Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 441)

INILAMPUNG
Jumat, 17 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang     

 

HALILINTAR bercerita mengenai kegiatannya di sekolah. Kesibukannya sebagai Ketua OSIS, tidak membuatnya mendapatkan nilai pas-pasan. Justru dengan posisi itu, menjadi motivasi tersendiri baginya untuk meraih nilai tinggi, meski bukan yang tertinggi di sekolahnya.


“Cuma belakangan, adek jarang ikut latihan futsal, ayah. Capek kalau terlalu banyak kegiatan di sekolah, sampai rumah nggak bisa bantu-bantu bunda,” aku cah ragilku, seraya melepas senyumnya.


“Yang penting, kamu tahu ngatur waktu dan paham kondisi badanmu, le. Jangan diatur waktu sampai buat badan sakit. Ayah bangga kamu masih tetep mikirin ringanin urusan bunda di rumah,” sahutku, dan mengacungkan jempol ke arah Halilintar.


“Iyalah, ayah. Kasihanlah bunda kalau ngurusi rumah sendirian. Sebelum subuh sudah bangun, masak buat sarapan adek sama mbak sambil ditinggal solat, terus siap-siap kerja. Nyampe rumah sibuk di dapur lagi, nyiapin makan malem. Adek ya bantu-bantu nyuci piringlah bisanya. Sesekali nyapu dan ngepel rumah pas libur. Gantian sama mbak,” urai Halilintar, menahan senyumnya.


“Terus bantu bunda yo nduk dan adek. Apa yang bisa kalian lakuin buat ngeringanin bunda, lakuin aja. Hidup ini sebenernya enteng dan sederhana kalau kita jalani kiatnya,” ucapku, dengan nada haru.


“Emang apa kiatnya, ayah?” tanya Bulan, sambil menikmati juice mangga yang dijajakan tamping kantin kepada pengunjung para tahanan.


“Senyum saat senang, dan tertawa ketika sedih. Enteng dan sederhana kan kiat nikmati hidup ini. Dan kalian juga mesti pahami, kopi punya cerita sendiri, yaitu hitam nggak selalu kotor, dan pahit nggak mesti bersedih,” sahutku, seraya tersenyum lepas.


“Bisaan aja lo ayah ini ngeringkes hidup sesederhana itu. Padahal, kenyataannya kan nggak sesederhana atau seenteng itu,” celetuk Bulan, juga tersenyum.


“Semua kembali ke diri kita, nduk. Gimana nyikapi lelakonnya. Kalau dibuat berat, ya hidup emang berat. Gimana biar terasa ringan, pikirin aja sesuatu yang enteng dan sederhana. Intinya, jangan lihat ke belakang dengan penyesalan, tapi tatap ke depan dengan harapan. Yakin aja, ada saatnya kalian nemuin atau ditemuin, sebelum waktu itu dateng, teteplah fokus sama tujuan masa depan kalian. Karena petarung yang sukses itu adalah orang biasa dengan fokus setajam sinar laser,” kataku, panjang lebar.


“Guru mbak pernah bilang, kalau hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah. Hidup juga sebuah mimpi, maka sadarilah, dan hidup adalah cinta, maka nikmatilah. Bener nggak itu, ayah,” ucap Bulan, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Bener itu, nduk. Hidup ini emang panggung dengan ceritanya yang amat kompleks. Tinggal gimana kita memilih dan memilah sesuai dengan kepribadian dan prioritas kita. Disinilah mesti cermat-cermat nentuin pilihan, jadi korban atau pemenang, karena setiap ujian kehidupan akan bikin kita terpuruk atau lebih baik,” tanggapku.


Beberapa tamping bergerak dari tempatnya. Memberitahu bila jam kunjungan akan segera berakhir. Bersamaan dengan kumandang adzan Dhuhur yang mengalun syahdu dari masjid di dalam kompleks rutan. 


Tampak wajah istriku langsung berubah murung. Pada pertemuan kali ini, ia memang lebih banyak hanya menjadi pendengar dari perbincanganku bersama Bulan dan Halilintar. Sehingga ia merasa ada yang ingin disampaikan, belum tersempatkan. Masih terpendam di dalam pikiran.


“Yo wes, ayo kita pamitan sama ayah. Masih ada nggak yang mau disampein lagi ke ayah,” ucap istriku, sambil mengemasi beberapa bekas kotak minuman dan bungkus makanan untuk dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibuang ke kotak sampah di depan pintu masuk ruang kunjungan.


“O iya, ayah. Hampir kelupaan. Mbak sama adek mulai Senin nanti ulangan lo. Jangan lupa kirim air doanya,” kata Bulan, dengan tiba-tiba.


“O gitu. Iyo nanti ayah siapin. Tenang aja. Sing penting, nduk sama adek tetep harus konsentrasi belajar buat ulangannya yo,” jawabku.


“Hampir kelupaan kan ngomongin minta air doa dari ayah karena asyik ngobrolin yang lain. Makanya tadi bunda ingetin, masih ada nggak yang mau disampein lagi ke ayah,” kata istriku, seraya melepaskan senyum tulusnya.


“Justru karena bunda bilang itulah, mbak jadi inget. Terimakasih ya, bunda. Maklum, kalau pas ketemu ayah gini, banyak bener yang pengen diobrolin. Mbak sering sedih, pas malem-malem pengen ngobrol sama ayah, eh ayah nggak pegang hp lagi,” tanggap Bulan, ada nada sedih di akhir perkataannya.


“Kalau pun mbak sama adek lupa, yo bunda yang nyampein ke ayah buat minta air doanya. Yo wes, nanti ayah pegang hp lagi kok. Ayah lebih tahu kapan waktu yang aman buat komunikasi sama kita. Ingetkan pesen ayah, kalau kangen, pejemin mata, baca Fatihah. Nanti ayah dateng di mimpi kita. Gitukan pesen ayah,” tutur istriku, dengan nada suara yang tenang dan santai.


“Iya, adek inget kok pesen ayah itu, bunda. Dan adek lakuin. Seringnya pas mau ngadepin kegiatan-kegiatan besar di sekolah,” kata Halilintar.


“Mbak juga sering kok, bunda. Dan emang ayah dateng di mimpi mbak. Cuma, ayah mandangi aja. Paling banyak juga kasih senyum atau ngelus-elus kepala mbak,” Bulan menimpali. Ada senyum indah dilapisi kesedihan di sudut bibirnya.


“Alhamdulillah, itu artinya batin kita terus nyambung dengan baik. Lahiriyah boleh aja berjauhan, tapi selama batin tetep nyatu, kapan pun kita saling merluin, pasti sama-sama ngerasa. Mbak dan adek tetep bantu bunda yo, dan ojo tinggal solat. Kondisi kita saat ini jadiin kesempatan buat kalian nempa jiwa raga jadi sosok yang tangguh dan trengginas. Percayalah, masa sulit selalu ngarah ke sesuatu yang hebat,” kataku, dan segera merangkul istriku Laksmi, Bulan, dan Halilintar.  


Cukup lama kami berempat berpelukan. Dalam suasana yang diselimuti keharuan sekaligus menguatkan ikatan batin. Tanpa ada kata yang terucap pun kami sama-sama memahami, betapa kondisi saat ini sesungguhnya adalah sesuatu yang amat berat untuk dijalani. 


Namun, tidak ada pilihan selain merelakan kenyataan yang ada. Dan kami pun  menyadari, bahwa merelakan merupakan sebuah kesadaran bila ada hal yang tidak bisa dipaksakan. Karena takdir Tuhan memang tidak boleh dilawan. (bersambung)

LIPSUS