Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 448)

INILAMPUNG
Jumat, 24 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


KAMI masih berbincang ringan sambil mengeringkan keringat ketika Aris dan Dika mendekat. Seusai menyalami, keduanya ikut duduk ndeprok di tepian selasar.


“Lha, kok malah pada duduk to. Niatnya kesini mau jogging, apa pindah tempat duduk aja,” kata pak Waras kepada Aris dan Dika. 


“Niatnya sih mau jogging, pak. Cuma ngelihat pak Waras lagi ngobrol santai, jadi berubah dari niat,” balas Aris, sambil tersenyum cengengesan.


“Yo sana, jogging dulu. Nanti kita ngobrol bareng-bareng disini. Toh, kita kan nggak punya kerjaan yang harus diuber,” lanjut pak Waras.


“Ya bener sih, kita ini pengangguran kelas berat,” celetuk Dika, dan tertawa ngakak.


“Yo wes sana, mumpung masih pagi dan belum banyak yang jogging. Jangan sia-siain waktu,” pak Ramdan menyela.


Akhirnya, Aris dan Dika pun melakukan apa yang menjadi niat mereka keluar kamar pagi ini. Berjalan mengelilingi lapangan di dalam kompleks rutan. Menjaga dan menyegarkan kondisi badan. 


Tidak lama kemudian tampak pak Raden dan Oong keluar dari pintu utama Blok C. Akan berolahraga juga. Melihat aku dan kawan-kawan tengah duduk santai di tepian selasar, keduanya mendekat.


“Sudah pada jogging ya ini, bang?” tanya Oong dengan gayanya yang khas; cuek dan santai.


“Sudahlah. Sejak habis subuh kami keliling lapangan ini,” sahutku, sambil tertawa.


“Waduh, mruput amat ya. Habis subuhan langsung olahraga. Boleh juga ditiru gaya abang sama kawan-kawan ini,” ujar Oong dan tertawa ngakak.


Beberapa saat kemudian, keduanya telah berjalan mengelilingi lapangan. Sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. Menjaga kebugaran tubuh memang menjadi hal yang penting, karena ketika sakit di dalam bui, rasanya beberapa kali  lipat sedihnya dibandingkan saat berada di rumah.


“Ayo kita balik ke kamar, pak. Gerah badanku. Pengen mandi,” kataku kepada pak Waras dan pak Ramdan.


“Katanya tadi mau ngobrol dulu sama Aris dan Dika,” sela pak Ramdan.


“Kalau mereka mau ngobrol, ya biar ke kamar ajalah,” jawabku, dan berdiri dari tempat duduk.


Pak Waras dan pak Ramdan mengikuti langkah kakiku menuju pintu utama Blok B dan langsung ke kamar. Tamping kunci bergerak cepat ketika melihat kami akan kembali masuk sel. Dengan tangkas ia membuka gembok besar yang menggantung di pintu.


“Terimakasih ya,” kataku kepada tamping kunci tersebut.


“Sama-sama, om. Aku juga terimakasih, tadi sudah dikasih rokok,” ucap tamping  kamar.


Seusai mandi dan berganti pakaian, aku mendengar kap Yasin tengah memberi arahan kepada pak Ramdan untuk segera menanak nasi dari beras yang dikirim istriku.


“Satu bungkus itu isinya satu kilo, pak. Buat dua kali masak. Jadi bisa seminggu beras kiriman istri om Mario buat kita makan,” kata kap Yasin.


“Nanti gimana kalau kurang nasinya pas kita makan, kap?” tanya pak Ramdan.


“Yang mau nambah, ya pakai nasi cadong ajalah. Intinya, tiga bungkus beras kiriman itu bisa buat makan kita seminggu. Atur aja sama pak Ramdan,” jawab kap Yasin.


Tiba-tiba Aris dan Dika telah berdiri di balik jeruji besi. Sambil memasukkan makanan ringan ke mulutnya, Aris memberi isyarat agar aku mendekat ke posisi mereka.


“Ini buat babe dan kawan-kawan. Biasa, gorengan. Masih hangat, baru turun dari wajan. Dan ini gorengan pertama di kantin, pasti lebih enak rasanya,” ucap Aris, menyerahkan satu bungkus berisi makanan ringan, berupa tahu isi, pisang goreng, dan bakwan.


“Asyik, terimakasih ya, Ris. Aku seneng kalau kamu rutin ngirim makanan gini,” balasku, seraya tertawa.


“Tinggal bilang aja, kapan babe pengen makanan, aku kirim. Atau kita ke kantin sambil kongkow,” balas Aris, juga sambil tertawa.


“Kita ngobrol-ngobrol di gazebo aja yok, bang. Itu pak Edi lagi nyantai sambil nonton tivi,” kata Dika.


Aku melihat dari sela-sela jeruji besi, kap kamar 34 tersebut memang tengah duduk santai menonton siaran televisi. Di depannya ada cangkir dan sebuah piring berisi beberapa potong makanan ringan.


“Ya sudah, panggilin tamping kunci. Minta bukain pintu,” tanggapku.


Beberapa saat kemudian, tamping kunci membuka kembali gembok kamarku. Bersamaan dengan itu, pak Ramdan juga keluar. Membawa sebuah tempat berisi beras kiriman istriku. Untuk dimasak di kamar 34.


Pak Edi langsung menugaskan OD kamarnya untuk membantu pak Ramdan menanak nasi. Setelah aku meminta bantuannya. 


“Kok bisa-bisanya sih babe minta dikirimi beras dari rumah,” kata pak Edi, setelah aku, Aris, dan Dika duduk bergabung dengannya di gazebo depan kamarnya.


“Ya, lagi kepengen makan nasi dari beras di rumah aja sih, pak. Alhamdulillah, istriku gerak cepet. Semalem kirimannya sudah sampai kamar,” sahutku.


“Aku juga pengenlah dikirimi beras dari rumah. Tapi rumah siapa ya, aku kan masih bujangan,” kata Dika, menyela dengan cepat, dan tertawa ngakak.


“Kalau punya pengen itu, jangan kelewatan, Dika. Yang masuk akal. Atau minimal ada jalurnya. Kalau kayak kamu ini, kepengen dikirim beras dari rumah, cuma halu aja kata orang-orang jaman sekarang,” tanggap pak Edi.


“Emang halu itu nggak bagus ya, pak?” tanya Dika.


“Kalau nurutku sih, banyak nggak bagusnya, Dika. Kamu perlu tahu ya, anak muda. Penyakit yang paling ngerugiin itu timbulnya dari diri kita sendiri, entah berupa rasa benci yang sangat dalem, atau pengharapan yang kelewat besar. Nah, yang kamu sampein pengen dikirim beras dari rumah tadi itu, masuk kriteria yang mana, kamu sendirilah yang tahu,” tutur pak Edi, dengan kalem.


“Lama-lama aku seneng tinggal disini lo, pak. Banyak pencerahan yang nggak pernah aku dapetin di luar,” kata Dika, dengan polosnya.


“Bagus itu, Dika. Dengan kamu nyenengi kondisi ini, berarti jiwa dan pikiranmu nggak ikut terkungkung. Cuma raga aja yang dibatasi. Aku pernah diomongin sama seorang ipis waktu masuk bui buat kedua kalinya dulu. Dia bilang: yang buatmu terpenjara sampai nggak bisa nikmati kebebasan itu ada dua, yaitu prasangka buruk, dan nyimpen omongan negatif orang di pikiran dan hatimu,” sambung pak Edi, tetap dengan gaya kalemnya.


“Jadi, pak Edi nggak ngerasa tinggal di penjara ya?” tanya Dika lagi.


“Ya teteplah kalau itu mah, Dika. Kenyataannya badan kita terkurung. Maksudnya itu, ada penjara yang lebih berat dan bener-bener buat kita nggak bisa rasain kebebasan, yaitu prasangka buruk dan mikirin omongan negatif orang terhadap kita. Faktanya kan, walau tinggal disini, pikiran dan jiwa kita tetap bebas. Terus aja kamu tumbuhin rasa senengmu ada disini, bakal buatmu makin nyaman,” kata pak Edi, panjang lebar.


“Yang penting lagi tetep sabar dan jangan tinggal solat ya, pak,” Aris menimpali.


“Pas itu, Ris. Emang sih, sabar dan jaga solat itu nggak semudah yang kita omongin atau bayangin, karena cuma orang-orang istimewa aja yang bisa lakuinnya. Tapi, ya itulah kunci kalau pengen nikmati hidup sesuai kehendak pencipta kita,” jawab pak Edi. Ada senyum ketulusan di sudut bibirnya. (bersambung)

LIPSUS