Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI melaksanakan solat Subuh yang hampir melewati waktunya di atas kasur, aku membaca surah Yasin. Menguntai doa khusus untuk anakku Bulan dan Halilintar yang memasuki masa ulangan di sekolahnya. Aku meyakini betul jika kedua buah hati dan kebanggaanku tersebut akan diberi kemudahan dan kelancaran dalam menjawab soal-soal yang diberikan gurunya.
“Sudah mau ngopi apa belum, om. Mumpung airnya masih panas,” kata pak Ramdan saat melihatku telah melipat kain sarung.
“Boleh buatin sekarang aja, pak. Nggak apa-apa agak lamaan baru aku minumnya,” sahutku, dengan santai.
“Jangan biasin minum kopi kalau sudah dingin, om. Malah bikin penyakit. Magh minimal,” ucap pak Ramdan, dan menatapku.
Aku langsung terdiam. Menyadari bila selama ini aku teramat sering meminum kopi pahit yang telah dingin. Dan, semaleman tidak nyenyak tidur akibat perut mules dan melilit, bisa jadi karena telah terserang penyakit magh juga.
“Jadi nggak baik ya pak, kalau minum kopi yang sudah dingin itu?” tanyaku kepada pak Ramdan, meminta kepastian.
“Iya, om. Nggak baik buat kesehatan kalau minum kopi dalam kondisi dingin. Makanya aku tanya tadi. Kalau om sudah mau minum kopi, aku tuangin air panasnya. Tapi kalau masih mau nanti, ya nanti aja aku buatinnya,” jelas pak Ramdan.
Tanpa menjawab lagi perkataan pak Ramdan, aku menuju ruang depan. Duduk berselanjar kaki di dekat pintu kamar. Pak Waras yang tengah asyik membaca buku, sempat menatapku. Sesaat. Aku tetap menemukan ada kilat keprihatinan dari tatapannya.
Pak Ramdan menaruhkan secangkir kopi panas di dekat tempatku duduk. Kembali aku melihat pak Waras menatapku.
“Kok dari pagi tadi tatapannya kayak sedih gitu sih ngelihat aku, pak,” ujarku kepada pak Waras.
Pak Waras tersenyum, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan perlahan ia menutup buku yang ada di tangannya. Yang entah sejak kapan ia mulai membacanya.
“Aku ngerasain kalau babe lagi galau berat. Ada apa? Apa karena nanti mau sidang penyampaian tuntutan? Babe harus yakin, jangan naif,” kata pak Waras, dengan nada kalem.
“Sebenernya nggak ada galau-galau juga sih, pak. Cuma karena sejak kemarin perutku mules dan terus kerasa ngelilit, jadi buat badan nggak nyaman,” sahutku, juga dengan nada santai.
“Setahuku ini ya, be. Kalau terlalu berat mikirin atau nyimpen sesuatu, seseorang akan kena serangan di lambungnya, be. Ya mules dan melilit itu di antara tandanya,” kata pak Waras lagi.
“O gitu ya, pak. Tapi aku nggak galau kok. Kalau soal sidang nanti, paling juga dituntut empat tahun, itu kalau jaksanya sampein sesuai dengan ancaman hukuman maksimal dalam kasus yang didakwainnya, yaitu penipuan dan atau penggelapan. Kalaulah iya akhirnya jaksa nuntut maksimal, paling putusan juga sekitar tiga tahun atau dua setengah tahun, pak. Sampai sekarang, aku sudah masuk enam bulan jadi tahanan. Jujur ya, kalau soal lamanya di penjara sih nggak aku pikirin, nanti juga selesai dengan sendirinya,” ujarku, panjang lebar.
“Ya syukur kalau gitu, be. Aku nerawang lewat wajah babe aja sih, kok kelihatan lagi ada kegalauan yang gitu dalem. Aku inget hari ini babe mau sidang, makanya aku kaitin kesana,” tanggap pak Waras.
“Maaf ya, pak. Di penjara ini terkadang raut wajah seseorang itu nutup dengan rapat sesuatu yang sebenernya lagi dia rasain. Bahkan kebanyakan malah berbanding terbalik. Yang kelihatan ceria, sebenernya jiwanya lagi nangis. Yang murung, malah hatinya riang-gembira,” kataku, seraya tersenyum.
“Kok babe bisa nyimpulin gitu, kenapa?” tanya pak Waras.
“Dunia penjara kan emang berbanding terbalik dengan dunia yang sebenernya, pak. Ibaratnya, penjara kan dunia dalam dunia. Jadi nggak usah heran kalau yang tertawa ceria itu ekspresi dari jiwa yang lagi nangis pilu. Yang berurai air mata ternyata wujud rasa syukur karena hidup di bui nggak sesusah yang dibayangin orang di luar,” uraiku, tetap dengan tersenyum.
“Bener kata orang, sesulit apapun kondisi kalau kita tetep tenang, semua akan baik-baik aja. Aku seneng, babe sudah nemuin ketenangan itu. Yang penting tetep yakin dan jangan naif,” kata pak Waras, seusai ia menyeruput teh manis yang ada di depan tempat duduknya.
“Maksudnya apa sih, kok dari tadi ngomong soal yakin dan jangan naif itu, pak?” tanyaku, penasaran.
“Nggak tahu kenapa aku pengen nyampein soal itu ke babe. Aku cuma berharap, babe bisa bedain antara yakin dan naif,” jawab pak Waras, dengan santai.
“Coba jelasin sih pak, biar aku paham,” kataku penuh harapan.
“Yakin itu semangat hati yang membersamai kebenaran, be. Kalau naif, hawa nafsu yang dicariin pembenaran. Babe harus pahami bener bedanya,” jelas pak Waras.
“Kenapa aku harus mahami bedanya ya, pak?” tanyaku, semakin penasaran.
“Konkretnya aku nggak tahu juga, be. Tiba-tiba aja ada gerakan di hati buat nyampein soal yakin dan naif ke babe. Mungkin kaitannya sama kasus babe kali, atau apalah. Aku sendiri nggak mudeng,” ucap pak Waras dengan menggaruk-garuk kepalanya.
Aku terdiam. Pikiranku berputaran. Mencoba mencari ketersambungan atas apa yang dikatakan pak Waras soal yakin dan naif. Soal semangat hati yang membersamai kebenaran, dan hawa nafsu yang dicarikan pembenaran.
“Aku paham maksudnya, pak,” ucapku, setelah berpikir beberapa saat.
“Paham gimana, be?” tanya pak Waras.
“Ya yang tadi pak Waras bilang itu, soal yakin dan naif. Intinya, aku harus bertahan dengan keyakinan kebenaran yang sebener-benernya, apapun risikonya. Dan nyadari kalau ada ke-naif-an yang mengancamku,” kataku, mengurai.
“Oh gitu ya, be. Syukur kalau babe sudah bisa mahami sendiri. Aku pesen, tetep hati-hati dan jangan ragu-ragu,” ucap pak Waras, menimpali.
“Maksudnya, pak?” tanyaku, dengan cepat.
“Babe tahu nggak hati-hati itu apa? Hati-hati itu keberanian ngelangkah dengan nyadari bener adanya bahaya, sedangkan ragu-ragu pada dasarnya kita nggak punya keberanian buat ngelangkah. Kalau gitu, jimat babe ya yakin sama hati-hati itulah. Sudah, Bismillah aja ngadepi apapun juga,” jawab pak Waras, kali ini suaranya penuh ketegasan.
Kembali aku hanya terdiam. Mengurai dengan perlahan penuturan pria yang dikenal sebagai ustadz kampung itu. Teringatlah aku akan pesan seorang sahabat: Yang tidak ditakdirkan buatmu akan menemukan caranya untuk hilang, yang ditakdirkan buatmu akan menemukan jalannya untuk pulang, dan yang buruk sengaja Tuhan lepaskan agar yang baik mempunyai kesempatan untuk datang. (bersambung)