Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 444)

INILAMPUNG
Senin, 20 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang  

 

OM nggak jadi rapihin barang bawaan orang rumah?” tiba-tiba pak Ramdan menegurku. 


“Iya juga ya, pak. Gara-gara dengerin obrolan pak Waras, jadi lupa apa yang tadi mau aku kerjain,” sahutku, dan bergegas menuju bidang tempat tidurku.


Beberapa barang pribadi yang dibawakan istri langsung aku susun rapih di atas rak kecil. Yang memanjang dan menempel di tembok pembatas kamar mandi. Mulai dari vitamin, obat-obatan, pewangi, dan beberapa makanan kecil kesukaanku.


“Lanjut tidur ini biasanya ayah kalau lama di lantai atas,” terdengar suara Teguh mengomentariku.


“Emang rencananya gitu, Teguh. Mau leyeh-leyeh dulu sambil nunggu adzan ashar,” kataku dengan suara kencang.


Dan memang, tidak lama kemudian aku tertidur di lantai tanpa alas apapun. Begitu lelapnya, hingga seusai suara adzan baru bangun. Itu juga setelah Anton menepuk-nepuk kakiku.


“Om, mau ke mesjid nggak. Sudah selesai adzan,” kata dia, sambil menatapku yang baru membuka mata.


“Aku solat di kamar ajalah, Ton. Sekalian mau mandi dulu,” jawabku dengan spontan.


Pak Waras, kap Yasin, pak Ramdan, Anton, dan Teguh tampak keluar kamar. Diikuti beberapa kawan lainnya. Menuju masjid untuk solat Ashar. Perlahan aku bangkit dari lantai dan menuju loker untuk mengambil pakaian ganti dilanjutkan ke kamar mandi. 


Seusai melaksanakan solat Ashar di kamar, aku keluar. Berjalan ke kantin. Membeli tiga botol air mineral ukuran sedang. Saat itu suasana kantin penuh sesak seperti biasanya. 


Banyak tahanan dan napi yang tengah kongkow sambil menikmati panganan atau minuman kesukaannya. Beberapa di antara mereka yang mengenalku, sempat menyapa. Dan setelah berbincang sebentar, aku kembali ke kamar.


“Buat apa beli air mineral botol itu, om? Kan masih banyak air minum kita,” tanya pak Ramdan yang sedang menyapu kamar, saat melihatku menaruhkan botol minuman di atas rak.


“Buat anak-anak, pak. Mereka mulai hari Senin mau ulangan. Biasa, mereka minta air doa,” jawabku, dengan santai.


“O gitu. Jadi om Mario ini termasuk orang pinter dong. Bisa kasih doa lewat air minum,” ucap pak Ramdan, menghentikan kegiatannya menyapu kamar.


“Ini bukan soal orang pinter atau apalah namanya, pak. Tapi sudah jadi kewajiban kita buat doain anak. Kebetulan, sejak dulu aku biasa siapin air yang sudah dibacain berbagai ayat-ayat Allah dan doa buat diminum anak-anak waktu mereka mau ulangan atau ada kegiatan besar lainnya. Tadi pas dateng kesini, mereka minta. Jadi, ya aku harus penuhilah apa mau mereka,” uraiku panjang lebar.


“Oalah, gitu ya ceritanya, om. Bagus juga apa yang om lakuin ini, bikin anak-anak makin pede ngadepi ulangannya,” celetuk pak Ramdan, seraya tersenyum. 


“Namanya ikhtiar, pak. Dan apa sih buat anak yang nggak akan kita lakuin sepanjang mampu dan nggak keluar jalur,” kataku, juga sambil tersenyum.


Kap Yasin dan pak Waras kembali ke kamar. Sambil bersiul-siul, kap memberikan sebungkus rokok buatku.


“Titipan dari Hamid buat om. Tadi ketemu di kantin, dan dia beliin rokok dua bungkus. Satu buatku, satunya untuk om,” kata kap Yasin.


“Lah, aku kan baru dari kantin, kap. Kok nggak ngelihat ya kalau ada kap disana,” sahutku, dan menerima sebungkus rokok titipan Hamid.


“Kali emang sudah diatur sama Tuhan biar kita nggak saling lihat, om. Sebab, kalau ketemu, pasti banyak yang mau diobrolin Hamid sama om,” lanjut kap Yasin. 


“O gitu ya, kap. Iya juga sih, semua emang sudah ada yang ngaturnya, ngapain kita pikirin,” jawabku, dengan santai. 


Pak Ramdan menatap tanganku yang masih memegang rokok pemberian Hamid. Aku memahami maksudnya. Segera aku berikan rokok tersebut kepada OD kamar kami tersebut.


“Kok malah dikasihin ke pak Ramdan rokoknya, om. Tahu gitu mah buat aku aja tadi,” kata kap Yasin, saat melihat rokok yang baru ia serahkan ke tanganku telah berpindah ke tangan pak Ramdan.


“Berbagilah, kap. Kan kap sudah dapet sebungkus. Toh, nanti juga dinikmati bareng-bareng,” sahutku, tersenyum.


“Kenapa sih babe ini kayaknya selalu nolak pemberian Hamid. Waktu itu, pagi-pagi dikirim sarapan malah dikasih ke Rudy, sekarang dikirimi rokok juga dikasih ke orang lain,” pak Waras menyela.


“Nggak ada maksudku nolak rejeki atau pemberian Hamid, pak. Waktu itu kan Rudy dateng-dateng bilang, kalau dia belum makan nasi selama dua hari. Wajar aja aku langsung kasihin sarapan yang dikirim Hamid. Kebayangkan sama kita gimana nggak ketemu nasi dua hari itu, pak,” jawabku.


“Kalau yang sekali ini, apa alasannya?” tanya pak Waras. Wajahnya serius.


“Pak Waras dan kawan-kawan semua kan tahu, aku cuma ngerokok cap Mangga. Kalau ngisep yang lain, pasti batuk itulah akhirnya. Ketimbang jadi mudharat buat badanku, kan lebih manfaat dikasih ke pak Ramdan,” jelasku lagi.


“Masuk akal emang alasan om Mario, pak Waras. Kita nggak bisa ngedebatinnya,” kata kap Yasin, menengahi.


Pak Waras hanya tersenyum, dan setelahnya pria bertubuh tambun itu bergerak ke kamar mandi. Membersihkan badannya. 


Seusai pak Waras mandi, aku berwudhu dan memakai kain sarung juga kupluk. Duduk di bidang tempatku. Menghadap kiblat. Tiga botol air mineral yang telah aku buka tutupnya, berada di depanku. Mulailah aku bertafakkur. 


Membaca beberap surah di dalam Alqur’an dilanjutkan dengan doa. Dan setelahnya, meniupkan ke tiga botol air mineral. Dengan terus mengucapkan sejuta harapan kepada Gusti Allah, aku tutup kembali botol air mineral, dan menuliskan nama anakku juga istriku di botolnya, baru menaruhkannya di atas rak. 


Suara adzan Maghrib menggema dari masjid. Pak Waras memintaku menjadi imam, namun tetap ia yang akan memimpin doa. Karena aku belum bisa mengimami untuk doa bersama. Dan seperti biasa, aku melanjutkan kegiatan dengan membaca Alqur’an.


Ketika aku masih khusu’ membaca ayat-ayat Tuhan, terdengar sebuah suara yang menanyakanku dari balik jeruji besi kamar. Pak Waras menjawab, bila aku tengah mengaji.


“Mau kasih titipan dari rumah aja, terima dulu ini, pak. Nanti aku kesini lagi,” kata orang yang berada di balik jeruji besi.


Tidak beberapa lama kemudian, pak Waras masuk ke dalam, dan menaruhkan tiga bungkusan. Berisi beras. Masing-masing plastik yang penuh dengan bahan makanan itu sekitar satu kilogram. (bersambung)

LIPSUS