Cari Berita

Breaking News

Remah-remah dari 'Baralek Gadang' IMLF di Agam

Kamis, 02 Maret 2023



Oleh Jonminofri Nazir


SUMATERA Barat baralek gadang 22-27 Februari 2023 lalu. Nama perhelatannya IMLF (International Minangkabau Literacy Festival). Tamunya 200 orang, datang dari 12 negara. Penyelenggaranya, Satupena Sumbar yang dipimpin oleh Sastri Bakry.

Acara berskala internasional ini diselenggarakan di Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, berjarak 10 Km dari kota Bukittinggi. Tepatnya di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Regional Bukittinggi. Tempatnya asyik, pemandangan alamnya indah, fasilitas gedung lengkap. Dan, ini yang penting: makanan Minang selalu enak, dan banyak pilihan. Peserta asing juga memuji sajian Minang ini. Suhu udara, di kota yang berada 725-1525 meter di atas permukaan laut, mencapai 19°C derajat, lebih rendah 1° dibandingkan suhu biasanya. Saat itu suhu lebih dingin karena hujan lebat. Pagi hari, peserta disambut oleh kabut yang menghalangi mata melihat ke arah gunung Merapi.

Selain sajian untuk mata dan perut, panitia menggelar aneka diskusi dan lokakarya, serta berbagai lomba untuk warga Baso, tempat IMLF digelar. Pada sesi diskusi, pembicaranya adalah akademisi atau pakar di bidangnya, termasuk para Indonesianis dari Rusia, Australia, dan lainnya. 

Sepanjang acara yang berlangsung lima hari, panitia menggelar pameran lukisan. Peserta DR Reshma Ramesh, perempuan India yang cantik,  menyajikan karya fotografi hitam putih di lobi ruang seminar. Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA mengirimkan 15 karya lukisan modern. Lukisan ini menarik perhatian pengunjung karena dihasilkan dengan  menggunakan teknologi artificial intelligence. 

Tiga pelukis lain Minda Sari (Padang), Herisman Is (Pekanbaru), dan Nazhatulshima Nolan (Malaysia), menampilkan karya lukisan konvensional. 

Untuk semua kemewahan itu, setiap peserta IMLF  memang harus membayar  Rp1 juta. Saya sempat terkejut melihat angka sejuta rupiah pada pengumuman yang dipasang di WAG dua bulan sebelum hari acara. Murah sekali. Di dalamnya, termasuk biaya penginapan, transportasi selama di Sumbar, serta makan 3 kali sehari. Normalnya, sejuta rupiah itu hanya cukup untuk satu hari untuk membayar hotel Grand Basko Padang (hotel bintang lima)  pada hari pertama, makan tiga kali, dan transportasi lokal. 

Spontan saya mengambil kesimpulan: tentu IMLF ini banyak mendapatkan sponsor dalam jumlah besar, setidaknya dari Pemda Sumbar. Dugaan ini masuk akal karena  IMLF sejatinya juga berfungsi sebagai media promosi pariwisata bagi Sumbar, terutama untuk Baso, Agam, dan Bukittinggi. Saya berpikir tentu saja Pemda setempat ringan tangan mengguyur dana dalam jumlah besar untuk mendukung IMLF yang bisa mengangkat nama Sumbar yang indah di mata pariwisata. 

Ternyata dugaan saya keliru besar. Tidak ada sponsor. Bahkan, Pemda Sumbar sampai tingkat  Bupati Agam tidak memberikan uang kepada panitia untuk festival internasional ini. 
Saya berbicara dengan tiga panitia inti IMLF, Sastri Bakry, Armaidi Tandjung, dan Yurnaldi, untuk mencari tahu bagaimana cara mereka menggelar perhelatan besar ini tanpa modal sama sekali. Intinya adalah Satupena Sumbar ketika itu hanya mempunyai konsep, dan mereka yakin bisa mewujudkannya.. 

Di sinilah kesulitannya muncul. Sebab, Pejabat Pemda yang mereka ajak bicara tidak mempunyai keyakinan yang sama dengan panitia bahwa acara ini bisa digelar. Mereka ragu  peserta dari luar negeri mau datang. Dan, ini yang gawat: Tidak terlintas di benak mereka bagaimana mengadakan uang Rp700 juta untuk program yang tidak masuk dalam daftar anggaran yang disusun setahun sebelumnya. Singkat cerita, Pemda tidak memberikan respon positif. Bahkan, mereka cenderung menolak gagasan besar dari Satupena Sumbar ini. 

Satu hal yang membuat panitia bisa bernafas sedikit adalah janji dari Satupena Pusat: Perkumpulan penulis ini akan membantu Rp100 juta untuk Satupena Sumbar. Janji ini memang melegakan dan menerbitkan harapan. Tapi Sastri, Armaidi, dan Yurnaldi tetap khawatir sebab uang Rp100 juta itu turun tidak secepat yang mereka harapkan. 

Acungan jempol pantas diberikan kepada Sastri, ketua Satupena Sumbar. Dia berkeliling ke Pemda Sumbar,  Bupati Agam, dan tentu saja ke Kementerian Dalam Negeri untuk pemakaian semua fasilitas PPSDM Regional Bukittinggi, tempat utama IMLF. Sastri bersama tim Satupena Sumbar menyiapkan skim yang masuk akal agar pemda yakin dan bersedia membantu tanpa mengubah mata anggaran yang sudah ada.. 

Sastri menjelaskan skim kerjasama kepada semua pejabat yang terkait. Kata Sastri, mereka tidak perlu mengeluarkan uang. Cukup mengizinkan fasilitas yang sudah tersedia dipakai dengan gratis, dan menyiapkan makanan untuk 200 peserta jika berkunjung ke instansi di Sumbar.

Penjelasan Sastri mampu mengubah keyakinan para pejabat ini. Sehingga acara pembukaan IMLF  bisa digelar di kantor Gubernur Sumbar, di Kota Padang, lengkap dengan makan malam. Pada kesempatan ini, Ketua Umum Satupena Denny JA, dalam pidato kebudayan, menyampaikan gagasan agar pemerintah menyisihkan 1% dari anggaran digunakan untuk diplomasi budaya nusantara ke tingkat dunia.

Hari selanjutnyanya, giliran Walikota Padang Panjang meminjamkan tempat PDIKM,  dan mentraktir 200 peserta makan siang di Sate Mak Syukur di Padang Panjang, sate yang amat terkenal sampai ke Jakarta.

Perundingan dengan pengelola Istana Bung Hatta juga alot awalnya. Pada akhirnya mereka dengan senang hati menjamu 200 tamu, yang diawali dengan presentasi tentang Moh Hatta, Istana Bung Hatta, serta Fasilitas Perpustakaan di tempat ini, dan lainnya. 

Acara selanjutnya, yaitu menu utama IMLF (hingga hari terlahir) berlangsung di komplek PPSDM milik Kementerian Dalam Negeri Regional Bukittinggi. Kompleks PPSDM ini mempunyai asrama 3 lantai dengan fasilitas seperti hotel yang mampu menampung 500 orang untuk menginap.

Di akhir acara semua yang terlibat tampak bahagia. Bahkan Bupati Agam mengatakan, dia mengundang peserta asing untuk datang kembali ke Agam, dan dia sendiri yang akan menjadi pemandu wisata. Katanya, banyak sekali tujuan wisata yang indah belum dikunjungi oleh para peserta IMLF ini. 

Tentu saja tidak semua senang dan menerima dengan hati gembira perhelatan IMLF ini, termasuk para penyair/penulis di Indonesia, termasuk di Sumbar. Syarat membayar Rp1 juta per peserta tentu berat bagi sebagian peminat festival ini. Belum lagi biaya tiket dari kota masing-masing harus ditanggung peserta. Akibatnya beberapa penulis merajuk karena tidak bisa ikut karena panitia tidak membiayai ongkos perjalanan.. 

Armaidi dan Yunardi menjelaskan, uang pendaftaran dan bantuan  yang terkumpul digunakan untuk membayar makan peserta selama di PPDSM, hotel untuk peserta di Padang, biaya minyak (istilah BBM untuk Sumbar), supir, produksi kaos, honor pembicara dan penampil 42 orang masing-masing Rp1 juta, dan biaya lainnya. 

Selain bersenang-senang, IMLF ini melahirkan 21 butir resolusi yang dibacakan saat penutupan acara. 

Apa yang bisa dipetik dari perhelatan IMLF di Agam ini bagi pengurus Satupena daerah atau bagi siapa saja yang ingin menggelar perhelatan internasional di daerah masing-masing? Jawabannya adalah mereka bisa meng-copy cara pembiayaan yang dilakukan oleh Sasri Bakry dan kawan-kawan Satupena Sumbar.(*)

LIPSUS