-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 458)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 03 April 2023


Oleh, Dalem Tehang 


MALAM terus bergerak sesuai alurnya. Perlahan, suasana rutan pun menyepi. Temaramnya sinar rembulan hampir tidak bisa dinikmati, karena terang-benderangnya belasan lampu yang terpasang di setiap sudut kompleks penahanan yang berisi sekitar 1.250-an orang bermasalah tersebut.


Aku beranjak dari ruang depan, diikuti kap Yasin. Menata kasur dan menyiapkan peralatan untuk tidur. 


“Aku pengen tanya ini, om. Jawab jujur ya,” ucap kap Yasin dengan pelan, sambil  duduk di atas kasurnya, tepat di samping kiriku. 


“Boleh, emang mau tanya apa sih, kap. Kayaknya serius bener,” sahutku, juga dengan pelan.


“Waktu tadi om denger tuntutan tiga tahun penjara itu, ada rasa kesel, marah, atau apalah yang buat pikiran om jadi nggak karuan, apa gimana,” lanjut kap Yasin, memandangku dengan serius.


“Nggak ada, kap. Aku malah senyum. Sampai-sampai pengacaraku heran, kok aku senyum setelah jaksa nyampein tuntutannya,” jawabku, dengan santai.


“Kok om malah senyum, emang kenapa?” tanya kap Yasin lagi. Ada rasa penasaran dalam pertanyaannya.


“Buatku, senyum itu ekspresi rasa syukur aja, kap. Dengan disampeinnya tuntutan, berarti kan jelas, berapa lama aku punya waktu buat benahi diri dari dalem sini. Aku pengen uber-uberan dengan masa penahananku nanti, kap,” ujarku.


“O gitu, nurut perkiraan om, kira-kira bakal divonis berapa nanti,” sambung kap Yasin, semakin penasaran.


“Aku nggak mau berandai-andai atau ngira-ngira, kap. Apa yang nanti diputusin majelis hakim, ya itulah takdir terbaik buatku benahi diri dari sini,” jawabku.


“Kok om jadinya pasrah gini ya,” kata kap Yasin, menyela dengan cepat.


“Ini bukan soal pasrah, kap. Tapi nyadari bener, kalau semua ini jalan takdirku. Kita kan nggak bisa ngelawan takdir, namun kita bisa ngisi takdir buat perbaiki diri. Nah, aku milih itu. Lagian, aku bersyukur kesalahanku sudah diazab waktu di dunia, jadi punya kesempatan untuk benahi diri. Kalau nggak diazab kayak gini, nanti kesalahan dan dosaku bakal dihakimi di akherat, nggak ada kesempatan lagi buat perbaiki diri. Kan gitu, kap,” tuturku, panjang lebar.


“Yah, kalau pikiran om larinya kesana, bener juga sih. Cuma kan kita hidup di dunia, banyak peluang yang bisa dimanfaatin buat ngeringanin hukuman. Saranku, mainlah, om. Sayang waktu kebuang lama di penjara itu,” kap Yasin menambahkan.


“Terimakasih sarannya, kap. Aku sangat hargai itu. Tapi aku sudah netepin sikap, ikuti alur apa adanya. Nggak mau ngotori proses pertaubatanku dengan ikhlas nerima takdir ini, lewat cara-cara yang nggak diridhoi Tuhan. Jujur, sekarang ini aku cuma takut sama Tuhan aja, kap. Nggak ada takutku pada sesama makhluk Tuhan,” tanggapku.


“Ya sudah kalau gitu, om. Aku hormati sikap om. Moga-moga sikap om diberkahi Tuhan,” ucap kap Yasin, dan merebahkan badan di kasurnya.


Setelah mengaminkan perkataan kap Yasin, aku pun merebahkan badan di kasur. Dan tidak lama kemudian, telah lelap dalam tidur panjangku.


Seusai melaksanakan solat Subuh berjamaah, aku memanggil tamping untuk dibukakan pintu sel. Bersama dengan pak Waras dan pak Ramdan, aku berolahraga. Seperti biasa, jogging mengelilingi lapangan sepakbola.


Sambil terus berbincang ringan, kami bertiga berjalan penuh semangat. Bersamaan dengan semakin meningginya gerakan mentari di ufuk timur yang ditandai oleh sinar terangnya.


Beberapa warga binaan mulai berdatangan. Membuat suasana di sekitar lapangan sepakbola menjadi ramai. Semua berolahraga. Menjaga kebugaran fisik masing-masing. Sekaligus menikmati hawa luar kamar sel yang penuh kesegaran.


Di lapangan volly, tampak Hamid beserta beberapa orang lainnya akan memulai permainan. Pak Waras mengajakku untuk bergabung. Namun pada saat kami akan menuju lapangan volly, seorang tamping kebersihan mendekatiku. Menyampaikan jika aku ditunggu komandan pengamanan di pos penjagaan dalam.


Segera aku meminta izin kepada pak Waras dan pak Ramdan. Dan berjalan bersama tamping yang menyusulku ke pos penjagaan dalam.


“Assalamualaikum, pak. Sehat aja kan,” sapaku kepada komandan pengamanan yang tengah duduk santai menikmati siaran berita dari televisi.


“Waalaikum salam. Berkat doa pak Mario, saya sekeluarga sehat. Pak Mario juga sehat aja kan,” sahut komandan, dan langsung berdiri dari duduknya untuk kami bersalaman.


“Alhamdulillah, aku sehat-sehat aja, pak. Terimakasih sudah buat kebijakan untuk kami yang tua-tua bisa olahraga setiap pagi. Besar betul manfaatnya untuk kami,” kataku.


“Itu juga kan berkat masukan pak Mario. Dan setelah saya laporkan ke KPR dan kepala rutan, mereka sepakat. Makanya bisa jalan semua ini dengan baik,” jawab komandan, dengan merendah.


Setelah meminta tamping membuatkan aku minuman hangat kopi pahit, ia mengajakku duduk di teras pos penjagaan. Dua bungkus nasi uduk serta dua gelas air mineral menjadi pelengkap perbincangan kami. Sambil menikmati sarapan, banyak hal yang kami bicarakan. Hingga kemudian komandan menanyakan perkembangan persidanganku.


“Jadi, dengan tuntutan tiga tahun itu, pak Mario punya rencana apa?” tanya dia.


“Nggak ada rencana apa-apa, pak. Paling ya sampein pembelaan dengan ungkapin yang sebener-benernya aja. Terserah nanti majelis hakim nilai dan mutusinnya,” jawabku.


Seperti beberapa kawan, komandan juga menyarankan aku untuk “bermain” jika memang ada peluangnya. Dengan panjang lebar, aku pun menjelaskan sikapku.


“Aku hargai kalau itu pilihan pak Mario. Hidup memang nentuin pilihan. Dan setiap pilihan yang kita ambil, pasti diiringi konsekuensinya,” kata komandan yang sejak awal aku masuk rutan telah banyak membantu dan seiring perjalanan waktu menjadi sahabat dekatku. 


“Mohon doanya ya, pak. Aku yakin, pilihanku kali ini yang terbaik buatku saat ini. Apalagi disupport sama istri, anak-anak juga keluarga. Makin buatku yakin dan percaya diri,” kataku lagi.


“Pasti saya juga doain, pak. Hanya saya perlu ingetin, pak Mario harus bener-bener bersih hati dalam jalani pilihan ini,” ucap komandan pengamanan, setelah kami berdiam beberapa saat untuk menyelesaikan sarapan.


“Maksudnya gimana, pak?” tanyaku, dengan hati-hati.


“Maksudnya, jangan ada sedikit pun di hati pak Mario rasa dendam, marah, dan hal-hal negatif lainnya. Bener-bener lepasin semua rasa yang bisa ngerusak keikhlasan jalani takdir ini. Kalau tiba-tiba muncul rasa marah atau dendam, cepet-cepet istighfar. Pasrah total kepada Pemilik Kehidupan, jangan setengah-setengah,” jelasnya.


“Inshaallah, pak. Mohon doa dan bimbingannya,” ujarku, dengan sungguh-sungguh.


“Disini kita hanya bisa saling asih, asah, dan asuh, pak. Dan tetep saling hargai pilihan masing-masing,” tanggap komandan. Ada senyum ketulusan di sudut bibirnya.   


Terasa nyaman jiwaku mendapat support komandan pengamanan yang memang dikenal bersahaja dan dekat dengan semua warga binaan di rutan ini. Kemerdekaan bersikap tetap mendapat tempat yang bebas dan dihargai. Bahkan, perbedaan pendapat pun menjadi sesuatu yang dihormati. Hanya pergerakan raga yang dibatasi. (bersambung)

LIPSUS