Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 439)

INILAMPUNG
Rabu, 15 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


SINAR matahari pagi terasa semakin panas. Waktu berlalu begitu cepat. Pak Waras mengajak kami untuk kembali ke kamar. 


Ketika melewati depan kamar 20, di taman kecil depannya tampak tiga orang sipir sedang menikmati minuman kopi hangat. Salah satu di antara mereka, menyapaku.


“Pakde, kalau-kalau punya simpenan makanan ringan, minta dong,” kata sipir berusia sekitar 35 tahunan itu, sambil tersenyum. 


“Dilihat dulu ya. Kalau ada, nanti dikirim,” jawabku, dan mengajak Rudy yang tengah berdiri di pintu kamar 20 untuk mengikuti langkahku menuju kamar.


Dari loker tempat menyimpan makanan, aku ambilkan satu bungkus roti pemberian istriku. Aku berikan kepada Rudy, untuk diserahkan kepada sipir yang sedang kongkow di taman depan kamar 20.


“Buat Rudy-nya mana, om,” ucap OD kamar 20 itu, seraya tersenyum.


“Kamu rokok aja, sebatang. Jangan banyak-banyak. Rokok om ini nggak ada jualannya di kantin. Susah belinya,” kataku, sambil memberi Rudy satu batang rokok favoritku; cap Mangga.


“Alhamdulilah. Emang rejeki itu nggak terduga ya, om. Tadinya Rudy ngebayangin dapet roti juga, eh yang dikasih rokok. Tetep disyukuri. Terimakasih, om,” ujar Rudy, sambil cengengesan.


Tidak berselang lama, Rudy membalikkan badan. Kembali berjalan menuju taman di depan kamarnya. Menyerahkan satu bungkus roti kirimanku kepada sipir yang tengah santai. 


Beberapa saat kemudian, pak Ramdan tampak asyik dengan kompor gasnya. Membuat sarapan mie instan. Satu bungkus dibagi dalam dua piring. Yang penting perut tetap terisi.


Seusai menikmati sarapan, aku langsung  membersihkan badan di kamar mandi, dan berganti pakaian. 


“Wuih, ayah sudah pakai kaos spesial. Pede bener kalau bakal ada besukan,” kata Teguh, yang baru bangun tidur, ketika melihatku memakai kaos bertuliskan WBP. Kaos yang wajib dipakai untuk keluar kawasan steril rutan.


“Harus pede dong, Guh. Biasanya istri sama anak-anak dateng kalau hari Sabtu gini,” jawabku, sambil tersenyum.


“Enak ya ayah sama beberapa kawan disini. Rutin dapet besukan. Aku sudah selama ini, nggak ada yang nengokin,” ujar Teguh, dan tersenyum kecut. 


“Berat diongkos keluargamu mau nengokin kamu mah, Teguh. Lagian, ngapain besukin orang kasus narkoba. Salah-salah dianggep jaringan kamu pula nanti,” kata pak Ramdan, menyela.


“Kalau dibilang berat diongkos, nggak juga sebenernya, pak. Keluargaku rata-rata secara materi cukup punya. Bisa jadi, ya itu tadi pertimbangan mereka nggak nengokin, takut dianggep masuk jaringanku. Maklum, dengan barang bukti enam kilogram sabu, pastinya aku tetep dapet perhatian khusus dari BNN dan pegawai rutan,” sahut Teguh dengan kalem.


“Nah, itu kamu tahu sisi lemahmu. Bagus, Teguh. Berarti kamu nggak bakal kecewa kalau keluargamu nggak pernah nengokin. Rasa kecewa karena adanya harapan yang tak tersampaikan itulah yang sering buat kita sakit hati dan akhirnya sakit badan juga,” tanggap pak Ramdan.


“Gitu ya, pak. Jadi aku bagus ya bisa tahu kelemahan diri sendiri,” ucap Teguh.


“Bagus itu, Teguh. Orang yang tahu kelemahannya, juga kelebihannya, dia bisa terus menata hati, jiwa, dan pikirannya dalam kondisi apapun,” jawab pak Ramdan, dengan penuh semangat.


“Seneng aku dengernya, pak. Mudah-mudahan aku nggak jadi tahanan yang cengeng ya. O iya, dalam hidup ini kan kita banyak ketemu orang. Kalau pak Ramdan, orang kayak mana yang paling diinget,” kata Teguh, setelah berdiam beberapa saat. 


“Kalau aku ngikuti kebiasaan kawan-kawan aja sih soal itu mah,” sahut pak Ramdan.


“Maksudnya gimana?” tanya Teguh.


“Kawan-kawan di penjara ini punya kriteria sendiri buat posisiin orang di hati kita. Dan aku sepakat sama yang sudah jadi kebiasaan mereka,” lanjut pak Ramdan.


“Jelasnya gimana, pak?” tanya Teguh lagi. Penasaran.


“Ada tiga orang yang jangan pernah dilupain seumur hidup kita. Pertama, orang yang bantu kita waktu kita susah. Kedua, orang yang ninggalin waktu kita susah. Dan yang ketiga, orang yang buat hidup kita jadi susah. Itulah orang-orang yang wajib terus kita inget, Teguh,” urai pak Ramdan.


“Kalau kriteria itu mah sama aja dengan orang-orang di luar-lah, pak. Emang tiga itulah yang harus kita inget,” tanggap Teguh.


“Kamu bakal makin ngerasain kebeneran kriteria orang yang paling perlu diinget itu setelah lama hidup di penjara, Teguh. Banyak kawan-kawanmu yang sekarang nggak peduli lagi. Segelintir aja yang masih  inget. Itu pun sekadar inget, jauh mau bantu-bantu. Inilah dunia. Ketika kita jaya, nggak usah dicari, kawan dateng sendiri. Begitu kita masuk bui, ngehindar terus waktu dihubungi,” ucap pak Ramdan.


“Jadi baiknya emang nggak usah hubungi kawan-kawan di luar ya, pak. Biar hati dan pikiran kita tetep stabil,” kata Teguh.


“Baiknya sih gitu, Teguh. Kecuali emang kawan yang kita anggep deket-deket bener, nggak apa-apa sesekali komunikasi,” jawab pak Ramdan.    


“Kalau kata beberapa kawan, keluar dari penjara nanti juga, susah kita mau diterima kawan-kawan lagi ya, pak. Banyak yang ngehindar kalau kita pengen ketemu. Bener gitu tah, pak,” ujar Teguh.


“Semua kembali ke kawan yang mau ditemuinlah, Teguh. Buat mereka yang rasa perkawanannya tinggi, punya etika pergaulan baik, dan sadar kalau kehidupan ini berputar, tetep mau silaturahmi sama kita si mantan napi. Tapi buat mereka-mereka yang perkawanan diukur dari posisi atau materi, pastinya ngehindar untuk ketemu kita,” jawab pak Ramdan, apa adanya.


“Kenapa gitu ya, pak?” tanya Teguh.


“Masing-masing orang kan punya karakter dan sikap. Dan kebanyakan, ukurannya adalah pemanfaatan. Kalau kita dianggep nggak bisa dimanfaatin atau kasih manfaat buat mereka, nggak bakallah dianggep. Apalagi kalau jelas-jelas pengen minta bantu, aku pastiin nggak bakal kamu ditemui, bahkan sama kawan yang dulu kamu banyak bantu sekalipun,” tutur pak Ramdan.


“Kok bisa seekstrem itu ya, pak,” celetuk Teguh. 


“Itulah kehidupan, Teguh. Hanya yang dianggep kasih manfaat, entah itu karena berpangkat dan berduit ajalah yang tetep dihargai. Kalau kita miskin, mantan napi pula, nggak usah mimpi mau diperlakuin seperti sebelum masuk bui,” sambung pak Ramdan.


“Ternyata begitu rendahnya nilai perkawanan itu ya, pak. Cuma gara-gara kita di penjara, semua cerita perkawanan kayak nggak ada artinya,” ucap Teguh, setelah berdiam beberapa saat.


“Nanti kamu ngalami sendiri, Teguh. Yang aku sampein ini kan cerita kap Yasin, yang sudah sering keluar-masuk penjara. Kamu mau tahu siapa yang setia nemeni kita dalam kondisi apapun,” kata pak Ramdan.


“Iya, siapa itu, pak?” tanya Teguh, dengan penasaran.


“Yang mau diajak jalan bareng dan setia nemeni kita saat seneng maupun susah itu cuma sandal, Teguh. Selain itu nggak ada,” jawab pak Ramdan, dan tertawa ngakak.


Spontan Teguh juga tertawa. Membuat aku yang sejak tadi hanya menjadi pendengar, pun ikut tertawa. Tetap saja ada celetukan-celetukan jenaka yang melahirkan suasana ceria, meningkahi kejenuhan berada di dalam sel yang terkunci gembok besar. (bersambung)

LIPSUS