus malem pertamanya gimana,” ujar Teguh, juga diiringi tertawa ngakak. 


“Coba kamu ajak ngomong lagi pacarmu itu, Anton. Siapa tahu dia sudah mantep buat nikah walau kamu lagi di penjara,” pak Ramdan menyela.


“Ya nggak segampang itulah, pak. Mana ada juga orang tua yang mau ngelepas anaknya nikah sama orang yang lagi ditahan. Kalau pun ada, seribu orang tua paling banyak juga cuma satu orang, itu pun bisa jadi karena ada sesuatu dan lain hal,” tanggap kap Yasin.


“Optimis ajalah. Aku inget omongan Socrates, filosof Yunani, kap. Dia bilang: dengan segala cara, menikahlah. Kalau kamu dapet istri yang baik, kamu akan bahagia, kalau dapet istri cerewet, kamu akan jadi filosof,” kata pak Ramdan, dan tertawa ngakak.    


Kami semua yang tengah menikmati makan malam pun ikut tertawa. Selalu saja ada hal-hal yang bisa membuat kami tetap terhibur. 


“Jadi Anton, kalau pacarmu itu bener-bener cinta, dia pasti mau kamu ajak nikah walau kamu di dalem gini,” ujar Teguh, setelah kami semua berhenti tertawa.


“Emang apa sih cinta itu, Guh? Kayak kamu tahu aja,” Anton menyela dengan cepat.


“Kalau nurut pakar psikologi yang namanya Zick Rubin, cinta itu sebuah emosi yang terbentuk dari tiga perasaan, Anton. Yaitu perhatian, kasih sayang, dan keintiman. Kalau nurut Kahlil Gibran di bukunya berjudul Sayap-Sayap Patah, cinta itu rahmat dan anugerah, yang hukum-hukum alami pun nggak mampu ngebaca arahnya,” jelas Teguh, sambil tersenyum.


“Itu kan kata orang, kalau nurut kamu sendiri maksudku,” kata Anton lagi.


“Kalau nurut aku pribadi, cinta itu suatu emosi yang kuat atau suatu perasaan dalam diri kita karena terbentuknya rasa ketertarikan. Aku ini paham bener kalau bicara soal cinta, Anton. Cuma emang belum pernah jatuh cinta, apalagi punya pacar,” urai Teguh, yang langsung diiringi dengan tawa ngakaknya.  


“Anak setan kamu ini, Guh. Kirain banyak tahu soal cinta, karena sering pacaran. Nggak tahunya rasain jatuh cinta aja belum pernah. Nggak pantes kamu ngomong cinta kalau gini mah,” ujar Anton dan melempar gelas plastik ke arah Teguh yang masih tertawa.


Melihat reaksi Anton yang spontan melemparkan gelas plastik meski tidak ada airnya, kap Yasin langsung menegur keras.


“Anton, nggak boleh marah sama orang yang lagi makan. Itu hukum alam yang nggak tertulis. Sekesel apapun kita, jangan pernah marahi orang yang lagi makan atau waktu kita sedang makan,” kata kap Yasin dengan nada tinggi.


“Maaf, kap. Spontan aja tadi itu. Habis si Teguh ini sok ahli soal cinta, nggak tahunya rasain jatuh cinta aja belum pernah. Kan ngeselin,” sahut Anton, dan mengatupkan kedua tangannya ke dada. Bersungguh-sungguh menyampaikan permohonan maaf.  


“Emang, nggak semua yang disampein orang tentang suatu hal, berarti orang itu sudah ngalaminya, Anton. Makanya, cukup denger dan telaah apa yang disampein, jangan mikirin orang yang nyampeinnya,” lanjut kap Yasin. Masih dengan nada tinggi.


“Maaf ini, kap. Apa bener jangan marahi orang yang lagi makan itu, hukum alam yang nggak tertulis?” tanya pak Ramdan.


“Iya, yang aku tahu gitu, pak. Jadi, dalam hidup kita ini, ada beberapa hukum alam nggak tertulis yang harus kita tahu. Pertama, ya yang tadi itu, jangan marah sama orang yang lagi makan. Kedua, kalau orang tua nggak ngizinin kita pergi, jangan pergi. Ketiga, kalau kita pinjem barang orang lain lebih dari tiga kali, berarti kita harus beli. Keempat, kalau ada yang ditegur, jangan diliatin. Kelima, kalau kita ditraktir makan, jangan pesen makanan yang mahal, dan yang keenam, jangan benerin posisi sajadah pakai kaki,” tutur kap Yasin, panjang lebar.


Kami semua hanya diam seusai mendengarkan perkataan kap Yasin. Semua tampak tengah berpikir untuk memahami uraian pengetahuan yang baru disampaikan. Dan kami pun mulai terbiasa untuk belajar diam, tetap duduk tenang, dan mengamati serta menelaah apapun yang terjadi. Karena memang, tidak semua hal membutuhkan reaksi. (bersambung)

LIPSUS