Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 446)

INILAMPUNG
Rabu, 22 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang

     

SUARA salam mengejutkan kami yang masih asyik bercengkrama. Bersamaan, kami melihat ke arah jeruji besi. Sipir Mirwan berdiri disana, sambil tersenyum.


“Kok pada kaget gitu ya, pas denger suara salamku. Sampai-sampai nggak ada yang ngejawab,” kata sipir Mirwan, masih dengan tersenyum.


“Waalaikum salam, dan. Maaf, terlambat bales salamnya,” ucap kap Yasin dengan spontan.


Sipir Mirwan tertawa ngakak. Dan sesaat kemudian ia memintaku mendekat ke tempatnya berdiri. Setelah bersalaman, ia memasukkan sebuah bungkusan besar.


“Buat temen abang dan kawan-kawan ngopi sambil ngobrol. Sekadar gorengan. Tapi enak. Murah meriah,” kata sipir Mirwan, masih sambil tertawa.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak ya, Mirwan. Makin banyak dan berkah rejekimu,” ucapku.


Bungkusan berisi makanan ringan berupa gorengan itu, langsung aku serahkan kepada pak Ramdan. Tidak lama kemudian, makanan pemberian sipir Mirwan telah tertata pada beberapa piring. Tanpa menunggu perintah, kami mengambil makanan yang ada dan menikmatinya.


Melihat begitu antuasiasnya kami merasakan makanan bawaannya, sipir Mirwan yang masih berdiri di balik jeruji besi, tampak tersenyum. 


“Terimakasih banyak ya, dan. Semoga komandan terus sehat dan banyak rejeki,” kata kap Yasin, seraya mengunyah tahu isi.


Sipir Mirwan menganggukkan kepalanya sambil mengangkat kedua telapak tangannya. Mengaminkan perkataan kap Yasin.


“Abang sehat-sehat aja kan?” tanya sipir Mirwan, beberapa saat kemudian.


“Alhamdulillah, berkat doamu, abang sehat. Gimana kabarmu, baik-baik aja juga kan,” sambutku.


“Berkat doa abang, aku sehat dan semua urusanku lancar. Ini mau lapor sama abang. Alhamdulillah, aku sudah ujian tesis dan lulus. Terimakasih banyak atas dukungan abang. Yang ngebanggain, di keluargaku baru aku yang sekolah sampai S-2,” tutur sipir Mirwan dengan wajah penuh rona bahagia.


“Oh ya. Alhamdulillah. Selamat ya, Mirwan. Berkah ilmumu dan inshaallah makin mantep kariermu,” kataku, dan menyalaminya penuh rasa kebanggaan.


“Aku nggak bisa lupain jasa abang. Motivasi, arahan, dan diskusi-diskusi kita waktu itu, bener-bener punya nilai tersendiri buatku. Terimakasih ya, bang. Aku doain, semua urusan abang juga dilancarin, dan terus sehat. Nanti bangkit lagi ya, bang,” ucap Mirwan dengan suara bergetar.


“Inshaallah kita bisa terus saling dukung ya, Mirwan. Semua pertemuan ini bukan kebetulan. Pasti ada hikmah di baliknya. Kita nggak bisa ngeramal masa depan,” tanggapku, dengan santai.


Beberapa saat kemudian, Mirwan mengeluarkan sebuah amplop dari kantong celananya. Ia serahkan ke tanganku.


“Apa ini?” tanyaku.


“Sekadar buat abang beli rokok dan kalau pas pengen jajan di kantin,” kata dia. Diikuti senyuman.


“Nggak usah, Mirwan. Selama ini kamu sudah banyak bener bantu dan kasih abang berbagai makanan. Nggak mau abang kalau kamu kasih uang,” ujarku, dan mengembalikan amplop ke tangannya.


“Tolong jangan abang tolak. Sekali ini aja. Aku niati ini sebagai wujud syukur atas hubungan baik kita, bang. Jujur, berkat motivasi abang, aku semangat untuk selesaiin kuliah S-2-ku,” jawab Mirwan, dengan wajah serius.


Aku terdiam. Di satu sisi memahami begitu tulusnya ia melakukan semua ini, namun di sisi lain, aku tidak mau membiasakan orang membantuku dengan memberi sejumlah uang.


“Gimana kalau kamu beliin aja uang di amplop ini makanan. Nanti aku makan bareng sama kawan-kawan sekamar,” kataku, setelah berpikir beberapa lama.


“Terserah mau abang buat apa, yang penting abang mau terima wujud rasa syukurku ini. Apa aku aja yang beliin ya. Panggil tamping waserda,” sahut Mirwan dengan cepat.


“Baiknya kamu aja yang beliin, Mirwan. Lagian, kami kan nggak mungkin mau teriak-teriak manggil tamping waserda,” ujarku.


Tanpa berlama-lama, sipir Mirwan bergerak. Berjalan ke arah pintu masuk Blok B. Sempat terdengar suaranya menanyakan siapa tamping waserda. Tamping yang biasa menjajakan makanan khusus malam hari ke semua kamar dan tiga blok yang ada di kompleks rutan. Dimulai pukul 24.00, kemudian berputar lagi pada pukul 02.30, dan terakhir pada pukul 04.30.  


Melihatku masih berdiri di dekat jeruji besi, kap Yasin dan kawan-kawan menatapkan pandangannya ke arahku, seakan ingin mengetahui apa yang kami perbincangkan sebelumnya. Dengan singkat, aku sampaikan yang menjadi pembicaraanku dan sipir Mirwan.


“Pak Mirwan itu orang yang rendah hati, om. Dan berkat pembawaannya itulah, dia banyak dijauhin dari berbagai kesulitan dalam hidupnya,” kata kap Yasin.


Mendadak sipir Mirwan telah berdiri kembali di balik jeruji besi. Wajahnya penuh keceriaan. Dilengkapi dengan senyum sumringahnya.


“Sudah, bang. Nanti tengah malam, makanan dianter kesini. 12 bungkus sate kambing dengan lontong, sesuai jumlah penghuni kamar. Dan ini ada empat bungkus rokok, untuk abang dan kawan-kawan,” kata Mirwan, dan menyerahkan rokok ke tanganku.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak ya, Mirwan. Berkah hidupmu,” ucapku dan memeluknya melalui sela-sela teralis besi.


Mirwan juga memelukkan tangannya ke badanku. Sesekali aku rasakan tepukan ringan di punggungku. Menebarkan torehan semangat untukku.


“Aku pamit ya, bang. Mohon terus saling doa ya. Selamat makan sate dan lontong ya, kawan-kawan. Tetep semangat dan jaga kesehatan,” ujar sipir Mirwan beberapa saat kemudian, dan mengucapkan salam.


“Terimakasih banyak, dan,” sahut kap Yasin, yang spontan berdiri dari duduk santainya. 


Tanpa menjawab apapun, Mirwan melangkahkan kakinya. Meninggalkan kamar kami. Kembali ke tempat tugasnya. Di pos penjagaan dalam. 


Pak Waras langsung mengajak kami semua berdoa untuk sipir muda usia yang rendah hati itu. Juga mengucap syukur atas rejeki yang diberi Allah melalui tangan sipir Mirwan. (bersambung)  

LIPSUS