Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 440)

INILAMPUNG
Kamis, 16 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang 

 

SEORANG tamping kebersihan yang merangkap bertugas pada ruang kunjungan, berdiri di depan pintu kamar. Membawa dua kantong plastik besar berisi penuh makanan dan beberapa pakaian serta barang lainnya. Tamping kunci yang datang belakangan, langsung membuka gembok.


“Tante sama anak-anak di tempat besukan, om,” kata tamping itu, sambil menyerahkan dua kantong plastik berisi berbagai barang yang dibawanya ke tanganku.


“O iya. Tunggu sebentar, sekalian bawain pakaian kotorku,” ujarku kepada tamping tersebut.


Seusai menaruh dua kantong plastik di bidang tempat tidur, dan menyemprotkan pewangi badan, serta memakai topi, aku pun keluar kamar. Tentu setelah berpamitan kepada Teguh dan pak Ramdan yang masih asyik bercengkrama. 


Satu kantong plastik besar berisi pakaian kotor, dibawa tamping yang menjemputku. Untuk nanti dibawa pulang oleh istriku, dicuci dan disetrika di rumah. Sebuah kebiasaan yang berjalan alami sejak aku menjadi tahanan.


Setelah melapor di pos penjagaan dalam dan pos penjagaan luar, didampingi tamping yang menjemput, aku memasuki ruang kunjungan keluarga tahanan. Pada bagian belakang kantor rutan.


Petugas yang mencatat kedatangan, langsung menunjuk arah posisi keberadaan istri dan anak-anakku. Tepat di pojok kanan. Mereka bertiga duduk melingkar. Saat melihatku berdiri di pintu, serentak ketiganya mengangkat tangan. Memperjelas posisinya.


Melewati belasan tahanan yang tengah bercengkrama dengan anggota keluarganya yang berkunjung, akhirnya aku sampai ke tempat istri dan anak-anakku. Dan seperti biasa, Bulan langsung memelukku dengan erat. 


Anak gadisku satu-satunya ini mengekspresikan rasa rindunya dengan menempelkan wajahnya di dadaku. Cukup lama. Seakan ingin menyatukan irama detak jantung kami yang sama-sama menyenandungkan sebuah kerinduan teramat sangat.


“Ayah nggak boleh sakit-sakit ya. Nggak usah banyak pikiran. Jalani aja semuanya dengan sabar dan ikhlas. Jangan terbersit sedikit pun buat ngelawan takdir,” kata Bulan, menatap wajahku dengan pandangan serius.


“Iyo, nduk. Ayah tetep jaga kesehatan kok. Tenang aja. Ayah minta maaf yo, sudah nyusahin nduk, bunda, dan adek,” ucapku, dan mencium keningnya.


“Mbak, adek, dan bunda sudah maafin ayah kok. Nggak usah jadi beban ya. Yang penting, ayah jaga kesehatan. Kita nggak pernah tahu putaran hidup yang diatur Tuhan,” jawab Bulan, sambil melepas senyum indahnya dan menepuk-nepuk pipiku. Penuh ekspresi rasa sayang seorang anak perempuan kepada ayahnya. 


Begitu Bulan melepaskan pelukan, cah ragilku, Halilintar, langsung berdiri dari duduknya. Menyalamiku dengan kedua tangannya dan mencium tanganku penuh rasa penghormatan. Dilanjutkan dengan membuka kedua tangannya lebar-lebar. Memintaku memeluknya dengan erat.


Ketika kedua tanganku merengkuh badannya, kedua tangan Halilintar pun melakukan gerakan yang sama. Sangat kencang pelukannya. Sekencang tebaran kebanggaannya kepada seorang ayah yang kini tengah tenggelam dalam kolam nan keruh yang tidak terukur kedalamannya.


“Ayah terus sehat dan semangat yo. Adek terus doain ayah,” bisik Halilintar di telingaku.


“Ayah bangga sama kamu, le. Tetep jadi diri sendiri dan tangguh mengayuh biduk di lautan kehidupan penuh gelombang ini,” jawabku, sambil mengelus kepalanya.


Istriku Laksmi menghamburkan badannya ke pelukanku begitu Halilintar melepas pelukannya. Aku cium istriku. Ku rengkuh erat wanita kebanggaanku itu. tangannya mengelus-elus punggungku, menyalurkan hawa ketenangan dan kedamaian tersendiri.


“Ayah kangen bener sama bunda. Maaf ayah sudah nyusahin bunda dan anak-anak, juga keluarga,” kataku, menatap wajah Laksmi yang tampak semakin tirus.


“Bunda juga kangen sama ayah. Kita tetep bersyukur ya, ayah. Tetep dikasih kesempatan untuk bisa ketemu. Tetep dikasih sehat dan kuat. Tetep dikasih hidayah buat ibadah,” ujar istriku, sambil mengelus-elus wajahku. 


Setelah kami duduk, Bulan langsung membuka sebuah kantong plastik. Berisi makanan. Saat itu, istriku secara khusus menyajikan lauk kesukaanku. Telur bulat sambel dan ikan asin.


“Tadi sayur tahu kesukaan ayah sudah bunda bungkusin, di kantong plastik yang dibawa ke kamar. Ada juga telor sambel sama ikan asinnya. Ditambah sama nduk tadi pas jalan kesini, beli lele bakar dan kerupuk,” kata istriku, Laksmi.


“Sayur tahunya spesial lo, ayah. Dikasih ceker dan kulit ayam sama bunda. Adonannya juga sip. Masakan bunda kan paling enak sedunia,” ujar Halilintar.


“Emang kamu sudah makannya, le?” tanyaku.


“Tadi adek sudah makannya sebelum kesini. Enak pokoknya semua masakan bunda. Makanya, adek jarang jajan makanan di luar, enakan makan di rumah,” lanjut Halilintar, sambil tersenyum penuh kepuasan.   


“Alah, adek nggak suka makan di luar itu karena ngirit, ayah,” tanggap Bulan, seraya tertawa.


“Ya, ada benernya juga sih yang mbak bilang. Cuma itu alasan lain. Yang utama, karena di rumah sudah pasti ada masakan bunda, paling enak sedunia,” jawab Halilintar, juga sambil tertawa.


“Alhamdulillah, kalau ayah sama anak-anak suka dengan masakan bunda. Ngeraciknya pakai Bismillah dan dipenuhi rasa cinta, makanya enak apapun yang bunda masak,” kata istriku, yang juga ikut tertawa.


“Cuma pas disini, sering rasa enaknya agak kurang lo, bunda,” ucapku, menyela.


“Lho, kenapa?” tanya istriku dengan cepat, sambil mengernyitkan dahinya.


“Karena nasinya kan nasi cadong. Berasnya terjelek di dunia, mana banyak kerikilnya pula. Bahkan sering bau apeknya masih kecium pas mau dimakan. Jadi, mau pakai lauk segurih apapun, tetep aja kurang rasa enaknya,” ujarku, dan tersenyum kecut.


“O gitu, ayah. Apa bunda kirim beras dari rumah aja ya. Kalau ayah setuju, nanti bunda coba kontak Almika atau Fani. Minta bantuan mereka buat masukin berasnya ke kamar ayah. Mereka itu kan sipir yang baik dan deket sama ayah selama ini. Kalau mau nitip komandan, kok kayaknya kurang pantes,” sahut istriku Laksmi.


“Coba bunda diskusiin dulu sama mereka. Keberatan nggak. Kalau mereka oke, ayah senenglah bisa rasain nasi yang emang biasa kita makan di rumah,” kataku. Penuh harap.


“Nanti bunda coba bicarain sama Almika dan Fani dulu kalau gitu. Sepulang dari sini, bunda telepon mereka,” sambung istriku, dengan antusias.


Sambil berbincang ringan, aku terus menikmati masakan istri. Dengan sesekali menyuapi Laksmi yang terus memelukku. Pun Bulan dan Halilintar, minta disuapi juga. Meski keduanya telah membuka nasi bungkus yang dibeli di rumah makan tidak jauh dari rutan. 


“Emang boleh ayah dikirim beras dari rumah?” tanya Halilintar, sambil terus memasukkan makanan ke mulutnya.


“Nggak ada aturan tertulisnya kalau nggak boleh sih, le. Cuma biasanya, harus beli di kantin semua kebutuhan warga binaan disini. Makanya nanti bunda diskusiin dulu sama om Almika dan om Fani, keberatan nggak masukin beras dari rumah buat ayah. Kita kan harus jaga mereka juga, sebab selama ini mereka banyak bantu ayah disini. Jangan sampai malah buat mereka kena masalah,” sahutku.


“Jadi harus saling jaga ya, ayah,” lanjut Halilintar.


“Ya harus gitu, le. Siapapun yang baik sama kita, wajib kita jaga. Bahkan, kalau bisa, kita bantu pas mereka butuh bantuan,” sambungku.


“Harus imbang maksudnya, adek. Kalau orang baik sama kita, ya kita harus baik juga. Bahkan, mesti lebih baik. Tapi, kalau orang nggak baik sama kita, jangan dibales dengan nggak baik. Tetep aja kita baikin,” ujar Bulan, memperjelas.


“Nggak imbang kalau gitu mah, mbak. Masak orang yang nggak baik sama kita, tapi kitanya tetep harus baik sama dia,” Halilintar menyeletuk.


“Dengan tetep dibaikin, bakal bikin yang nggak baik sama kita malu hati sendiri, dek. Lagian, berbuat baik itu jangan ngarep dibaikin sama orang tersebut. Nanti Tuhan yang ngatur balesannya dari mana atau dari siapa,” urai Bulan.


Aku dan Laksmi tersenyum mendengar perdialogan kedua anak kami. Sebuah diskusi sederhana yang sarat makna, dan membuat kami bangga. Karena Bulan dan Halilintar tetap menjadi sosok merdeka, yang berani mengutarakan pendapatnya tanpa terpengaruh beban psikologis akibat ayahnya tengah di penjara. (bersambung)

LIPSUS