Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 435)

INILAMPUNG
Sabtu, 11 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


“O iya, kap. Aku mau tanya. Kap kan punya anak laki-laki. Gimana nurut kap mestinya anak laki-laki itu,” kata Anton, setelah kami mengakhiri tawa.


“Iya, anakku dua laki-laki semua emang, Anton. Kalau prinsipku, biar mereka jadi dirinya sendiri aja. Jujur, aku didik anak-anakku karena termotivasi dari novel karya Buya Hamka, yang kalau nggak salah judulnya Tenggelamnya Kapal Vander Wijck,” kata kap Yasin.


“Oh gitu. Kalimat apa yang kap ngerasa jadi motivasi waktu baca novel itu?” tanya Anton, wajahnya serius menatap kap Yasin.


“Aku hafal bener kalimatnya. Gini bunyinya: Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah untuk berjuang. Kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut meski bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang,” tutur kap Yasin dengan penuh penghayatan.


Spontan kami semua bertepuk tangan. Memberi apresiasi atas begitu hafalnya kap Yasin pada rangkaian kata di dalam novel karya Buya Hamka tersebut. Wajah kap Yasin pun sumringah. Penuh rona bahagia. Terpancar sorot matanya yang tajam. Mata yang menyuarakan optimisme dan ketegaran jiwanya.        


Tiba-tiba dua orang sipir dan seorang tamping regis berdiri dari balik jeruji besi, melakukan apel siang. Karena kami tengah makan bersama, petugas tidak memaksa kami berdiri berjejer di ruang depan. Melainkan tetap duduk di tempat masing-masing dan cukup mengangkat tangan saat berhitung. 


“Lanjut makannya ya,” kata salah satu sipir, seusai kami semua mengabsenkan diri. 


Tanpa menunggu jawaban, sipir tersebut langsung bergerak meninggalkan kamar kami untuk melanjutkan tugasnya ke kamar-kamar yang lain.


Selepas makan dan menikmati sebatang rokok sambil duduk serta berbincang santai di ruang depan, aku meminta pak Ramdan yang masih mengepel lantai atas tempat kami makan, untuk mempercepat pekerjaannya. 


“Emang om mau ngapain sih, kok tumben minta aku cepetin ngepelnya,” ujar pak Ramdan.


“Pengen leyeh-leyeh, pak,” kataku, seraya tersenyum.


“Kok jadi manja gini ya badan om. Sebentar-sebentar pengen leyeh-leyeh,” sahut pak Ramdan, juga sambil tersenyum.


Mantan pejabat itu pun mempercepat tugasnya. Untuk mengeringkan lebih cepat lantai yang baru dipelnya, ia ambil kaos dan mengibas-kibaskannya ke seluruh lantai. 


Sekitar 10 menit kemudian, dengan tersenyum ia menganggukkan kepala ke arahku, yang masih duduk di ruang depan. Memberi isyarat, jika lantai telah bersih dan kering. Siap untuk menjadi tempat merebahkan badan. Leyeh-leyeh.


“Terimakasih, pak,” kataku, saat menaiki lantai bidang tempatku tidur. 


Merebahkan badan tanpa alas di lantai keramik murahan yang baru saja dibersihkan dan dipel, membawa kenikmatan tersendiri. Terasa lebih adem.


Dan kesejukannya terasa merayapi punggungku dengan perlahan. Seakan sentuhan terapi kesehatan yang meninabobokkan. Beberapa saat kemudian, aku pun tertidur.       


Kenyenyakanku tidur terusik ketika terasa telapak kaki ada yang menepuk-nepuk dengan pelan. Aku buka mata, ternyata Teguh yang melakukannya.


“Ada pak Almika, ayah. Pengen ketemu katanya,” ucap Teguh, dengan pelan.


Aku berdiri dari bidang tempat tidurku. Tampak sipir Almika tengah berdiri di balik jeruji kamarku. Dengan gerakan cukup cepat, aku pun mendekat.


“Lagi istirahat ya, om. Maaf kalau ngeganggu,” kata sipir muda usia itu dengan santunnya.  


“Ya mau apalagi disini, kalau nggak makan tidur dan leyeh-leyeh itulah, Mika. Kecuali kamu ajak ngobrol, baru melek mata ini. Santai aja sih, om nggak ngerasa keganggu kok,” sahutku, seraya menyalaminya dari sela-sela jeruji besi.


Almika mengambil sesuatu dari balik pakaian dinasnya. Sebuah bungkusan kecil. Rokok kesukaanku, cap Mangga. Tiga bungkus.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak ya, Mika. Inget aja kamu ini kalau stok rokok om emang sudah nipis,” kataku, sambil tersenyum.


Almika tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum. Ku pandangi wajah sipir muda bertubuh gempal itu. Tampak ada yang tengah menjadi beban di pikirannya.


“Kamu lagi ada apa?” tanyaku, dengan pelan, menempelkan wajah ke jeruji besi.


“Justru Mika yang mau tanya, om kenapa?” katanya, balik bertanya.


“Om nggak kenapa-kenapa. Emang ada apa,” sahutku, dengan cepat.


“Tadi om tahu ada yang kelahi di kantin?” tanya dia, dengan tatapan menyelidik.


“Iya tahu. Kebetulan om diajak kap Yasin sama Anton ke kantin habis solat jum’at. Beli mie instan buat stok. Tapi om nggak kenal siapa yang tadi berantem itu,” ujarku, apa adanya.


“Ada info, om keluar area kantin dengan posisi tangan ditarik sama kap kamar om. Bener gitu?” tanya Almika.


“Iya, bener emang. Kap Yasin narik tangan om ngajak balik ke kamar. Nggak usah nonton orang yang lagi ribut, kata kap. Emangnya kenapa, Mika,” jelasku.


“Ya sudah kalau gitu, om. Kirain om ditarik tangannya sama kap kamar karena om terlibat ribut-ribut itu. Syukurlah kalau om nggak ikutan pas kejadian tadi,” kata sipir Almika, seraya menarik nafas lega. 


“Nggaklah, Mika. Inshaallah, om nggak bakal bikin masalah selama disini. Mau kayak mana juga, om pasti jaga nama dan hubungan baik sama kamu, komandan, dan beberapa kawan sipir lainnya,” ujarku, dengan suara serius. 


“Syukur kalau gitu om. Sebab tadi Mika sempet lihat cctv, keliatan ada om yang lagi ditarik-tarik tangannya sama kap kamar om. Mika kirain, om ikut terlibat ribut-ribut tadi,” kata sipir yang memang sangat dekat denganku itu.


“Inshaallah, om nggak bakal bikin masalah kok, Mika. Santai aja ya,” ucapku, dan menepuk bahu Mika.


“Mika bersyukur, om tetep nggak kehilangan kepribadian walau dalam tahanan. Om harus yakin, kegelapan inilah peluang buat hidupin cahaya, dan hal-hal sulit ini pulalah yang akan mantepin keberanian dan kekuatan,” tutur sipir Almika, menatapku dengan pandangan serius.


“Terimakasih motivasinya, Mika. Om seneng kamu bisa nempatin diri sebagai sahabat, yang muncul dan menghibur saat om hancur, bukan kabur saat om lebur. Terus pertahanin jatidirimu ini,” kataku, juga dengan menatap wajah sipir Almika.


“Mika pesen, hindari semaksimal mungkin buat masalah selama disini. Nggak perlu nonjolin diri, tapi juga jangan nggak bergaul. Yang lentur aja. Dan om harus sadari, kalau om lebih kuat dari yang om kira, dan lebih cerdik dari yang om pikirin. Mika seneng ngelihat om selama ini, tetep enjoy, happy-happy aja, dan bagus dalam pergaulan,” tutur sipir Almika, dengan panjang lebar.


Aku peluk badan gempal sipir Almika dari sela-sela jeruji besi. Perhatiannya yang demikian tulus adalah siraman air kedamaian bagi jiwa dan ragaku yang tengah limbung akibat hidup terkungkung. (bersambung)

LIPSUS