Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 453)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 29 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEORANG tamping regis datang ke kamar. Memberitahuku, juga Teguh, bila siang ini ada sidang. Aku segera berkemas. Menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hadir di persidangan dan duduk di kursi pesakitan.


Mulai dari pakaian lengan panjang warna putih, celana panjang kain warna hitam, sepatu hitam, kopiah hitam. Hingga buku kecil sebagai tempat mencatat beserta sebuah pulpen, ditambah kacamata baca.


“Kita cepetan mandi ya, ayah,” kata Teguh, setelah melihatku menyelesaikan persiapan untuk mengikuti persidangan.


“Kamu aja mandi duluan, nanti baru aku,” sahutku, dengan santai.


Dan seperti biasa, sekitar pukul 11.00, aku telah keluar kamar untuk melapor di pos penjagaan dalam. Kali ini, bersama Teguh. Tahanan kasus narkoba dengan barang bukti tidak kurang dari enam kilogram. 


“Aku deg-degan lo, ayah,” bisik Teguh, ketika kami keluar pintu utama Blok B untuk menuju pos penjagaan dalam.  


“Biasa itu, Guh. Semua orang yang baru pertama kali akan sidang, pasti rasanya nggak karuan. Masih bagus kamu cuma deg-degan, nggak sampai nervous atau nangis,” jawabku, tetap dengan santai.


“Emang ada yang sampai nangis, ayah?” tanya Teguh, sambil mengernyitkan dahinya.


“Ada, Guh. Aku pernah ngelihat kok. Kamu tetep usahain buat santai ya. Ini emang proses yang harus dilakoni, ikuti aja alurnya. Kan gitu pesen kap Yasin,” ujarku.


“Iya, ayah. Aku tetep usahain buat santai. Tapi, nanti pas di sel sebelum dan sesudah sidang, kita nggak samaan ya, ayah,” kata Teguh lagi.


“Maksudmu gimana?” tanyaku.


“Aku denger, gitu sampai gedung pengadilan, ayah nggak pernah masuk sel sementara kayak yang lain. Ayah ada sel sendiri di bagian belakang. Ayah bisa ketemu dan ngobrol sama keluarga, sampai waktunya balik ke rutan. Bener nggak sih itu, ayah,” urai Teguh.


Aku tersenyum. Ku tepuk pipi anak muda berusia di bawah 30 tahun dengan wajah ganteng dan postur tinggi besar itu.


“Ini kan sidangku yang pertama, ayah. Kalau bisa, aku pengennya ada ayah dampingiku, jadi bisa tenang hatiku,” kata Teguh, setelah berdiam beberapa saat.


“Kita kan sidangnya samaan sih, Guh. Soal nanti disana ruangan kita pisah atau satu ruangan, yang ngatur kan orang pengadilan. Kita nggak punya kuasa apa-apa buat nentuinnya. Ya jalani ajalah. Toh, nanti kita pasti bareng juga baliknya,” ujarku, tetap dengan nada santai.


“Kok ayah bisa misah sel dengan yang lain gitu ya selama ini di pengadilan. Gimana caranya,” lanjut Teguh, penasaran.


“Adekku yang ngaturnya, Guh. Adek kandung istriku. Aku cuma ikuti aja. Gimana caranya, aku nggak paham,” jawabku, dengan tersenyum.


Hari itu ada 45 orang tahanan yang akan mengikuti persidangan. Setelah semua hadir di depan pos penjagaan dalam, proses absensi dilakukan. Dan dilanjutkan dengan keluar area steril, untuk melapor lagi di pos penjagaan luar. Seusai dilakukan pemeriksaan akhir di ruangan P-2-O, satu persatu kami menaiki mobil  tahanan. Dalam pengawasan ketat aparat dari Kejaksaan Negeri dan dua anggota Polri bersenjata laras panjang.


Aku mengajak Teguh duduk di kursi yang biasa aku tempati. Membelakangi pengemudi. Ketika aku pegang, badan anak muda yang selalu ceria ini, terasa dingin. 


“Kamu kenapa, Guh? Lagi nggak sehat atau takut?” tanyaku dengan pelan.


“Deg-degannya makin kenceng, ayah. Nervous aku,” jawabnya, juga dengan pelan.


Aku mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Langsung ku berikan kepada Teguh. Sambil tersenyum, ia menghisap rokok pemberianku dengan perlahan.


“Terimakasih terapinya ya, ayah,” ucap dia dengan pelan, seraya tersenyum.


Dua mobil tahanan yang membawa kami mulai meninggalkan area rutan. Suara sirinenya yang khas, langsung membahana. Dan ketika telah memasuki jalan raya, kencang sekali laju kendaraan yang mengangkut 45 tahanan tersebut. Tidak sampai 40 menit kemudian, kami telah memasuki kompleks Pengadilan Negeri.


Dari balik jendela mobil tahanan yang dilapisi jeruji besi, aku melihat istriku Laksmi, adikku Laksa, juga pengacaraku Makmun dan timnya, telah menunggu kedatanganku. 


Baru saja kakiku menginjak tanah, istriku Laksmi langsung berlari. Memelukku penuh dengan kerinduan berbalut kesedihan. Diikuti Laksa. Bergandengan tangan dengan istri, aku menuruni anak tangga untuk memasuki area penahanan sementara sebelum memasuki ruang persidangan.


“Kamu baik-baik ya, Guh. Tetep dibawa santai,” kataku kepada Teguh yang menatapku saat berjalan dengan istriku Laksmi.


Aku meminta rokok kepada adikku Laksa, dan memberikannya kepada Teguh, yang akan memasuki sel sementara bersama 44 tahanan lainnya. Ngumplek di dalam ruangan berukuran sekitar 6 x 8 meter. Menunggu giliran mengikuti persidangan.


“Siapa anak muda tadi itu, kak?” tanya Laksa, saat kami berjalan menuju ruangan khusus yang biasa menjadi tempatku transit selama di gedung Pengadilan Negeri.


“Namanya Teguh, dek. Sekamar sama kakak. Dia satu-satunya kawan sekamar yang memanggil kakak dengan sebutan ayah, karena nurut dia, gaya kakak seperti ayahnya,” jelasku, seraya tersenyum.


“Kenapa kakak kasih dia rokok, memangnya dia nggak bawa?” tanya Laksa lagi.


“Dia agak galau, dek. Karena ini sidang pertamanya. Dia butuh penyaluran rasa tidak percaya dirinya, maka kakak minta rokok kamu buat dia tadi. Sebenernya dia perokok berat, cuma lupa bawa karena dia nggak tenang itu, dek,” ucapku.


“Apa kasus si Teguh itu, ayah?” giliran istriku bertanya.


“Penyelundupan narkoba enam kilogram, bunda,” sahutku.


“Subhanallah. Masih muda gitu sudah jadi bandar narkoba kelas berat ya. Kok bisa gitu, padahal kelihatannya dia anak terpelajar,” tanggap istriku, penuh keheranan.


“Kita nggak pernah tahu gimana sebenernya seseorang, bunda. Teguh itu emang terpelajar. Sarjana dan lagi ambil S-2 juga. Orang tuanya termasuk mampu dan terkenal di daerahnya. Cuma, ya inilah lelakon kehidupan yang dia pilih,” kataku.


Setelah kami berada di dalam ruangan khusus pada bagian belakang area penahanan sementara bagi tahanan yang akan bersidang, aku segera berwudhu. Solat Dhuhur. Diikuti Laksa. Baru istriku mengeluarkan makanan yang dibawanya.


Sambil makan siang, pengacaraku Makmun memintaku untuk tetap tenang dan mengendalikan perasaan pada sidang yang akan segera digelar. 


“Agendanya hari ini penyampaian tuntutan. Segala kemungkinan terjelek bisa saja terjadi. Aku minta Mas Mario tetep tenang. Kita punya kesempatan nyampein pledoi. Pembelaan. Nanti secara pribadi, Mas juga buat pembelaan, selain kami selaku tim pengacara,” tutur Makmun, dengan kalem.


“Iya, aku tetep tenang kok. Mau apa juga yang terjadi, jiwa ini sudah ikhlas nerimanya. Yang penting, secara lahiriyah kita tetep ikhtiar nyampein kebenaran. Kalau pun akhirnya nanti majelis hakim nggak mau nerima kebenaran yang kita sampein, di akherat mereka akan nemuin kebenaran yang hakiki,” jawabku, dengan santai. Dan tetap menikmati makan siang yang dibawakan istriku Laksmi.  (bersambung)

LIPSUS