Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 430)

INILAMPUNG
Senin, 06 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang 


EMANG kena bener kata-kata itu buat kita ya. Wajar kalau pak Raden sampai nangis. Kami semua aja terharu gini,” kata Oong, beberapa saat kemudian. 


“Sering ya pak, anaknya kirim surat dengan kata-kata yang begitu indah dan pas sama kondisi kita,” ujarku, sambil menatap pak Raden.


“Anak perempuanku ini emang cuma kirim surat aja selama ini, bang. Dia nggak pernah mau dateng kesini, nggak sanggup jiwanya buat ketemu aku dalam kondisi kayak gini,” sahut pak Raden, tetap dalam lingkup pelukan keharuan.


Tiba-tiba seorang tamping regis datang dan langsung memprotesku karena dianggap menghilang setelah melapor ke pos penjagaan dalam.


“Aduh pakde ini lo. Buat pusing aja. Sebentar lagi sudah mau berangkat ke pengadilan ini. Ayo, cepetan balik ke pos,” kata tamping regis itu, sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ekspresikan kekesalan hatinya.


Aku pun berpamitan kepada pak Hadi, pak Raden, Oong, dan beberapa penghuni kamar lainnya. Selanjutnya bergegas mengikuti langkah tamping menuju pos penjagaan dalam. Seraya menyampaikan permohonan maaf karena telah merepotkan tamping berusia 28 tahunan tersebut.  


Sesampai di pos penjagaan dalam, ternyata baru 48 orang yang berkumpul. Masih empat orang lagi yang belum muncul untuk segera berangkat mengikuti sidang di gedung Pengadilan Negeri. 


Mendadak suara adzan Dhuhur menggema dari masjid. Aku meminta izin kepada sipir yang bertugas dan tamping regis untuk solat terlebih dahulu.


“Tapi nggak usah jamaahan ya, pakde. Solat sendiri aja. Ini yang empat orang lagi, sudah jalan kesini,” ujar tamping regis. 


Tanpa memberi jawaban, aku langsung berjalan cepat menuju masjid. Dan seusai berwudhu, melanjutkan dengan solat Dhuhur. Setelah berdoa beberapa saat, segera aku kembali ke pos penjagaan dalam. 


Beberapa menit kemudian, 52 penghuni rutan dibawa dengan dua kendaraan khusus tahanan menuju Pengadilan Negeri. Untuk menjalani proses persidangan dan duduk di kursi pesakitan.


Istriku Laksmi langsung menghambur ke dalam pelukan, saat aku baru turun dari mobil tahanan, begitu kendaraan berhenti di gedung Pengadilan Negeri. Di belakangnya, adikku Laksa dan dua orang anggota keluargaku, menunggu bertemu dengan sabarnya. 


Setelah kami bersalaman dan berpelukan, dan berjalan menuruni tangga, seorang pegawai Kejaksaan Negeri yang bertugas mengawal tahanan, bergerak ke ruang belakang. Ruangan yang biasa menjadi tempat aku dan keluarga bertemu sebelum dan sesudah mengikuti persidangan. 


Dan seperti biasa, istriku langsung mengeluarkan beberapa bungkusan yang dibawanya. Kali ini, kami makan siang berlauk lele goreng dan bebek bakar. Sambil sesekali menyuap istri, aku terus berbincang dengan Laksa dan dua anggota keluargaku yang hari itu sengaja datang untuk memberi semangat.  


Sekira satu jam kemudian, dua orang jaksa penuntut beserta pengacaraku datang ke ruangan khusus tempat aku dan keluarga bertemu. Mereka hanya memastikan kesehatan dan kesiapanku untuk mengikuti persidangan. Setelah berbincang sekitar 10 menit, mereka meninggalkan ruangan tempatku berada. 


Dan 30 menit kemudian, seorang pegawai Kejaksaan Negeri muncul di depan ruangan, sambil membawa selembar rompi warna merah bertuliskan “Tahanan” pada bagian punggungnya.


Istriku didampingi Laksa dan dua anggota keluargaku, langsung berkemas untuk menemaniku memasuki ruang persidangan. Dengan tangan terus menggamit lengan kiriku, istriku Laksmi terus mengingatkan. agar aku menjaga ketenangan dan tetap sabar.


Di dalam ruang persidangan, tengah berlangsung sebuah proses sidang. Sesuai arahan pengacara, kami duduk di bangku kedua. Berjejer. Istriku, aku, Laksa, dan dua anggota keluargaku. Beberapa tahanan yang juga akan bersidang, sempat menyapaku dengan menundukkan kepala disertai senyuman. 


Proses persidanganku berlangsung relatif cepat. Saksi ahli yang dihadirkan jaksa, mengurai pendapatnya sesuai dengan BAP yang diberikan penyidik. Ia sama sekali tidak berani memberi telaah kemungkinan lain dari isi BAP. Pun notaris, bertahan dengan keyakinannya bahwa penandatanganan akte notaris tanpa dihadiri pihak terkait, tetap sah menurut hukum. 


Beberapa kali pengacaraku mengajukan pertanyaan, baik ke saksi ahli maupun notaris, namun keduanya tetap bertahan dengan apa yang diyakini. Perdebatan sempat terjadi, dengan mendalilkan sesuai keyakinan masing-masing. 


Hingga ketua majelis hakim menengahi dengan menyatakan, majelis hakim yang akan menilai pendapat ahli dan perkataan notaris. Tidak perlu diperdebatkan dengan panjang lebar.


Pada situasi yang cukup meresahkan jiwa itu, aku teringat pesan seorang sahabat melalui chat-nya beberapa waktu lalu: Ketika kamu tidak mengerti apa yang tengah terjadi dalam hidupmu, tutup saja mata dan tarik nafas dalam-dalam, serta katakan; Ya Allah, aku tahu, ini adalah rencana-Mu, bantu aku melewatinya.


Pesan seorang sahabat itu pun aku ucapkan dengan pelan. Penuh penghayatan dalam kepasrahan atas keadaan yang demikian membuatku di lingkupi keresahan. 


Atas kuasa Sang Maha Pengatur, pelan tapi pasti, jiwaku kembali tenang. Dan saat mataku melihat ke arah istriku, ia pun tengah memandangiku. Seulas senyum ketulusan tercuat di sisi bibir bagusnya. Membuat hatiku kembali damai.  


Setelah kembali ke ruangan khusus tempat aku dan keluarga, yang berada di bagian bawah gedung Pengadilan Negeri, aku langsung solat Ashar, diikuti oleh Laksa. 


“Minggu depan sidangnya penyampaian tuntutan, kakak tetep tenang ya. Ikuti aja prosesnya dengan sabar,” ujar Laksa, setelah kami selesai menjalankan ibadah solat Ashar.


“Iya, dek. Apapun nanti yang jadi keputusan majelis hakim, kakak sudah bersikap, itulah takdir terbaik buat kakak. Tetep diterima dan disyukuri aja. Kita nggak tahu, apa hikmah di balik semua ini,” tanggapku, sambil memeluk Laksa, yang selama ini terus konsisten mendampingiku dan keluargaku. 


Ketika waktunya tiba untuk aku segera kembali ke rutan, dua anggota keluargaku mengajak kami untuk melakukan doa bersama. Sebuah prosesi pengharapan seorang hamba kepada Khaliqnya. 


Dan setelah memeluk erat serta mencium istriku Laksmi, juga memeluk Laksa dan dua anggota keluargaku, dengan tenang aku menaiki mobil tahanan. Untuk kembali masuk ke dalam kawasan rutan dan tinggal di sel berisi 12 orang. 


Dua kantong plastik berisi berbagai makanan dan minuman, juga vitamin, pemberian istriku dan Laksa, aku bawa ke dalam mobil tahanan. Dan seperti biasanya, aku selalu duduk menghadap ke belakang ketika kendaraan berjalan. Sebuah kebiasaan yang lahir begitu saja dari proses peradilan yang tengah aku jalani. (bersambung) 

LIPSUS