Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI menikmati makan malam bersama, seperti biasanya, kami bercengkrama di ruang depan. Ditemani minuman hangat dan camilan. Saat itulah kap Yasin menanyakan perkembangan proses perkaraku, juga Teguh yang memasuki babak pertama persidangan kasus yang melilitnya.
“Aku dituntut tiga tahun, kap. Kamis nanti sampein pledoi pribadi, juga pengacaraku,” jelasku.
"Ada pendekatan ke hakim lewat jaksa nggak om?” tanya kap Yasin.
“Sebenernya, sejak awal jaksa beberapa kali kasih sinyal sih, kap. Buka kesempatan kalau mau main. Tapi aku nggak mau, istri dan keluarga juga dukung sikapku,” kataku.
“Kenapa gitu, om. Om perlu tahu aja ya, bisa dibilang mayoritas orang yang lagi disidang, pasti main. Cuma hitungan jari dari ratusan orang yang nggak main. Bahkan, nggak dibuka kesempatan aja, berusaha gimana caranya bisa ada pintu buat ngatur keringanan vonisnya. Ini sudah dikasih sinyal, kok malah nolak,” Anton menyela dengan suara serius.
“Ini soal pilihan aja kok, Ton. Aku sama istri mandang, kasusku ini sebagai bagian penting buatku nebus kesalahan. Sekaligus kesempatan perbaiki diri. Nah, dengan pandangan kayak gitu, rasanya jadi aneh kalau aku kotori proses penebusan kesalahan ini dengan lakuin hal-hal yang nggak pas. Aku bakal ikuti semua ini apa adanya. Biar ngalir aja. Yang penting, tetepku sampein kebenaran yang sebener-benernya waktu pembelaan nanti,” ujarku, panjang lebar.
“Jadi om bener-bener nggak mau manfaatin sinyal yang dikasih jaksa?” kap Yasin bertanya.
“Nggak, kap. Walau salah satu jaksanya adek kelas istriku dan beberapa kali nemuin, tapi kami tetep dengan sikapku. Aku bersyukur, istri, anak-anak juga keluargaku ngedukung sikapku ini,” tanggapku.
“Tapi, om. Yang namanya kebenaran hakiki itu nggak ada di dunia ini. Semua penuh rekayasa. Om tahu konsekuensi dari pilihan om ini,” kata pak Ramdan. Menimpali.
“Biar aja yang nggak percaya adanya kebenaran, pak. Masing-masing kita berhak untuk itu. Aku yakin, kalau pun di dunia nggak ditemui kebenaran, di akherat nanti pasti ketemu. Soal konsekuensi, pastinya aku siap hadepi. Paling kan memperpanjang tinggal di bui aja. Apalagi susahnya, wong memang selama ini kita sudah disini kok,” sahutku, dengan santai.
“Babe tahu nggak ada dua hal yang ditakuti manusia,” kata pak Waras, beberapa saat kemudian.
“Apa itu, pak?” tanyaku, dengan cepat.
“Masuk bui dan masuk bumi,” jawab pak Waras.
“Lah, kita kan sudah masuk bui, tinggal masuk bumi alias mati. Terus apalagi yang mau ditakuti, pak. Buatku, nggak ada yang perlu ditakuti. Makanya, aku coba bener-bener istiqomah perbaiki diri, biar kalau masuk bumi nanti, husnul khotimah. Nggak tahu kalau orang lain, bisa aja takut dengan dua hal itu,” ujarku, tetap dengan santai.
“Bener juga kata pak Waras tadi ya, yang ditakuti orang selama ini kalau masuk bui dan masuk bumi. Aku sepakat sama ayah, karena kita sudah masuk bui, apalagi yang mau ditakuti. Berarti kan tinggal satu masuk lagi buat kita-kita ini. Toh, pada akhirnya semua juga masuk bumi alias mati,” kata Teguh, yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.
“Sebenernya, nggak salah juga kalau babe manfaatin kesempatan buat ngeringanin hukuman. Itu bentuk ikhtiar. Berusaha dan berjuang. Sah-sah aja nurutku,” ucap pak Waras, setelah diam beberapa lama.
“Bener sih, pak. Kita emang wajib ikhtiar, berusaha dan berjuang maksimal. Tapi dengan cara yang bener, yang dirihoi Tuhan. Kalau main di pengadilan itu kan jelas-jelas salah. Kita pasti kasih uang. Suap. Nyogok, gratifikasi. Tuhan pasti marah. Nah, aku lebih takut Tuhan nambah marah kalau aku lakuin permainan buat ngeringanin hukuman, wong kesalahan yang sekarang aja belum ditebus lunas,” jawabku.
“Kita hormati sikap babe. Prinsipnya, apa yang jadi keputusan babe, kami semua ngedukung. Tapi sebagai kawan setikar seketiduran di kamar 30, sewajarnya kami juga kasih masukan,” ucap pak Waras lagi.
“Kalau kamu kemarin, main nggak waktu di persidangan, Anton?” tanya kap Yasin, mengalihkan arah pembicaraan.
“Orang tuaku sama pengacara yang main, kap. Makanya, sebelum dibacain tuntutan dan vonis, aku sudah tahu bakal kena berapa lama di penjara,” kata Anton, terusterang.
“Kalau pak Ramdan sama pak Waras, main nggak waktu itu?” tanya kap Yasin lagi.
“Ya iyalah, kap. Pengacaraku yang pontang-panting lobi sana-sini. Sampai istriku berjualan mobil dan barang-barang lain buat menuhi kesepakatan,” jawab pak Ramdan.
“Hasilnya maksimal nggak?” kap Yasin bertanya penuh rasa penasaran.
“Ya maksimal sih, kap. Dari tuntutan jaksa, aku divonis setengahnya. Sesuailah sama apa yang istri keluarin buat ngurusku waktu itu,” lanjut pak Ramdan, dengan santainya.
“Kalau pak Waras, main juga ya,” ucap kap Yasin, sambil melihat ke arah pria bertubuh tambun yang tersangkut kasus peredaran garam beryodium tanpa izin itu.
“Dengan sangat terpaksa, aku nggak ikut main kayak kawan-kawan lain, kap. Karena nggak ada sarananya buat itu. Jadi, ya perbanyak doa aja selama persidangan. Alhamdulillah, akhirnya aku divonis dua pertiga dari tuntutan jaksa,” jawab pak Waras dengan kalem.
“Kalau Teguh, gimana rencanamu ke depan?” tanya pak Ramdan kepada Teguh yang tengah asyik menghisap rokok di tangannya.
“Belum tahu, pak. Nanti juga pasti ada yang ngurus kok, cuma aku nggak tahu siapa,” sahut Teguh, santai.
“Aneh kamu ini. Bilang ada yang bakal ngurus, tapi nggak tahu siapa. Gimana sih maksudnya,” sambung pak Ramdan.
“Maaf ini, pak. Kasusku kan bukan kaleng-kaleng. Narkoba dengan barang bukti enam kilogram lebih. Kebayangkan jaringannya. Aku percaya kalau pasti ada yang ngurus. Dan aku nggak perlu tahu siapa orangnya, gimana ngurusnya dan lain-lainnya. Yang penting, semua kebutuhanku tetep dicukupi dan nanti vonisnya juga nggak berat-berat amat,” urai Teguh.
“Kamu jangan terlalu pede, Guh. Kasusmu jadi perhatian banyak orang. Selalu ada beritanya di media massa. Bahkan kamu sidang hari ini aja, pasti banyak yang beritain. Saranku, gimana caranya kecilin perhatian media massa sama kasus kamu ini dulu, baru gampang mainnya,” kata Anton, memberi saran.
“O gitu ya, Anton. Jadi mesti jangan banyak diberitain ya,” tanggap Teguh, kali ini wajahnya tampak serius.
“Itu yang penting, Guh. Kalau banyak diberitain media massa, nggak berani juga jaksa sama hakimnya mau main macem-macem. Buat gimana caranya, sidang kasusmu nggak jadi perhatian wartawan. Dikemas kayak kasus recehan gitulah,” lanjut Anton.
Kami semua cukup serius memperhatikan saran Anton. Dan mengakui, bila perhatian media massa terhadap sebuah perkara yang tengah disidangkan, memang menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menjaga tetap tegaknya hukum dengan sebenar-benarnya. (bersambung)

