Oleh, Dalem Tehang
SESAMPAI di kamar, aku langsung duduk di bidang tempatku. Merebahkan kasur dan memulai membuat pembelaan pribadiku. Sesuai dengan keinginan istriku Laksmi, juga penekanan adikku Laksa, agar aku menyampaikan semua peristiwa dengan yang sesungguh-sungguhnya, maka aku pun menuangkan pledoi dengan apa adanya.
Begitu konsentrasinya aku menulis sambil merebahkan badan di kasur, sehingga tidak menyadari bila di dekatku telah berdiri komandan pengamanan. Sampai kemudian Anton menegur, baru aku menengokkan wajah.
“Oh, maaf, pak,” kataku, begitu mengetahui komandan pengamanan yang telah menjadi sahabat dekatku itu, berdiri di bagian bawah tempatku merebahkan badan.
“Saking seriusnya buat pledoi sampai nggak tahu kalau ada yang dateng ya, pak. Bagus itu, berarti pak Mario tetep nggak kehilangan konsentrasi. Biasanya, banyak orang sejak masuk sini malah nggak bisa lagi berpikir serius,” ujar komandan pengamanan, seraya tersenyum.
“Maksain buat tetep bisa konsentrasi aja sih ini, pak. Karena emang butuh itu buat nuangin kalimat dalam pledoi,” sahutku, juga sambil tersenyum dan bangun dari merebahkan badan.
Sesaat kemudian, pria bertubuh tinggi besar itu membuka kancing baju dinasnya. Ia keluarkan sebuah bungkusan kecil. Langsung diserahkannya kepadaku.
“Ini botol pak Mario. Pakai aja, aman sekarang. Kalau ada sipir yang tanya, bilang aja kepala rutan yang pinjemi,” kata dia dan aku pun membuka bungkusan tersebut. Ternyata berisi hpku beserta chargernya. Yang selama ini memang disimpan komandan di dalam lokernya di pos penjagaan.
“Alhamdulillah. Terimakasih bantuannya ya, pak,” jawabku, dan menyalami komandan.
“Santai aja, pak. Tetep yakin, pasti ada aja kemudahan sepanjang kita terus berniat buat perbaiki diri,” kata dia lagi, tetap dengan tersenyum.
“Iya, terimakasih juga atas motivasinya, pak. Seneng saya, kita bisa bersahabat,” lanjutku.
“Sama-sama, saya juga seneng bisa kenal deket dengan pak Mario. Pasti ada hikmah positifnya kita ditemuin dalam kondisi seperti ini. Yang pasti, sepanjang pak Mario konsisten buat perbaiki diri, Tuhan akan kasih kemudahan-kemudahan. Apalagi lakuinnya di tempat seperti ini. Dengan tantangan yang lebih berat, dengan lingkungan yang mayoritas nggak sejalan, pastinya akan dipercepat kebaikan selama kita sungguh-sungguh berniat perbaiki diri,” tutur komandan dengan panjang lebar.
Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan kamarku. Dan kembali mendampingi kepala rutan yang masih berkeliling di Blok B. Kawasan penahanan bagi para pelaku tindak kriminal umum.
Aku pun langsung mengaktifkan telepon seluler yang telah kembali ada di tangan. Dan menghubungi istriku melalui chat. Cukup lama kami berkomunikasi, sampai kemudian terdengar suara adzan Dhuhur, baru aku menyudahi komunikasi kami.
Selepas mengikuti solat berjamaah di masjid dan makan siang bersama, kembali aku konsentrasi membuat pledoi. Hingga suara adzan Ashar terdengar dari masjid. Ketika beberapa kawan mengajakku ke masjid untuk solat berjamaah, aku memilih solat di kamar. Untuk segera menyelesaikan pembelaan pribadiku.
Tepat adzan Maghrib, tulisan untuk pembelaanku telah rampung. Kembali aku mengaktifkan telepon seluler. Memfoto halaman demi halaman dari pledoiku dan mengirimkannya ke istriku.
“Nanti diketik aja sama anak-anak ya, ayah. Biar rapih pembelaan ayah ini,” kata istriku Laksmi melalui chat.
“Boleh juga itu, bunda. Ya sudah, minta tolong anak-anak buat ngetikinnya ya. Dibuat yang rapih dan diprint beberapa rangkap,” balasku.
“Oke, ayah. Tetep jaga kesehatan ya. Nggak usah banyak pikiran. Yakini aja, Tuhan akan terus kasih kemudahan,” sahut istriku.
Dan setelah mematikan telepon seluler, aku bergegas mengikuti solat berjamaah dengan imam kap Yasin. Seusainya, seperti biasa, aku membaca Alqur’an, hingga suara adzan Isya mengalun merdu dari masjid di dalam kompleks rutan.
Saat makan malam bersama, kap Yasin menanyakan mengenai telah kembalinya hp ke tanganku. Dengan gamblang, aku pun menceritakan semuanya. Dibumbui sedikit sensasi, bila kepala rutan yang memerintahkanku untuk memegang telepon seluler guna memberi laporan kepadanya setiap perkembangan di Blok B.
Mendengar penuturanku, tampak kawan-kawan sekamar sedikit terhenyak. Aku memperhatikan berubahnya beberapa raut wajah di antara mereka. Termasuk kap Yasin.
Aku memang sengaja menebar perkataan demikian, untuk menengarai siapa di kamar kami yang sebenarnya menjadi “cepu”, hingga beberapa waktu yang lalu aku menjadi sasaran tembak dengan adanya razia besar-besaran guna menangkap tangan keberadaan telepon selulerku.
Dan dengan perkataanku, pasti ada di antara penghuni kamar akan “menjual” informasi ke beberapa sipir yang memang biasa bermain kasar dengan menyita hp yang tidak membayar iuran siluman bulanannya, untuk kemudian meminta uang sebagai tebusan.
“Hebat bener ternyata ayah ini. Diem-diem rupanya kepala rutan yang jadi backingnya,” kata Teguh, menanggapi perkataanku.
“Tetep aja ada kemudahan di balik kesulitan, Guh. Yang penting hati bersih, jangan iri dengki, apalagi nelikung kawan sendiri,” sahutku, sambil tersenyum.
“Kok bisa ya, kepala rutan kasih om dispensasi sebesar ini,” kap Yasin menyeletuk.
“Ya nggak tahu apa alasannya, kap. Cuma itulah yang terjadi. Saksinya ya komandan. Makanya dia tadi langsung anter hp-ku kesini,” jawabku dengan nada santai.
“Emang banyak hal sering nggak masuk akal ya kita hidup di rutan ini,” kata kap Yasin lagi.
“Mau dimana juga kita hidup, memang banyak hal yang nggak masuk akallah, kap. Kenyataannya, ada hal-hal yang bisa kita kendaliin, tapi banyak juga yang di luar batas kemampuan kita ngendaliinnya,” pak Waras menimpali.
“Misalnya kayak apa, pak?” Anton menyela.
“Yang bisa kita kendaliin itu mulai dari pikiran, perbuatan, perasaan, sampai ke perkataan kita, Anton. Yang nggak bisa kita kendaliin mulai dari perkataan orang lain, perbuatannya, pikirannya, tindakan sampai perasaannya. Kalau kita kaitin sama omongan kap tadi urusan hp babe sampai kepala rutan yang kasih dispensasi, ya itu termasuk salah satu hal yang di luar batas pribadi kita kendaliinnya. Jadi, nggak usah jadi pikiran,” urai pak Waras.
“Bener juga yang diomongin pak Waras itu. Apa yang dilakuin kepala rutan ke om Mario emang di luar batas kemampuan kita mikirinnya. Yang jelas, sekarang om Mario aman pegang hp. Nggak ada siapapun yang berani ngelaporin macem-macem. Kita semua wajar ikut seneng,” pak Ramdan menimpali.
“Tapi, gimana juga, aku nggak bakallah pakai hp sembarangan, pak. Tetep ngejaga etika dan aturan disini. Cuma pakai pas penting-penting aja. Itu juga tetep di dalem gunainnya, nggak berani kalau di ruang depan. Justru beban ngejaga nama kepala rutan itu yang buatku lebih berat,” kataku, beberapa saat kemudian.
Setelah beberapa saat kongkow di ruang depan sambil menghabiskan satu batang rokok pelengkap kenikmatan makan malam, aku naik ke bidang tempat tidur. Membaca kembali pledoiku dilanjutkan dengan menulis pada buku catatan harian. Sebuah kegiatan pribadi yang bisa membuatku terus menemukan kenyamanan meski hidup di dalam sel sempit bersama belasan orang lainnya. (bersambung)

