Cari Berita

Breaking News

Hari Puisi Sedunia: Apa Kabar Puisi di Tanah Air?

Selasa, 21 Maret 2023





Oleh Isbedy Stiawan ZS



Hari Puisi Sedunia (World Poetry Day) yang ditetapkan UNESCO setiap 21 Maret sejak 1999 rasa-rasanya gaungnya hanya di kalangan sastrawan.

Negara, khususnya Indonesia, mungkin tak mengenal perayaan puisi sedunia ini, wajar kalau tak terjadwal baik dalam agenda pemerintah. Baik di pusat, apatah lagi di tingkat daerah.

Adem ayem! Kesan itu yang sangat terasa. Padahal, selain Hari Puisi Sedunia tiap 20 Maret, di Indonesia ada pula Hari Puisi Indonesia yang jatuh pada bulan Juli bertepatan hari lahir penyair Chairil Anwar yang digagas di Riau, selain Hari Puisi Nasional yang dicanangkan pemerintah tiap bulan April yang merujuk hari wafat Chairil Anwar.

Di sejumlah negara merayakan World Poetry Day sebagai bentuk penghargaan terhadap karya puisi. Puisi sebagai eksplorasi dari kondisi dan emosi melalui kata-kata, semestinya dirawat dan dihidupkan terus dalam diri anak bangsa. 

Hampir setiap perjusngan bangsa di dunia, peran penyair (sastrawan) sangat penting. Sebut saja Mohammad Iqbal, yang berjuang untuk Pakistan. Muhammad Yamin, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rifai Avin, dll. di Indonesia. 

Para penyair (sastrawan) itu berada di depan memerjuangkan kemerdekaan dan kebebasan umat manusia. 

Maka tak berlebihan apabila UNESCO menetapkan Hari Puisi Sedunia setiap 20 Maret. Hal ini untuk merayakan bentuk ekspresi, identitas, budaya, dan bahasa manusia dalam karya sasta puisi. 

Sayangnya, ekspresi manusia dalam puisi nyaris terabaikan. Bahkan di Indonesia yang notabene menjunjung peradaban (budaya) adiluhung. Karya sastra "disingkirkan" bahkan sejak di bangku sekolah. Pelajaran karya satra terlalu sedikit dibanding dengan pengajaran bahasa. Padahal tulangpunggung sastra adalah bahasa. Dengan sastra yang baik, niscaya pemakaian bahasa pun akan baik pula.

Tantangan pemajuan karya sastra (puisi) kini sangat besar. Media massa (cetak) yang kini satu demi satu runtuh oleh kejayaan gempuran internet (online) yang telah masuk ke ruang privasi manusia, serta menggusur rubrik-rubrik sastra di sana. 

Seorang kritikus terkemuka H.B. Jassin pernah melaungkan bahwa sebuah media massa tanpa adanya ruang budaya adalah 'barbar'. Kenyataannya kini, bukan saja ruang budaya tergusur melainkan bersama-sama medianya!

Media online yang memiliki adagium bahwa setiap peristiwa semakin cepat sampai ke pembaca lebih baik dan dianggap keberhasilan, kian melupakan karya puisi.

Harapan kita, negara (pemerintah) harus hadir dalam keterpencilan sastra di masyarakat. Seperti kehadiran negara di kancah politik, ekonomi, olahraga, maupun agama sekalipun. 

Kita tak menginginkan dua kali harus membayar dalam membangun bangsa yang beradab dan penuh toleransi, seperti yang telah terjadi di negara ini. Yakni kerusuhan antaretnis dan suku. 

Sebab, ada yang lupa dalam keberbangsaan ini; kita satu bangsa, bahasa, dan tanah air. Sumpah Pemuda yang teksnya dikonsep salah satunya sastrawan: Muhammad Yamin itu.

Pemerintah memunyai "perpanjangan tangan" dalam memajukan kesenian, maka berdayakan itu. Bukan cuma untuk pajangan atau pameran bahwa negara merasa sudah peduli bagi kemajuan -- dalam hal ini karya sastra -- sementara realitanya nihil. Belum menyentuh esensial sebagaimana terkandung dalam lirik lagu "Indonesia Raya": bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. 

Jiwa dulu yang semestinya dibangunkan, dijayakan, diutamakan. Artinya, nilai spritual (hati) yang diutamakan bagi manusia agar keseimbangan hidup.  Sesudahnya, "bangunlah badannya". Di sini, pembangunan fisik -- otot -- dilakukan. Atau kedua-duanya sekaligus: bangun jiwa dan bangun badannya.

Momen Hari Puisi Sedunia tahun 2022, mari kita berkemas untuk menata puisi menjadi bagian penting pula dalam gemuruh perpolitikan yang siap-siap menuju Tahun Politik. Keriuhan politik mesti diimbangi katarsis puitik. 

Salam. *


*) Isbedy Stiawan ZS adalah penyair nasional asal Lampung.

LIPSUS