Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 442)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 18 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


SAMBIL memeluk Bulan dan menggandeng istriku Laksmi, aku temani mereka keluar ruang kunjungan tahanan. Mengantarkan hingga ke pintu gerbang P-2-O. Halilintar membawa kantong plastik besar berisi pakaian kotorku selama satu pekan. 


Tampak beberapa kali Bulan menundukkan wajahnya. Menghapus air yang membasahi kedua matanya. 


“Kamu kenapa nduk?” tanyaku, mendekatkan wajah ke wajahnya, tanpa melepaskan pelukanku.


Anak gadisku hanya menggelengkan kepalanya. Dan sesaat kemudian, menatapku dengan pandangan sayu. Terpancar sorot ketulusan yang begitu dalam. 


“Tetep tenang yo, nduk. Nggak ada ujian yang nggak berujung. Seperti juga, nggak ada pesta yang nggak usai. Semua ada waktunya. Kita lakoni aja dengan sabar dan ikhlas seperti kata nduk tadi ya,” ucapku, sambil mengelus rambut Bulan.


“Mbak takut ayah nggak kuat jalani semuanya. Mbak juga takut ayah ada apa-apa disini dan mbak nggak bisa bantuin,” tutur Bulan, setelah berdiam beberapa saat.


“Nduk harus yakin ya, Allah nggak akan kasih ujian di atas kemampuan kita ngatasinya. Jadi, seberat apapun semua ini, kita pasti mampu ngadepinnya. Ayah baik-baik aja kok disini. Ayah bisa adaptasi dengan lingkungan, juga dengan orang-orang yang ada disini. Jangan beratin pikiran dan perasaanmu yo, nduk,” kataku, dan menguatkan pelukan ke badan Bulan.


Pintu gerbang P-2-O dibuka. Giliran istriku, Bulan, dan Halilintar yang diperintahkan masuk oleh sipir yang bertugas. Untuk dilakukan pemeriksaan di ruangan dan kemudian melewati gerbang utama kembali ke kawasan parkiran kendaraan.


“Pamit ya, ayah. Tetep jaga kesehatan. Makin kuatin ibadah dan baca qur’annya,” ucap istriku, Laksmi, dan memelukku dengan erat.


Halilintar mencium tanganku, dan menaruhkan kepalanya di dadaku. Wajahnya menengadah, menatap mataku dengan pancaran optimisme.


“Adek bangga sama ayah, dan nggak pernah kecil hati karena ayah masuk bui. Terus saling doa ya, ayah,” kata cah ragilku, dan setelah memberi hormat, baru melangkah memasuki ruang P-2-O.


Bulan yang masih dalam pelukan, mencium pipi dan keningku. Sebutir air mata yang ada di pipinya, ku hapus dengan pelan.


“Mbak juga bangga dengan ayah sampai kapan pun. Ayah jangan pernah ngerasa sendiri. Kami selalu ada di samping ayah,” ujar Bulan, dan membalikkan badannya untuk memasuki pintu gerbang seusai mencium tanganku.


“Pakde mau ikut masuk nggak? Boleh kok kalau pakde mau ngelepas sampai gerbang utama,” kata sipir yang bertugas.


“Nggak usah, pak. Terimakasih perhatian dan pengertiannya. Biar pakde-nya cukup nganter sampai depan pintu ini aja,” istriku Laksmi yang menjawab.


Aku tersenyum dan mengacungkan jempol kepada sipir muda usia tersebut. Sipir itu pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Saling menghargai dan menghormati tetaplah menjadi perekat sisi kemanusiaan yang tidak luntur hanya karena perbedaan status: tahanan dan penjaga tahanan.


Setelah pintu gerbang ditutup kembali, baru aku membalikkan badan. Melapor di pos penjagaan luar. Tamping yang bertugas mengawasi kotak tempat “uang sepemahaman” dari para tahanan seusai menerima besukan, meminta sebatang rokok. 


“Asem mulut ini, om. Dari tadi nggak ngerokok,” kata tamping berbadan kurus tersebut.


Sebatang rokok aku keluarkan dari bungkusnya. Wajah tamping itu pun spontan menunjukkan keceriaan. Aku tersenyum tipis. Ikut merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakannya.  


Ketika aku akan melangkah keluar pos penjagaan, tiba-tiba Dika mencegat di pintu. Rupanya, ia juga baru menerima kunjungan.


“Bareng sih om masuknya. Tunggu Dika sebentar ya,” kata anak muda itu, dan buru-buru memasukkan “uang sepemahaman” ke dalam kotak di dalam pos.


Sambil berjalan melewati sisi lapangan di kawasan steril, Dika menanyakan mengapa aku tidak membawa apapun selepas menerima kunjungan. Ia sendiri saat itu membawa satu kantong plastik berisi penuh makanan.


“Bawaan istri sudah dianter duluan sama tamping, pas nyusul aku tadi, Dika. Jadi, aku ya nggak nenteng apa-apalah,” jawabku, santai.


“O gitu. Enak amat om ini ya. Barang dibawain, pas balik ke kamar lagi jalan lenggang kangkung gini,” celetuk Dika, seraya tersenyum. 


“Sesuai amal ibadah, Dika,” sahutku, sambil tertawa.


“Emangnya Dika nggak ibadah. Jangan-jangan malah lebih rajin Dika ibadahnya dibanding om,” tanggap Dika, juga dengan tertawa.


“Urusan ibadah jangan pernah dibanding-bandingin, Dika. Nggak elok. Aku percaya, kamu emang rajin ibadah selama ini. Kelihatan dari raut wajahmu yang mencorong,” kataku, kemudian.


Sesampai di pos penjagaan dalam, barang bawaan Dika menjalani pemeriksaan cukup serius dari seorang sipir yang bertugas disana. Karena terdapat lima bungkus mie instan, dua bungkusnya diambil oleh sipir tersebut.


Melihat aksi main ambil barang bawaannya, spontan Dika menatapku. Meminta bantuan. Aku mendekat ke sipir dan memintanya untuk mengembalikan dua bungkus mie instan yang baru diambilnya dari kantong plastik Dika.


Sipir itu menatapku dengan pandangan tidak suka. Namun, dengan cepat aku memasukkan ke telapak tangannya selembar uang Rp 5.000. Setelah melihat nilai uang di tangannya, ia kembali menatapku.


“Itu buat pengganti dua bungkus mie instan ini. Kan harganya di kantin sebungkus Rp 2.500, jadi tetep dapet dua bungkus,” kataku, dan mengambil makanan ringan yang masih ada di tangan kirinya.


Segera aku menyeret Dika untuk keluar ruangan pos penjagaan dalam. Tanpa menaruhkan “uang sepemahaman”. Tamping yang bertugas di pos, meneriaki kami. Spontan aku menghentikan langkah dan membalikkan badan. Ku pandangi tamping itu dengan tatapan penuh amarah. Akhirnya, ia masuk kembali ke dalam pos.


“Makanya, kasih tahu sama keluarga yang mau besukan, jangan banyak-banyak kirim makanan yang sama. Maksimal tiga aja. Kalau kurang banyak, cari jenis makanan lain. Jadi nggak nambah-nambah urusan gini, Dika,” kataku saat kami memasuki pintu utama Blok B.


“O iya, om. Aku emang lupa kasih tahu pacarku soal ini. Maaf ya, om. Untung ada om, kalau nggak, hilang dua bungkus deh kiriman calon istriku,” sahut Dika dengan suara serius.


“Hitungannya ya hilang sebenernya dua bungkus mie instanmu itu, Dika. Tadi kan aku kimel-in ke tangan sipir itu uang Rp 5.000, makanya dia diem sambil mikir. Nah, pas dia lagi gitu, aku tarik mie punyamu. Jadinya selamet semuanya,” uraiku.


“Oh tadi om kasih sipir itu uang ya, Dika nggak lihat,” ucap Dika dengan cepat.


“Ya sudah, nggak usah jadi pikiran. Yang penting barangmu selamet,” jawabku, dan kemudian berpisah dengan Dika saat memasuki kawasan kamar sel. (bersambung)

LIPSUS