Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 443)

INILAMPUNG
Minggu, 19 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI solat Dhuhur di kamar, aku menyerahkan plastik berisi makanan yang dibawakan istri dan anak-anakku kepada pak Ramdan. Dengan cekatan, ia membagi mana yang harus segera dinikmati dan mana yang bisa disimpan untuk makan selanjutnya.


Beberapa penghuni kamar yang hari itu mendapat kunjungan anggota keluarganya, juga melakukan hal yang sama. Hanya menyimpan kiriman yang benar-benar untuk kepentingan pribadi. Sebuah kebersamaan dan kejujuran yang terus terbangun dengan apiknya di sel tahanan. 


“Makan kita siang ini pakai sayur tahu bawaan keluarga om Mario. Ditambah ayam bakar dan pecel lele dari bawaan Anton. Yang dari pak Waras dan kap Yasin, buat makan selanjutnya, gitu juga punya kawan-kawan yang lain,” kata pak Ramdan, setelah semua hidangan digelar di lantai atas tempat kami makan bersama.


Setelah pak Waras menyelesaikan memimpin doa sebelum makan, mulailah kami sebanyak 12 orang penghuni kamar 30 menikmati makan siang. Dan usai kegiatan mengisi perut, aku bergeser ke bidang tempat tidurku. 


Baru saja aku akan menempatkan beberapa barang pribadi pemberian istri dan anak ke dalam rak di dekat tempat tidur, pak Ramdan memintaku turun dari lantai atas karena ia akan menyapu dan membersihkan lantai yang sebelumnya menjadi tempat makan siang bersama tersebut.


“Sebentar aja kok, om. Paling 10 menit juga selesai. Baru enak dan bersih kalau om mau leyeh-leyeh,” ujar pak Ramdan, seraya tersenyum santun.


Mau tidak mau, aku pun mematuhi permintaan pak Ramdan. Karena ia memang memiliki tanggungjawab dan kewenangan dalam urusan kebersihan kamar. Betapapun juga, meski di dalam sel, tetap harus mendahulukan perlakuan saling menghargai. 


Karena yang dianggap “jagoan” di dalam penjara era sekarang, bukanlah yang sakti mandraguna, yang berbadan besar dengan tato memenuhi tubuh, yang matanya menatap tajam seakan ingin melahap yang ditatapnya, melainkan yang bersikap baik, merendah, dan pandai menempatkan diri, baik dengan sesama tahanan maupun petugas. 


Sambil menikmati sebatang rokok, aku mendengarkan perbincangan ringan kap Yasin, Teguh, dan pak Waras di ruang depan. Kap Yasin mengingatkan kepada Teguh, untuk tidak terlampau memikirkan proses hukum yang akan dihadapinya. 


“Ikuti aja alurnya. Kalau mau ‘main’, ya sejak awal. Jangan di tengah jalan, karena nilainya jadi mahal. Yang penting, usahain cepet vonis, baru ngatur dari dalem sini gimana langkah selanjutnya biar rutin dapet remisi dan akhirnya dapet PB,” tutur kap Yasin. 


“Biar tetep bisa tenang dan enjoy ikuti alur sidang nanti, gimana Kap?” tanya Teguh. Yang dijadwalkan akan mulai memasuki masa persidangan kasusnya pada awal pekan depan.


“Tempatin di hati dan pikiranmu kalau semua ini emang sudah jadi takdirmu, Guh. Dan kamu mesti yakin, kalau semua takdir itu baik. Yang ngerasain jelek dan susah itu kan kita, padahal Allah sama sekali nggak akan berbuat jelek sama makhluk-Nya,” sahut kap Yasin.


“Jadi, dengan nyadari kalau ini semua emang takdirku, berarti Allah itu nggak kejem ya, Kap?” ujar Teguh.


“Allah itu maha baik, Guh. Nggak akan pernah kejem sama hamba-Nya. Semua ini teguran aja buat kamu dan kita semua, untuk segera kembali ke jalan-Nya. Pak Waras yang lebih paham soal ini, coba kasih pencerahan sama Teguh, pak,” kata kap Yasin, sambil menengokkan wajahnya ke arah pak Waras yang duduk santai bersandar pintu kamar.


“Banyak orang yang bilang begini, Teguh. Kalau sesuatu yang kamu senengi nggak terjadi, ya senengilah apa yang terjadi. Maksudnya, ikhlas aja dengan semua ini dan jangan banding-bandingin hidup kamu sama siapapun. Dari situ, hati dan pikiran akan nerima kalau semua ini emang takdirmu. Bahkan Rasulullah dalam hadits riwayat Ahmad pernah nyampein: Aku begitu takjub pada seorang mukmin, karena Allah tidak mentakdirkan sesuatu untuk dia melainkan pasti itulah yang terbaik untuknya,” urai pak Waras.


“Maksudnya, separah apapun kondisi kita sekarang ini, ya inilah takdir terbaik buat kita, gitu ya, pak,” kata Teguh, menyela.


“Iya, itu yang dimaksud Kanjeng Nabi, Teguh. Emang nggak mudah nerima takdir kalau cuma ngandelin akal atau kenyataan aja. Disinilah, keimanan dan keyakinan kita atas kuasa Allah perlu terus ditumbuhin dan ditingkatin,” jawab pak Waras.


“Pak Waras sendiri selama ini kelihatan tetep enjoy, karena sudah ikhlas kalau semua ini emang takdir ya?” tanya Teguh, dengan menatap wajah ustadz kampung itu.


“Iya, bener itu, Teguh. Tapi ya nggak ujuk-ujuk ikhlas gitulah. Tetep perlu proses panjang buat nyabarin hati, nenangin pikiran, ngebuat keseimbangan jiwa, pikiran, dan raga ini. Benerlah kata orang, kalau cuma bilang: yang sabar dan ikhlas ya, emang gampang. Yang susah itu jalani dan nyadarinya,” ujar pak Waras.


“Terus gimana akhirnya pak Waras bisa ikhlas masuk penjara gini?” tanya Teguh lagi.


“Setelah aku nyadari, kalau posisi dan kondisi kita seperti saat ini justru masuk kriteria orang yang dicintai Allah,” jawab pak Waras, ada senyum tipis di sudut bibir tebalnya. 


“Maksudnya gimana sih, aku nggak paham lo, pak,” kata Teguh dengan cepat.


“Suatu hari, kira-kira setelah empat bulan disini, aku solat dhuha di masjid. Terus buka-buka buku yang ada disana. Ketemu satu buku yang aku inget bener judulnya Syu’abul Iman. Nah, gara-gara buka buku itulah akhirnya aku nyadari keberadaan kita disini termasuk yang dicintai Allah,” jelas pak Waras. 


“Oke, terus bisa ambil kesimpulan kalau kita disini dicintai Allah itu darimana?” tanya Teguh, sambil mengernyitkan dahinya.


“Sabar dong, Teguh. Nanti aku jelasin. Di buku itu ada hadits yang diriwayatin sama Baihaqi, Kanjeng Nabi bilang: Sesungguhnya Allah mencintai tiga hal dan membenci tiga hal. Perkara yang dicintai adalah sedikit makan, sedikit tidur, dan sedikit bicara. Sedang perkara yang dibenci adalah banyak bicara, banyak makan, dan banyak tidur. Nah, aku samain dengan posisi dan kondisi kita disini. Kita kan sedikit makan, sedikit tidur, juga sedikit bicara. Berarti, ya kita masuk kriteria orang yang dicintai Allah. Gitu alur pikiranku, dan itulah yang akhirnya buatku nemuin keikhlasan jalani semua ini,” urai pak Waras, panjang lebar.   


“Maksud hadits itu sebenernya nggak gitulah, pak. Pak Waras aja yang ngeramunya jadi sugesti tersendiri buat nemuin keikhlasan hidup di bui,” kap Yasin menimpali.


“Kita semua paham kalau isi hadits itu sangat luas maknanya, kap. Yang penting kan gimana kita bisa dapet manfaat buat perbaiki diri dari isinya. Dan dengan cara ngeramu kata kap tadi, aku nemuin keikhlasan hidup disini. Artinya kan bawa nilai positif. Makanya aku sampein disini, biar kita semua paham, kalau apapun itu akan bernilai baik jika kita bisa memetik hikmahnya sesuai kondisi kita saat ini,” balas pak Waras.


“Pak Waras emang cerdas, aku angkat topi sama kehebatannya berakselerasi ngebangun kemantapan jiwa dan pikirannya sendiri,” ucap Teguh, beberapa saat kemudian, seraya mengangkat tangan kanannya dan memberi hormat kepada pria bertubuh tambun tersebut. 


“Nggak perlu muji gitu, Teguh. Nggak usah juga pakai kalimat atau gaya yang biasa dipakai pejabat. Biasa-biasa ajalah. Aku pernah diingetin kawan, dalam hidup ini jangan pernah punya niat buktiin sesuatu sama manusia, karena kecil dihina, besar dicurigai, salah dicaci, bahkan bener sekalipun kita bisa aja dighibahi. Yang harus dipegang bener, jadilah orang baik tapi jangan buang waktumu buat buktiinnya,” ucap pak Waras, dan tersenyum lebar. (bersambung)

LIPSUS