Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 449)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 25 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan dari masjid terdengar kencang. Saatnya solat Dhuhur. Aku akan beranjak meninggalkan gazebo ketika tiba-tiba pak Edi memegang tanganku. Menahanku untuk bergeser.


“Babe tahu bagaimana mestinya seorang muslim?” tanya pak Edi, seraya menatapku. Spontan, aku menggelengkan kepala.


“Kalian tahu nggak?” tanya pak Edi lagi, sambil menengokkan wajahnya kepada Aris dan Dika. Keduanya juga menggelengkan kepala.


“Waduh, repot juga aku mau kasih tahunya. Tapi, ada pemahaman yang sangat-sangat sederhana bagaimana seorang muslim itu,” ucap pak Edi, beberapa saat kemudian.


“Jelasin dong, biar kami nggak penasaran, pak,” celetuk Dika, dengan tersenyum.


“Seorang muslim itu harus seperti air laut. Meski ratusan sungai ngalirin air tawar, ia akan tetep asin. Dan nggak pernah maksa ikan di dalamnya jadi asin,” urai pak Edi, beberapa saat kemudian.


“Kenapa kok pak Edi tiba-tiba ngomong ini?” tanya Aris. Tampak penasaran juga.


“Tadi lihat kan, gitu kedengeran suara adzan, babe mau bergerak dari sini. Kita pasti paham maksudnya. Dia mau solat di awal waktu. Nggak peduli kita lagi asyik ngobrol, langsung mau ditinggalin aja. Karena itulah, aku jadi inget gimana mestinya seorang muslim, yang pernah aku denger dari ceramah seorang ustadz,” urai pak Edi. Kali ini ada senyum tipis di sudut bibir tebalnya.


“Aku belum apa-apa, pak. Seperempat langkah napak di jalan agama aja belum sampai. Jangan terlalu berlebihan gitu nyampein pujian. Nanti malah buatku gede kepala dan ujung-ujungnya jadi riya,” kataku, yang segera memahami maksud perkataan pak Edi.


“Jujur, be. Kita sama-sama tahulah gimana bengalnya waktu dulu. Di dalem penjara inilah yang buat kita nyadari semua kegilaan masa lalu, dan berusaha keras buat perbaiki hidup. Kalau aku sampein omongan tadi, bukan mau muji tapi justru buat ngingetin aku, Aris sama Dika, mestinya kita ya langsung tinggalin semua urusan dunia begitu denger adzan,” tanggap pak Edi, dan bergerak untuk berdiri dari duduknya.


Tanpa berkata apapun lagi, ia menyalami kami bertiga dan masuk ke kamarnya. Melalui jeruji besi kamarnya, kami melihat kap kamar 34 tersebut langsung ke kamar mandi untuk berwudhu. Aku, Aris, dan Dika meninggalkan gazebo, menuju kamar masing-masing.


Selepas berwudhu, aku keluar kamar dengan setengah berlari. Mengejar pak Waras, pak Ramdan, Anton, dan Teguh yang telah berjalan duluan menuju masjid untuk solat Dhuhur. Seusai solat berjamaah, kami kembali ke kamar. Untuk makan siang.


Cuaca saat itu sangat panas. Aku meminta bantu Anton untuk mengangkat kasur dan menjemurnya di sisi taman. Juga bantal, guling, dan handuk.


Sambil berbincang ringan, kami duduk di tepian taman. Sambil mendengarkan suara burung parkit dan lovebird yang saling bersahutan, menyenandungkan musik tanpa irama namun menyegarkan jiwa.


“Om perhatiin nggak, hampir setiap hari, penghuni rutan ini terus nambah lo. Sekali pelimpahan bisa belasan orang. Berarti, di luar lagi banyak kasus kriminal,” ucap Anton, sambil melihat ke arah beberapa “wajah baru” yang tengah duduk bergerombol di kursi taman depan kamar 20.


“Iya juga ya, Ton. Aku malah nggak merhatiin. Baru karena kamu ngomong ini aku sadar. Emang sih, beberapa kali ketemu orang yang nggak ngenali wajahnya, tapi nggak sampai sejauh pikiranmu itu aku mikirnya,” sahutku, juga menatapkan pandangan ke arah yang dilihat Anton.


“Aku juga baru seminggu ini perhati, om. Kok banyak yang nggak aku tahu, rupanya ya orang-orang yang baru pelimpahan. Ngelihat kayak gini, berarti tindak kriminal lagi kenceng-kencengnya di luar,” kata Anton lagi.


“Bisa jadi gitu, Ton. Kan yang masuk sini setelah proses penyidikan dari polisi dilimpahin ke jaksa. Mereka disini nunggu waktu sidang. Kalau terus-terusan nambah orang gini, bisa-bisa makin padet isi semua kamar ya,” ucapku, menimpali.


“Om tahu nggak, negara mana yang paling aman di dunia, sampai-sampai buat ngisi penjaranya aja datengin orang-orang bermasalah dari negara lain,” kata Anton, setelah berdiam beberapa saat.


“Nggak tahu, Ton. Emang ada negara yang sampai datengin penjahat dari luar buat ngisi penjaranya?” tanyaku, terheran.


“Negara paling aman di dunia itu Belanda, om. Seperti yang aku bilang tadi, mereka sampai datengin penjahat dari luar negeri buat ngisi kamar-kamar penjaranya. Bahkan belakangan, karena nggak ada lagi penjahat yang bisa diimpor, banyak penjara di Belanda yang terpaksa ditutup,” jelas Anton, panjang lebar.


“O gitu, Ton. Emang Belanda itu negara yang aman-aman bener dari tindak kejahatan ya. Baru tahu ini aku, Ton,” sahutku, seraya mengangguk-anggukkan kepala karena mendapat pengetahuan baru.


“Yang aku pernah baca di media sih gitu, om. Dan aku percaya sama informasi itu. Ada saudaraku yang tinggal di Belanda dan pernah aku tanya. Dia bilang, emang disana bener-bener aman, nggak ada kejahatan. Nyaman buat tinggal,” lanjut Anton.


“Nurut kamu, kenapa bisa kayak gitu ya, Ton?” tanyaku.


“Banyak faktornyalah, om. Utamanya, nurut perkiraanku, karena kesejahteraan warga disana sudah mantep. Berarti ekonomi juga sangat baik. Bisa juga adanya hukuman berat yang buat jera orang yang lakuin kejahatan. Pastinya gimana, aku sendiri nggak paham, om,” jawab Anton, seraya tersenyum.


Mendadak Teguh duduk di antara aku dan Anton. Menyempil.


“Ngapain sih kamu ini, Teguh? Kayak anak hilang aja,” celetuk Anton.


“Pengen dengerin obrolan, Anton. Dari tadi aku perhatiin ngobrolnya asyik bener,” sahut Teguh, sambil cengengesan.


“Kami lagi ngobrolin negara paling aman di dunia yang nggak ada kejahatannya, Guh. Bahkan, buat ngisi penjaranya aja sampai impor penjahat dari negara lain,” jelasku.


“Emang ada negara kayak gitu, ayah?” tanya Teguh.


“Ada. Kalau kata Anton, Belanda negara teraman di dunia,” sambungku.


“Emang bener gitu, Ton?” tanya Teguh, seraya memandang Anton.


“Yang pernah aku baca gitu, Guh. Nggak tahu bener nggaknya. Kalau kata saudaraku yang tinggal disana, emang nggak ada kasus perampokan dan sebagainya itu,” jawab Anton.


“Kalau kasus narkobanya ada nggak?” tanya Teguh lagi. Tampak penasaran. (bersambung)

LIPSUS