Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 445)

INILAMPUNG
Selasa, 21 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


SIAPA yang nganter beras ini, pak?” tanyaku, yang spontan menghentikan kegiatan mengaji.


“Pak Almika, be. Katanya, titipan dari rumah, nanti dia kesini lagi,” jawab pak Waras.


Aku terdiam. Terbayang kembali pembicaraanku dengan istri saat di ruang kunjungan. Keinginanku untuk merasakan nasi dari beras di rumah, langsung terwujud. Kagum aku dengan gerakan cepat istriku Laksmi. Ia memahami benar bagaimana aku tetap membutuhkan sentuhan ketenangan dari apapun yang layak ia lakukan. 


“Alhamdulillah, itu beras dari rumah, pak. Tadi emang aku bilang ke istri, pengen rasain nasi beras dari rumah,” kataku lagi.


“Om ini ketara bener kangen berat sama rumah ya,” celetuk Anton, dan tertawa ngakak.


“Semua kita pastilah kangen sama rumah, Ton. Coba, siapa di kamar ini yang nggak kangen sama rumah,” sahutku.


“Ya benerlah, om. Kita semua pasti kangen rumah, tapi nggak sampai kepengen makan nasi dari beras yang biasa di makan di rumah jugalah,” lanjut Anton, masih dengan tertawa.


“Karena kamu masih bujangan, makanya belum rasain gimana enaknya makan nasi dari beras kiriman rumah, Anton. Aku juga pengen bisa kayak yang dilakuin om Mario ini. Minimal, ngurangi kangen kita sama keluarga,” pak Ramdan menimpali.


“Kali juga karena aku masih bujangan jadi belum bisa rasain kangen berlebihan kayak yang sudah berkeluarga. Tapi jujur ini, pak. Sebenernya, diem-diem pas mau tidur, aku sering nangis lo. Inget orang tua dan adik-adikku,” ucap Anton, beberapa saat kemudian setelah menghentikan tawanya.


“Bagus kalau gitu, Anton. Kamu bisa ekspresiin kangen dengan nangis. Kebanyakan orang malah sok kuat nahan kangen, nggak mau ngakui kalau dia sedih sampai nangis,” tanggap pak Ramdan.


“Emang nangis itu bagus ya, pak?” tanya Anton.


“Ya baguslah, Anton. Karena nangis itu cara terbaik buat luapin emosi tanpa nyakiti orang lain. Ketimbang kamu kangen berat tapi ekspresiin dengan kesel-kesel atau bahkan marah kesana-sini, kan bisa nimbulin masalah baru,” lanjut pak Ramdan. Ada senyum ketulusan seorang bapak di balik ukiran indah pada sudut bibirnya.


“Tapi, kalau keseringan ekspresiin sedih dengan nangis, kata orang, juga nggak bagus, pak,” ujar Anton lagi.


“Masing-masing kita kan punya cara sendiri buat ringanin rasa sedih itu, Anton. Ada yang dengan nangis, diem atau bahkan marah-marah. Tapi nurut buku yang pernah aku baca, kalau kita bisa senyum saat hati kita penuh sama duka nestapa, sebenernya kita lagi ngeringanin beban kita sendiri dan buka satu pintu untuk kebahagiaan,” tutur pak Ramdan, masih dengan menunjukkan senyum kebapakannya.    


Suara adzan Isya terdengar dari masjid. Dan kami pun kembali melaksanakan solat berjamaah. Dilanjutkan dengan makan malam bersama. Waktunya apel malam pun datang. Dua sipir dan seorang tamping berdiri di balik jeruji besi. Mengabsen kami yang tengah makan.


“Semua sehat-sehat aja kan. Kalau ada yang sakit, cepet lapor. Besok ke klinik,” kata salah satu sipir yang melakukan tugas apel malam.


“Alhamdulillah, kami semua sehat. Komandan juga sehat-sehat ya,” balas kap Yasin, sambil mengatupkan kedua tangan di dadanya.


“Nah, gitu dong. Kita saling doa. Jadi imbang dan didenger sama Tuhan,” ucap sipir tersebut, dan melangkah pergi dari depan kamar.


Baru saja kami selesai makan malam, sipir Almika kembali ke kamarku. Ia tersenyum saat melihatku. Bergegas aku bergerak mendekatinya. Kami bersalaman dari sela-sela teralis besi. 


“Tadi tante nitip beras, katanya om pengen makan nasi dari beras rumah,” ujar Almika, sambil melepas senyum renyahnya.


“Iya, waktu tante besuk sama anak-anak, om emang bilang gitu, Mika. Alhamdulillah, kamu bisa bawain. Terimakasih bantuannya ya,” jawabku, juga tersenyum.


“Tadi sempet agak grogi juga pas masuk bawa beras itu, om. Ransel Mika kelihatan penuh gitu isinya. Untung kawan-kawan yang tugas di P-2-O nggak kayak biasanya, pakai meriksa ini-itu,” lanjut Almika.


“O, kalian sesama sipir juga diperiksa ya waktu masuk?” tanyaku, ada nada keheranan.


“Ya iyalah, om. Petugas di P-2-O pasti meriksa semua yang masuk sini. Nggak peduli sipir, pegawai bahkan kepala rutan dan KPR. Protapnya jelas. Maka, kalau sampai ada kejadian aneh-aneh, misalnya penyelundupan barang terlarang, kawan-kawan di P-2-O yang kena sanksi duluan,” jelas Almika.


“Baru tahu ini om kalau ada peraturan gitu, Mika. Kirain om, sesama petugas, ya nggak perlulah saling meriksa barang yang dibawa,” kataku.


“Semua yang masuk area rutan wajib diperiksa, om. Bukan cuma barang bawaan, tapi juga badan. Jadi sebenernya, nggak main-main kami jaga diri dari berbagai ujian buat masukin barang yang aneh-aneh,” sambung Almika.


“Kalau bawa beras dari rumah gitu, sebenernya ngelanggar nggak sih, Mika?” tanyaku, penasaran.


“Sebenernya sih nggak, om. Cuma kan ada ketentuan, semua kebutuhan makan dan lainnya buat tahanan, disiapin di kantin. Jadi belinya ya harus di kantin. Kalau ketahuan sama kawan pengelola kantin, pastinya aku ditegurlah, om,” jawab Almika, dan tetap tersenyum.


“O gitu. Maaf, Mika. Om sama tante nggak tahu kalau ada ketentuan gitu. Jangan sampai juga kamu malah dapet teguran karena bantu om masukin beras dari rumah,” kataku, dan spontan memegang tangan sipir Almika.


“Santai ajalah, om. Inshaallah, kalau barang kiriman dari tante buat om, dikasih kelancaran kok. Kalau Mika yakin, selama apa yang dibawa masuk bukan barang bermasalah, pasti ada jalannya buat dimudahin,” sahut Almika dengan gaya santainya.


Setelah berbincang beberapa saat, sipir Almika berpamitan. Seperti biasa, ia selalu bertugas di pos menara belakang. Ketika aku telah duduk bergabung dengan beberapa kawan yang tengah santai di ruang depan, pak Ramdan menyatakan kebingungannya untuk menanak beras kiriman istriku.


“Kalau kita nggak punya alat masak nasi, numpang masak di kamar lain aja sih, pak. Gitu aja kok repot,” kata kap Yasin.


“Enaknya di kamar berapa ya, kap?” tanya pak Ramdan, yang memang menjadi OD kamar kami.


“Ke kamar 34 aja. Bilang sama pak Edi, ini beras om Mario, minta dimasakin. Pasti dia oke,” lanjut kap Yasin, dengan percaya diri.


“Gimana om, setuju nggak kalau besok kita masak berasnya di kamar pak Edi?” tanya pak Ramdan kepadaku.


“Setuju. Bilang aja sesuai omongan kap tadi. Inshaallah nggak ada hambatan buat kita besok makan siang dengan beras dari rumah. Pasti jauh beda rasanya sama beras cadong,” jawabku, dan tertawa. (bersambung)

LIPSUS