Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 429)

INILAMPUNG
Minggu, 05 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SPONTAN, aku mengambil nasi kuning yang baru saja akan di makan. Setelah merapihkan kembali bungkusnya, langsung menyerahkan ke Rudy.


“Ini buat kamu sarapan, Rud. Tetep sabar ya. Yakin aja, sabar itu akan buat kita subur, dan subur akan buat kita makmur,” ujarku, saat memberikan nasi kuning kiriman Hamid.


“Beneran ini, om. Terus om sarapan apa?” ucap Rudy, menatapku.


“Gampang nanti om sarapan apa. Bisa minta tolong pak Ramdan masakin mie rebus, atau apa aja. Yang penting, kamu sarapan dulu ya,” kataku, dan menepuk bahu Rudy melalui sela-sela jeruji besi. Menyemangati.


“Alhamdulillah. Terimakasih, om. Rudy pamit dulu ya. Mau sarapan,” kata dia, dan bergerak meninggalkan kamarku.


Untuk beberapa waktu, aku masih berdiri di depan jeruji besi. Pikiranku melayang ke seantero rutan. Begitu banyak warga binaan yang selama ini sekadar untuk mengisi perut saja, benar-benar kesulitan.


Apalagi, nasi cadong yang menjadi hak pangan para tahanan, isi nasinya tidak pernah lebih dari lima kali suapan. Itu pun jarang kiriman makanan jatah tersebut yang sesuai dengan jumlah penghuni pada setiap kamarnya.


“Kenapa ngelamun di jeruji besi gini, be?” mendadak Aris berdiri di depanku.


“Masyaallah, Aris. Kamu ini ngagetin aja lo,” sahutku dan memukul bahunya.


“Aku sudah dari tadi berdiri disini, tapi pikiran babe lagi jalan keluar rutan, makanya aku tegur aja. Biar nggak kejauhan mainnya pikiran kebawa lamunan itu,” kata Aris, dan tertawa ngakak.


“Dasar kamu, seneng bener kalau bisa ngerjain orang,” ketusku, juga sambil tertawa.


Kepada Aris, langsung ku sampaikan hasil pembicaraan dengan komandan pengamanan rutan tadi malam, mengenai keinginannya mendapat izin keluar untuk menikahkan adiknya.


“Bisa ya be aku keluar,” ucap Aris, penuh harap.


“Inshaallah, Ris. Yang penting, kamu cepetan temui komandan. Kan sudah pasti hari, tanggal, dan jam nikahnya adekmu itu. Biar cepet diproses. Sebab, karena kamu kasusnya tipikor, perlu izin juga ke kanwil,” sambungku.


“Oh, sampai izin ke kanwil juga ya, be. Nggak cukup di rutan sini aja ya,” tanggap Aris.


“Infonya sih gitu, Ris. Mau sampai mana aja izinnya, nggak usah dipikirin. Yang penting, kamu cepet aja bergerak temui komandan,” kataku lagi.


“Siap, be. Terimakasih lo sudah bantuin adek angkatnya,” tutur Aris, dan tersenyum lepas.


Seorang tamping kebersihan lewat di depan kamar, aku minta dicarikan tamping yang menjajakan sarapan.


“Emang babe belum sarapan?” tanya Aris.


Aku menggelengkan kepala. Mendadak Aris bergerak, meninggalkan jeruji besi kamarku, dan sekira 10 menit kemudian ia telah kembali membawa dua bungkusan.


“Ini, babe sarapan dulu. Makin kurus kering nanti kalau makannya nggak teratur,” kata Aris, menyerahkan bungkusan yang dibawanya.


Ku buka bungkusan tersebut. Yang satu berisi nasi dan satunya berisikan cap cay.


“Kamu dapet dari mana makanan ini?” tanyaku kepada Aris.


“Tadi malem aku pesen sama sipir, be. Kebetulan masih ada. Ya sudah, ini emang rejeki babe. Sudah sana, sarapan dulu. Nanti  kita lanjut ngobrolnya,” ucap Aris, dan melangkahkan kakinya meninggalkan kamarku.


Segera aku meminta tolong pak Ramdan untuk memanaskan cap cay yang diberi Aris. Dan saat aku sarapan, kap Yasin yang baru bangun tidur, juga ingin menikmati makanan khas sayuran tersebut. Kami pun menghabiskannya dalam waktu sekejap.


Tamping regis datang, memberitahu bila aku akan bersidang dan pukul 11.30 sudah berkumpul di pos penjagaan dalam. Ketika jam di dinding kamar menunjukkan pukul 10.30, aku pun berganti pakaian, dan langsung keluar kamar.


Seusai melapor di pos penjagaan dalam, aku menuju kamar pak Hadi di Blok C. Saat itu, ia tengah berbincang ringan sambil menikmati minuman hangat dan makanan kecil berupa gorengan, bersama pak Raden, Oong, dan beberapa penghuni kamar lainnya.


“Masuk, pak. Wah, masih sidang terus rupanya ya,” ucap pak Hadi, saat melihatku berdiri di depan jeruji kamarnya.


“Yah, ikuti proses, pak. Gimana akhirnya, dijalani dan syukuri ajalah,” kataku, dan langsung masuk ke kamar pak Hadi.


Oong bergerak cepat, meminta OD kamar membuatkanku minuman kopi pahit. Juga ditaruh beberapa makanan ringan dalam bungkusan hasil pembelian dari kantin.


“Apa agenda sidang hari ini, bang?” tanya Oong.


“Dengerin kesaksian ahli dan notaris,” jawabku, sambil menyeruput kopi pahit yang telah tersedia di dekat tempat dudukku.


“Biasanya, yang namanya saksi ahli itu pasti ngeberatin kita, bang. Karena dia cuma berdasar sama BAP aja. Jadi, penilaian atau telaahan keahliannya, ya berlatarbelakang BAP itulah, nggak ada pengembangan informasi lain. Gitu juga notaris, pasti ngebenerin apa yang dilakuinnya. Sabar-sabar aja abang ikuti sidangnya,” lanjut Oong, panjang lebar.


Aku melihat pak Raden duduk di sudut ruangan sambil matanya menatap kertas putih kunyel yang ada di tangannya.


“Lagi baca surat dari anak perempuannya, pak. Biasa, pak Raden kan orangnya melo. Habis baca gitu, biasanya langsung netesin air mata,” kata pak Hadi, yang melihat aku menatap ke arah pak Raden.


“Namanya terharu, ya wajar kan bang kalau air mata keluar,” sahut pak Raden, tiba-tiba. 


“Emang apa isi surat anak kita, pak?” tanyaku dengan hati-hati.


“Kata anakku, dia ketemu untaian kata indah dan pas dengan apa yang dirasainnya, juga kita rasain. Dia salin ulang kata-kata itu, dan dikirimnya,” ujar pak Raden, suaranya tersendat penuh rasa haru.


“Boleh nggak kami denger apa isi kata-katanya?” tanyaku lagi.


“Ini kalimatnya, bang. Ada keresahan yang tak mungkin diceritakan, dan kesedihan yang tak sanggup diungkapkan, ada tangisan di balik sebuah senyuman. Luka yang dalam seringkali tidak terlihat oleh kasat mata, di balik ketenangan seseorang, ada seribu satu kisah yang tersembunyi. Kalau kita pernah merasakan hujan di saat langit tidak mendung, berarti kita tahu rasanya air mata turun saat bibir tersenyum,” urai pak Raden, yang segera menghapus linangan air mata di pipinya.


Kami semua terbawa oleh suasana sedih yang terurai dari rangkaian kata, yang baru saja dibaca oleh pak Raden. Pria berpostur tinggi besar yang terlilit skandal kasus korupsi akibat jabatannya sebagai PPK sebuah proyek kesehatan. (bersambung)

LIPSUS