Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 450)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 26 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


NGGAK tahu pastilah aku, Guh. Yang aku pahami dari informasi media waktu itu, Belanda negara teraman dan buat ngisi penjaranya terpaksa impor penjahat dari negara lain. Apa bener-bener aman seratus persen atau gimana, nggak tahu pasti,” urai Anton.


“Bisa jadi, buat kasus-kasus kriminal kelas kaleng-kaleng, emang nggak ada, Anton. Tapi, kalau penyebaran narkoba dengan berbagai bentuk atau jenisnya, aku yakin pasti ada,” ujar Teguh, beberapa saat kemudian.


“Kok kamu bisa mastiin gitu, Guh?” tanya Anton.


“Karena yang aku tahu, bisnis narkoba sudah ngerambah semua negara di dunia ini, Anton. Jangan kan negara, sampai kampung-kampung sekali pun yang namanya peredaran narkoba itu sudah masuk,” jawab Teguh, dengan percaya diri.


“Termasuk Belanda juga, gitu?” celetuk Anton.


“Ya, mungkin-mungkin aja, Anton. Siapa yang tahu. Yang aku yakini, bisnis narkoba sudah masuk ke semua lini kehidupan manusia di dunia ini. Makanya nggak usah heran kalau dimana aja tetep ada peredaran narkoba dalam berbagai bentuk dan namanya,” tutur Teguh.


“Termasuk di dalem sini, Guh?” tanyaku, penasaran.


“Ya iyalah, ayah. Masak sih ayah nggak bisa cermati permainan beberapa tahanan disini ngasongin narkoba. Aku yang baru aja bisa ngebauinnya kok,” sahut Teguh, sambil tersenyum.


“Kamu bisa ngebauin karena emang sebelum ketangkep ya bisnis itulah kerjaanmu, Guh. Kalau aku sama om Mario kan nggak paham,” ujar Anton, menyela.


“Iya juga ya, Anton. Kita emang punya keahlian masing-masing ya. Sebenernya, aku pengen kita di kamar sering-sering diskusi, tuker pengalaman dengan kasus masing-masing,” kata Teguh.


“Buat apa?” tanyaku.


“Biar kita kaya pengalamanlah, ayah. Kan pengalaman itu mahal. Orang yang punya pengalaman di satu keahlian, karena dia sudah jalani dan nggak dengan waktu singkat. Kalau diceritain, kan lebih simpel buat kita yang pengen dengernya,” jawab Teguh.


“Kalau pengalamannya soal metik motor, bisa aja nanti kita penasaran buat praktikinnya, Guh. Malah nambah masalah,” tanggap Anton.


“Nggak semua pengalaman orang kan kita praktikinlah, Anton. Sekadar buat memperkaya isi otak aja. Disinilah kita perlu pinter-pinter memilah dan memilih,” kata Teguh, dengan santai.


“Aku mau cerita ya. Ada dua orang sahabat sepakat nanem pohon bunga melati. Orang pertama, taruh tanemannya di luar ruangan, dan orang kedua nempatin potnya di dalem ruangan. Beberapa bulan kemudian, keduanya ketemu sambil bawa taneman masing-masing. Apa yang terjadi? Ternyata, pohon melati yang ditaruh di luar ruangan lebih seger dan tinggi dibanding yang ditaruh di dalem ruangan,” ujarku, dengan kalem.


“Kenapa bisa gitu, om?” tanya Anton, penasaran.


“Karena melati di luar ruangan terkena sinar matahari, hujan, angin, dan sebagainya. Suasana alam dengan berbagai musimnya bener-bener langsung dirasain sama pohon itu. Yang di dalem ruangan, kan nggak ngadepi kondisi alam dengan langsung, jadi pertumbuhannya terbatas,” jawabku.


“Maksud ayah dengan cerita itu sebenernya mau nyampein pesen apa buat kami?” tanya Teguh, dengan kalem.


“Untuk jadi orang hebat, seseorang harus ngadepi berbagai tantangan, Guh. Jatuh berulangkali untuk bangkit lagi, dan berusaha lebih keras. Dan kata orang, laut yang tenang nggak akan hasilin pelaut ulung,” uraiku, dan tertawa lepas. 


“Inilah yang aku senengi dari ayah, selalu memotivasi dirinya sendiri setiap saat. Aku tahu, waktu ayah ngomong tadi, jiwa dan pikirannya lagi bergejolak nggak karuan,” kata Teguh, juga ikut tertawa.


“Emang bener yang diomongin Teguh, om?” tanya Anton, menatapku tajam.


“Iya, Teguh emang jago ngebaca orang, Anton. Nggak asal ngomong kalau dia ngaku suka baca buku-buku psikologi. Kemampuannya nilai gestur orang, cepet bener,” sahutku, terusterang.


“Terus kenapa om mesti utamain motivasi diri sendiri,” ucap Anton.


“Hidup ini unik, Anton. Seringkali kita nyampein sesuatu buat orang lain, sebenernya niat di hati justru buat diri sendiri. Dan emang, yang perlu dibenahi ya diri sendiri dulu. Kalau kita sendiri terus labil, susah buat bisa pertahanin kepribadian. Kita kayak perahu patah kemudi diombang-ambingin ombak yang nggak pernah berhenti,” ujarku, panjang lebar.


“Yang optimis dong, ayah. Kalau kata ibuku, kita nggak boleh terlalu lama ngelihat dan nyeseli satu pintu yang tertutup, akhirnya buat kita nggak ngelihat pintu-pintu lain yang terbuka,” kata Teguh, setelah ia berdiam beberapa saat.


“Kalau soal optimis, ya teteplah, Guh. Cuma kan, kadangkala kita sering ngalami kegalauan yang nggak jelas alurnya. Kita harus akui itu. Makanya, perlu kata-kata memotivasi buat diri sendiri. Kalau kemudian apa yang kita sampein itu bisa memotivasi orang lain, namanya bonus,” ucapku, dan tetap tertawa.


Karena keasyikan berbincang ringan, kami tidak menyadari bila sejak tadi ada seorang sipir berdiri di belakang tempat kami duduk. Ternyata sipir Fani.


“Oh, siap, dan. Maaf nggak ngelihat,” kata Teguh, yang menyadari adanya sipir berdiri di belakang kami yang duduk ndeprok di tepian taman.


“Maaf, Fani. Keasyikan ngobrol sampai nggak tahu kamu sudah berdiri disitu,” ujarku, dan berdiri untuk menyalaminya.


“Santai aja sih, bang. Aku seneng kok denger obrolannya. Ngisi omongannya. Nambah pengetahuanku juga,” sahut sipir Fani, seraya tersenyum.


“Obrolan kosong aja, Fani. Namanya juga omongan pengangguran kelas berat,” kataku, juga sambil tersenyum.


“Jujur, bang. Aku seneng dengerin obrolan kawan-kawan dari kamar 30. Banyak isinya, nggak ngobrol kosong aja. Keluar dari sini, pasti bakal nambah wawasan dan pengalaman. Jadi semakin pinter,” jelas sipir Fani dengan polos.


“Asal jangan kepinterannya buat minterin orang aja ya, dan,” celetuk Teguh, dan tertawa ngakak. 


“Inshaallah nggaklah. Kalian kan sudah ngalami gimana pedihnya masuk bui, masak iya mau ngulanginya. Jadiin ini pengalaman sangat berharga untuk hindarinya di hari-hari mendatang,” tutur sipir Fani, dengan penuh kesungguhan.


“Inshaallah, kami bakal jadi orang baik-baik kok, dan,” kata Teguh, dengan nada bergetar. 


“Yang penting kesungguhan niat aja. Semua kita pasti pernah berbuat salah dan khilaf. Temui dan akui itu semua, serta jangan lakuin lagi. Kuncinya cuma itu kok,” tutur sipir Fani lagi.


“Siap, dan. Terimakasih perhatiannya,” sahut Teguh, dan membungkukkan badannya. Memberi hormat.


Sipir Fani tersenyum. Petugas penjaga tahanan ini memang dikenal low profile dan bersahaja. Sehingga sangat wajar ia disegani oleh semua warga binaan. (bersambung)

LIPSUS