Cari Berita

Breaking News

Bambang Eka Wijaya, Ayah yang Selalu Kami Rindukan

Dibaca : 0
 
Senin, 13 Maret 2023

 


Oleh, Oyos Saroso H.N.

Jika saya ditanya: siapakah tokoh pers Indonesia yang memberimu inspirasi untuk tetap bertahan menjadi jurnalis? Maka jawaban saya adalah: Pak Bambang Eka Wijaya (BEW). Jawaban itu bukan karena saya pernah menjadi anak buah Pak BEW di Harian Lampung Post dan beliau menjadi ayah ideologis saya, tetapi lantaran Pak Bambang adalah satu-satunya tokoh pers nasional  yang mudah saya ikuti sepak terjangnya dan rekam jejaknya dalam dunia jurnalistik. Ia tetap menulis sampai akhir hayatnya.


Kami yang pernah menjadi wartawan Lampung Post pada akhir 1980-an dan era 1990-an merasakan bagaimana hangatnya sapaan Pak BEW. Kami dengan Pak BEW tidak berjarak. Ia seperti ayah sendiri bagi kami, para wartawan yang usianya jauh di bawahnya. Ia guru bukan saja terkait jurnalistik, tetapi guru dalam bersikap terhadap kekuasaan.


Di antara rekan redaktur Lampung Post pada era akhir 1990-an, mungkin sayalah yang paling sering harus berkomunikasi dengan Pak BEW. Hal itu karena sebagai redaktur opini saya harus menjadi 'penjaga gawang' tulisan-tulisan views (kolom) Pak BEW yang terkadang 'liar'. Sebagai 'penjaga gawang', saya tidak ingin Lampung Post ceroboh meloloskan tulisan Pak BEW yang berpeluang membuat Lampung Post bernasib seperti media yang harus dibreidel atau bermasalah dengan hukum lantaran tulisan Pak BEW yang terlampau kritis terhadap penguasa.


Soal Pak BEW pernah masuk jeruji besi karena tulisannya dan kisah-kisah heroik Pak BEW di Medan dan Jakarta terkait tulisan dan sikapnya benar-benar membuat saya harus 'waspada'. Untungnya, Pak BEW hampir selalu mengingatkan saya soal tulisannya yang esok hari akan diterbitkan Lampung Post.


"Yos, baca Buras sekian!" kata Pak BEW, begitu masuk ke ruang redaksi tiap malam.


Pak BEW selalu menulis bahan tulisan Buras --  kolom khusus yang ditulis Pak BEW di Lampung Post -- dengan daftar huruf. Dari Buras 001 hingga Buras 100, Buras 200, dan seterusnya. Awalnya kolom Buras hanya terbit tiap hari Minggu. Namun, karena kami menilai sayang jika tulisan bernas, menggelitik, dan terkadang lucunya minta ampun itu hanya dinikmati pembaca seminggu sekali. Akhirnya, disepakati Buras hadir tiap hari. Pak BEW pun harus menulis Buras setiap hari!


Sebagai wartawan kawakan dan kaya pengalaman, tentu bukan masalah besar bagi Pak BEW untuk menulis setiap hari. Namun, menulis kolom setiap hari sejak 20 Mei 1998  sampai pensiun bahkan hingga pascapensiun sebagai wartawan (karyawan Lampung Post) hingga akhir hayat dengan kualitas yang terjaga, bukan perkara mudah. Dan itu bisa dilakukan Pak BEW. Energi dan daya kreatif itulah yang kemudian Pak BEW mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai penulis kolom paling produktif.


Terkadang ketika menyuruh saya membaca Buras yang akan terbit esok hari, Pak BEW menceritakan isi Buras sambil terkekeh atau tertawa terbahak-bahak. Itu jika isi Buras ada unsur lucunya. Unsur lucu itu biasanya dipakai Pak BEW untuk menyamarkan kritik halus atau kritik keras.


Beberapa kali saya pernah minta Pak BEW untuk mengganti kata atau istilah atau kalimat yang nuansanya agak 'membahayakan'. Untungnya, Pak BEW selalu mau mengikuti masukan saya sehingga amanlah Lampung Post.


Meskipun produktik menulis dan selalu bersemangat menulis kolom, ada juga saat Pak BEW 'malas' untuk menulis. Saat itu adalah ketika K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI lewat proses yang menegangkan dan kontroversial. Bukan soal proses terpilihnya Gus Dur yang membuat Pak BEW  agak malas menulis, tetapi lantaran beliau merasa bahwa dengan Gus Dur (tokoh demokrasi, budayawan, kyai) maka penulis yang selama ini suka melancarkan kritik terhadap penguasa seperti 'mati angin'.


"Waduh, kita mati angin Yos!" kata Pak BEW sambil terkekeh sebentar kemudian menjelaskan apa makna 'mati angin' bagi 'tukang kritik' lewat tulisan.


Selalu ceria, berkawan hangat, tidak suka menjadi citra diri (image), bisa tertawa lepas dan melupakan bahwa dirinya bos bagi ratusan anak buahnya, menghargai kemampuan anak buahnya, dan bisa nguwongake (memanusian manusia) adalah ciri khas Pak BEW yang tidak bisa kami lupakan. Kami tetap menjadi anak-anak Pak BEW meskipun sudah tidak satu gerbong lagi dalam biduk perusahaan pers. Dan menariknya, ia bukan saja ayah  ideologis bagi kami yang pernah bersinggungan secara langsung. Pak BEW juga menjadi ayah ideologis bagi banyak jurnalis di Lampung dan Sumatera Utara.


Senin siang, 13 Maret 2023 pukul 13.25 WIB, Pak Bambang Eka Wijaya wafat dengan tenang. Ia diantar para  sahabat dan banyak anaknya menuju peristirahatannya yang terakhir. Semoga amal jariyah Pak BEW di dunia jurnalistik dan  sosial menjadi penerang menghadap Allah SWT.(*)

LIPSUS