Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 427)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 03 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


MAKSUDNYA yang keempat tadi, kalau ada yang ditegur jangan diliatin itu kayak mana, kap?” tanya pak Ramdan, setelah berdiam beberapa saat.


“Kayak tadi itu, aku kan negur Anton karena ngelempar gelas ke Teguh, ya jangan diliatin Anton-nya. Intinya, jangan permaluin orang yang lagi dalam posisi kena tegur. Ada etika yang harus tetep kita junjung,” jawab kap Yasin. 


“Paham aku, kap. Walau kita disini fisik yang diunggulin dan etika dilupain, tapi kita wajib tetep jaga etika, gitukan,” sambung pak Ramdan.


“Iya, kita harus tetep jaga etika, pak. Ada yang bilang, kalau manusia itu seperti buku, ada yang nipu kita dengan covernya dan ada yang ngagetin kita dengan isinya. Pahami aja kata-kata itu. Karena dalam hidup ini ada yang harus diinget, ada yang harus dilupain, ada yang mesti diutamain, dan ada juga yang sewajarnya kita abaiin,” lanjut kap Yasin. 


Mendadak terdengar suara salam dari balik jeruji besi. Serentak kami yang masih makan malam langsung menengokkan wajah. Ternyata komandan yang menyapa.


“Waalaikum salam. Makan, dan,” kata kap Yasin, dengan cepat.


“Lanjut aja. Nanti saya kesini lagi. Pengen ngobrol sama pak Mario,” ucap komandan, yang langsung bergerak ke arah kamar 31.


“Kayaknya ada yang penting itu om, kalau komandan dateng sendiri gitu,” kata Anton, beberapa saat kemudian, sambil melihat ke arahku yang baru selesai makan malam.


“Yah, yang penting itu silaturahminya, Ton. Soal yang lain-lain, ngikutin aja,” sahutku dan beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangan.


Sekira 20 menit kemudian, komandan datang kembali. Dan setelah berbincang sesaat dari balik jeruji besi, ia memanggil tamping kunci untuk membuka pintu kamarku. 


Kami berjalan beriringan ke gazebo di depan kamar 34. Sesaat kemudian, pak Edi yang melihat kami berdua dari balik jeruji kamarnya, menawarkan kopi hangat. Aku dan komandan menganggukkan kepala. 


Tidak lama kemudian, pak Edi memberi isyarat kepadaku untuk mengambil dua cangkir kopi panas yang telah ditaruh di sela-sela teralis besi.


“Punya babe yang cangkir plastik, buat komandan yang cangkir beling,” kata pak Edi, begitu aku mendekat ke jeruji besi kamarnya.


“Waduh, bisa amandel aku kalau kopi panas pakai cangkir plastik, pak. Kenapa nggak disamain aja, pakai cangkir beling semua,” ujarku.


“Oh gitu ya, be. Sorry, maksudnya buat ngebedain aja kopi tanpa gula punya babe, yang manis untuk komandan. Ya udah, aku tuker dulu cangkirnya kalau gitu,” sahut pak Edi, dan bergerak cepat. Menuangkan kopi pahit untukku ke cangkir beling juga.


“Terimakasih ya, pak. Sehat terus,” kataku kemudian, dan membawa dua cangkir berisi kopi panas ke gazebo.


Ketika kami tengah sama-sama menyeruput minuman kopi panas, datang tamping pendamping komandan. Membawa dua bungkusan.


“Roti bakar sama tahu gejrot ini, pak. Yah, buat temen ngopi sambil ngobrol,” ucap komandan, dan langsung membuka bungkusan yang diantarkan tampingnya.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak ya, pak. Selalu saja ada makanan kalau komandan lagi tugas,” kataku, seraya tersenyum senang.


“Saling berbagi rejeki, pak. Kan Tuhan kasih rejeki itu bukan cuma buat pribadi kita, tapi juga untuk kawan dan sahabat,” tanggap komandan, juga sambil tersenyum.


Cukup lama aku menunggu apa obrolan penting yang akan disampaikan komandan. Karena aku telah paham dengan gayanya, jika ia datang sendiri untuk mengajak berbincang, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan. 


Sambil menanti pembicaraan utamanya, aku terus mengajak komandan berbincang ringan, dan terus menikmati roti bakar juga tahu gejrot. Yang memang cukup enak di lidah.  


“Jadi gini, pak. Tadi si Hamid nemuin saya di pos. Dia pengen bener ngajak pak Mario kerja sama,” kata komandan, setelah hampir satu jam kami duduk di gazebo. 


“Maksudnya, kerja sama gimana ya, pak?” tanyaku. Tetap sambil mengunyah roti bakar.


“Nangani tim volly Blok A,” ujar komandan.


“Waduh, aku kan warga Blok B, pak. Masak nangani tim blok lain. Ya nggak enaklah sama kawan-kawan satu blok,” jawabku, terusterang.


“Itu juga yang saya sampein ke Hamid tadi. Nggak mungkinlah pak Mario mau nerima ajakan kerja sama, kan selama ini tinggalnya di Blok B. Beda kalau pak Mario ada di Blok A. Tapi, karena Hamid minta tolong saya untuk disampein, ya saya sampein. Keputusan tetep ada di pak Mario,” urai komandan, dan kembali tersenyum.


“Terimakasih infonya ini. Cuma komandan kan pasti pahamlah, nggak mungkin aku mau bantu Hamid tangani tim volly Blok A untuk saat ini. Nggak tahu nanti, kalau aku pindah ke Blok A,” ucapku lagi.


“Hamid bilang, kalau pak Mario mau, dia akan urus pindah blok. Nanti masuk ke kamar terbuka di Blok A. Dia juga jamin kebutuhan pak Mario,” kata komandan, setelah menyulut rokok yang sejak tadi ada di jari-jari tangannya.


“Aku paham kok, pak. Hamid itu kan bandar taruhan. Dan setiap timnya tanding, selama ini dia pasti menang banyak. Baru dua kali kemarin aja dia kalah. Nggak heran kalau dia mau biayai buatku kuatin timnya. Masalahnya, di dalem ini bukan materi yang ku cari. Aku cuma pengen deketin diri sama Tuhan aja. Yang lain-lain, urusan belakang,” kataku.


“Yah, kita sama-sama pahamlah gimana pola Hamid cari kehidupan disini, pak. Sepanjang nggak nimbulin masalah, dan nggak ngelanggar aturan, saya pantau aja. Memang sudah saya kasih tahu juga sama Hamid, kalau pak Mario punya karakter yang beda. Tapi namanya saya dikasih amanah buat nyampein, ya tetep saya sampein. Walau sebenernya, saya sudah tahu jawaban pak Mario,” sambung komandan, kali ini sambil tertawa.


Mendadak, aku membayangkan sosok Hamid, yang begitu gigihnya berusaha menarikku masuk dalam lingkarannya. Pada saat bersamaan, aku teringat akan perkataan seorang sahabat: carilah kebaikan dalam keburukan orang lain, itulah akhlak, dan carilah keburukan dalam diri sendiri, itulah ikhlas. (bersambung)

LIPSUS