-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 464)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 09 April 2023


Oleh, Dalem Tehang


KEASYIKAN kami berbincang sambil menikmati minuman dan makanan kecil, terhenti saat datang seorang pegawai kejaksaan yang bertugas menjaga tahanan selama berada di gedung pengadilan.


Dengan senyumannya saja, aku, istriku Laksmi, dan adikku Laksa, memahami jika kedatangan pegawai itu ke ruangan khusus tempat kami berkumpul, tidak lain memberi kabar bila kami harus segera berpisah. Aku wajib kembali ke rutan, istri dan adikku pulang ke rumah.


“Tetep jaga kesehatan ya, ayah. Plongin hati dan pikiran, karena semua beban yang ayah simpen selama ini, sudah dilepasin lewat pembelaan tadi. Makin dibawa enjoy aja hari-hari ayah di dalem rutan. Yakini, Allah telah tentuin takdir ayah dan nggak akan salah,” kata Laksmi, ketika aku berpamitan.


Tangannya menggenggam erat kedua telapak tanganku. Ku rengkuh ia dalam pelukan. Ku salurkan hawa kedamaian yang menembus batin. Betapapun terpuruknya kondisiku secara lahiriyah, tidak sedikit pun mematahkan ketegaran jiwa. Karena tetap hadirnya wanita terbaik dalam hidupku. 


“Titip ayukmu sama anak-anak ya, dek. Kakak percaya, kamu bisa jadi pengganti kakak dengan lebih baik buat mereka,” ucapku, saat berpelukan dengan Laksa.


Tatapan Laksa begitu teduh. Di balik wajahnya yang keras. Sebuah ekspresi batin yang sarat dengan ketenangan dan kesabaran. Yang membuatku menemukan kenyamanan bila bertatapan dan berdekatan dengannya.


“Inshaallah, ayuk sama anak-anak tetep baik-baik aja, kak. Yang penting kakak terus jaga kesehatan, tetep sabar dan ikhlas jalani semua ini. Nggak ada ujian yang nggak ada akhirnya,” sahut Laksa, seraya melepaskan seulas senyum.


Dengan membawa satu kantong plastik berisi makanan, aku menaiki mobil tahanan. Dan langsung duduk di samping Teguh. Yang sudah terlebih dahulu masuk kendaraan. 


Dan seperti biasa, aku duduk membelakangi pengemudi. Semua tahanan yang satu mobil, sepertinya sudah memahami bila posisi itu merupakan tempat favoritku, sehingga tidak pernah ada yang mendahului duduk pada kursi tersebut.  


“Ayah kayaknya ceria bener,” ucap Teguh, setelah melihatku menyulut sebatang rokok untuk menepis beragam bau badan kawan-kawan satu kendaraan.


“Alhamdulillah, Guh. Aku sudah plong hari ini,” jawabku, singkat.


“Lah, kan baru pembelaan sih. Belum vonis, kok sudah plong. Masih panjang lo prosesnya, ayah,” lanjut Teguh, seraya meminta sebatang rokok kepadaku.


“Kalau proses sidangnya, iya masih beberapa kali lagi, Guh. Tapi, hatiku sekarang sudah plong karena bisa nyampein kebenaran yang sebener-benernya dalam perkaraku ini,” jelasku, dengan santai.


“Ayah optimis pembelaan tadi bakal jadi pertimbangan hakim?” tanya anak muda yang terlilit skandal jaringan internasional peredaran narkoba enam kilogram itu.


“Ya optimis dong, Guh. Buat apa nyampein pembelaan kalau nggak optimis. Tapi, intinya bukan soal itu. Buatku, yang penting bisa nyampein peristiwa yang sebenernya, itu aja. Soal jadi pertimbangan hakim atau gimana nanti mutusin, itu wewenang mereka. Aku sudah ikhlas apapun keputusannya,” uraiku.


Seorang tahanan yang duduk di lantai mobil tepat di depan kami, meminta rokok. Segera aku memberinya, dan menyulutkannya.


“Terimakasih, om. Aku tadi denger pembelaan om, ikut prihatin juga,” kata tahanan berusia 45 tahunan itu.


“Kenapa kamu prihatin?” Teguh menyela.


“Om kan jadi begini karena saking percayanya sama kawan. Apalagi kalau mau buktiin penipuan atau penggelapan, sebenernya kan mesti runtut peristiwanya juga ada bukti barang yang digelepin. Sebelumnya aku pernah denger juga waktu jaksa nyampein dakwaan, kan nggak jelas runtutannya. Cuma pengakuan pelapor dan saksi-saksi yang memang koleganya. Tapi, aku kagum juga sama keluasan hati om, yang mau ngakui kesalahan dan keteledoran. Mudah-mudahan aja majelis hakim terbuka hati dan pikirannya untuk berbuat adil,” kata tahanan itu, panjang lebar.


“Kok kamu kayaknya paham bener kasus ayah sih,” sambung Teguh, mengernyitkan dahinya.


“Kan beberapa kali sidang, kami samaan, juga satu ruangan. Kebetulan om ini selalu sidangnya duluan. Jadi aku dengerlah yang diomongin. Dan itu jadi pembelajaran juga buatku,” jelas tahanan itu, sambil tersenyum.


“O gitu. Kalau nurut kamu, kira-kira ayah nanti divonis gimana. Sesuai tuntutan jaksa, lebih tinggi atau lebih rendah,” kata Teguh lagi.


“Kalau fair, nurutku om ini bakal divonis lebih ringan dari tuntutan jaksa. Kecuali kalau pelapor nyiram lagi, pasti lebih tinggi,” ujarnya, penuh percaya diri.


“Maksudmu nyiram lagi itu gimana?” tanyaku, yang penasaran juga dengan perkiraan tahanan tersebut.


“Aku pernah ngalami kasus kayak om ini. Kena pasal 378 dan 372. Aku tahu persis, pelaporku sejak awal main sama penyidik juga jaksa. Sama, aku juga dituntut tiga tahun. Pas mau vonis, pelaporku nyiram lagi lewat jaksa, akhirnya vonisku lebih tinggi dari tuntutan. Jadi empat tahun sesuai ancaman maksimal pasal yang didakwain,” urai tahanan itu. Ada senyum kecut di bibirnya, yang terus menghisap rokok di tangannya. 


“Oh gitu, jadi kamu bukan yang pertama ini ya disidang,” tanggap Teguh, semakin semangat berbincang.


“Bukan, ini yang kedua. Sekarang aku kena kasus pencurian dengan pemberatan. Aku ngebobol brankas kantor karena sakit hati sama bos. Gajiku nggak dinaik-naikin, padahal orang baru aja sudah dua kali naik gaji,” tuturnya, seraya tersenyum. 


“Waktu kasus pertama dulu dengan vonis empat tahun, berapa lama kamu di penjara,” ujarku.


“Seingetku dua tahun dua bulan sudah bebas,” jawabnya, singkat.


“Kok bisa gitu?” tanyaku. Terkaget.


“Aku ngurus semua remisi, om. Ada remisi lebaran juga 17 Agustusan. Aku selalu dapet potongan dua bulan sekali remisi. Terus ajuin pembebasan bersyarat. Makanya bisa cepet keluar,” sambung tahanan tersebut.


“Kenceng juga dong uangnya, sampai kamu rutin dapet remisi dua bulanan itu,” kata Teguh. Menyela.


“Di dunia ini semua kan ada harganya. Nggak ada yang gratisan. Istilahnya, ada rupa, ada harga. Apalagi buat kita-kita yang tahanan ini. Kalau cuma modal pembelaan tapi nggak ada isinya, jangan punya harepan berlebihan deh. Nanti sakit hati sendiri,” jawab dia, dan kembali tersenyum.


“Kalau kamu, main nggak di proses persidangan ini?” tanyaku lagi.


“Yah, main sekedarnya sih, om. Biar nggak divonis maksimal aja. Buatku, yang penting cepet ketok palu jatuh hukumannya berapa. Nanti mainnya di dalem. Ya, lewat remisi-remisi itulah. Kan legal. Ngapain keluarin uang banyak-banyak buat main di pengadilan, nggak besar juga pengaruhnya,” jawab tahanan tersebut, dan kembali mengumbar senyuman.


Tanpa kami sadari, mobil tahanan telah sampai di pelataran rutan. Segera kami bersiap-siap untuk secara berurutan turun dari kendaraan. Dua pegawai kejaksaan didampingi dua anggota Polri yang memegang senjata laras panjang, mengawasi langkah kami sampai masuk ke gerbang utama rumah tahanan. Wajah mereka selalu menunjukkan ekspresi tegang. Menebar pesan, agar kami tidak melakukan hal-hal diluar ketentuan. (bersambung)

LIPSUS