Oleh, Dalem Tehang
SESAMPAI di kamar, aku langsung mandi dan berganti pakaian. Baju dan celana kotor langsung aku masukkan ke dalam kantong plastik tersendiri. Untuk nantinya dibawa pulang ke rumah saat istriku melakukan kunjungan.
Sambil sarapan di ruang depan, aku mendengar perbincangan serius antara kap Yasin dengan Teguh dan Anton. Kedua tahanan yang masih usia muda itu mengeluhkan gaya seorang penghuni kamar 32 yang selalu menunjukkan bila dirinya memiliki banyak uang namun dikenal pelit.
“Inget ya, ini penjara. Jadi, nggak usah pengen diajak, nggak usah pengen disapa, juga nggak usah pengen dianggep. Tetep pede, kalau kalian akan baik-baik aja walau nggak berkawan dengan anak itu. Kalian kan masih muda, harus jadi orang luar biasa nantinya. Dan buat itu semua, ya perlu waktu, perlu disakiti, perlu air mata, perlu dihina, juga perlu jam terbang tinggi,” kata kap Yasin dengan penuh semangat.
“Kami sih paham soal itu, kap. Cuma kadang kan emosi juga ngelihat gayanya itu. Kayak dia bisa ngatur semua orang disini karena berduit,” tanggap Teguh dengan menahan emosi.
“Jadi gini, anak-anakku. Nggak ada kesusahan yang kekal, nggak ada kegembiraan yang abadi, nggak ada kefakiran yang lama, juga nggak ada kemakmuran yang lestari. Begitu kata Imam Syafi’i. Disinilah kita ditempa buat jadi orang yang sabar, yang ikhlas, yang kuat dan tegar. Disyukuri aja apapun yang ada, walau itu sangat nggak ngenakin,” pak Waras ikut memberi wejangan kepada Teguh dan Anton.
“Kunci biar nggak gampang kesel ngelihat kelakuan orang yang songong gimana ya, pak?” tanya Anton kepada pak Waras.
“Perbanyak belajar agama aja, Anton. Tapi, belajarnya yang bener, jangan semau kita sendiri,” jawab pak Waras.
“Maksudnya, pak?” tanya Anton lagi.
“Jadi begini. Kalau kita belajar agama cuma pakai mata, kita hanya ngelihat huruf-hurufnya. Kalau pakai akal pikiran, yang kita temuin hanya sebuah pengetahuan. Tapi, kalau kita belajar agama pakai hati, kita bakal rasain indahnya kasih sayang dan cinta yang suci. Dan kalau kita belajarnya gunain jiwa, kita akan tahu siapa pemilik agama dan ilmu yang sesungguhnya,” pak Waras mengurai panjang lebar.
“Bagus bener omongan pak Waras ini. Dalem emang ilmunya. Seneng aku bisa sekamar dengan ustadz hebat begini,” ujar Teguh, dan mengatupkan kedua tangan di dadanya sambil membungkukkan badan ke arah pak Waras, yang duduk santai bersandar pintu kamar sel.
“Nggak usah cepet-cepet muji orang, Guh. Juga jangan kecepetan ngehujat orang. Biasa-biasa aja. Cukup dirasain dalam jiwa. Yang aku sampein itu kan kata filosof terkenal Jalaluddin Rumi, bukan asli hasil olah pikiranku,” sahut pak Waras, tetap dengan ciri khasnya; kalem.
“Apapun itu, pak. Buatku apa yang pak Waras sampein bener-bener ngena dan aku termotivasi untuk nambah serius belajar agama,” sambung Teguh.
“Alhamdulillah. Aku seneng kalau makin banyak di antara kita yang terbuka mata batinnya untuk ningkatin pengetahuan agamanya. Karena itu modal kita ngadep persidangan yang sesungguhnya di akherat nanti,” lanjut pak Waras.
“Tapi inget juga Teguh sama Anton. Kemauan aja nggak cukup, harus dikombinasiin sama tindakan. Istilahnya, ngelihat tangga aja nggak cukup, kita harus naikinya,” kap Yasin menimpali.
Tiba-tiba datang dua orang sipir, berdiri di balik jeruji besi. Memerintahkan kami untuk segera merapihkan semua isi kamar, dan tidak boleh ada warga binaan bertelanjang dada meski tetap berada di dalam kamar.
“Memangnya mau ada apa, dan?” tanya kap Yasin.
“Ada kunjungan anggota DPR-RI. Mereka mau keliling, ngelihat kondisi kamar sel. Jadi semua kamar harus bersih dan rapih. Nggak boleh ada baju yang ngegantung di tembok,” jelas salah satu sipir, dengan wajah serius.
“O gitu. Siap, dan,” jawab kap Yasin.
Segera kami berbenah. Masing-masing merapihkan barangnya. Menaruhkan di loker dan di tempat yang tidak tampak dengan sekali pandangan mata. Hanya pak Waras yang tetap duduk di tempatnya. Bahkan ia sama sekali tidak menyentuh kaos yang sejak tadi ada di pangkuannya.
“Pakai dulu kaosnya itu, pak. Nanti jadi masalah kalau anggota DPR-RI ngelihat pak Waras telanjang dada gini,” kata kap Yasin, mengingatkan.
“Santai aja, kap. Nurut feelingku, nggak bakalan mereka sampai ngecek kamar kita,” jawab pak Waras dengan santainya.
“Kenapa gitu, pak” tanyaku, yang sejak tadi hanya diam karena menghabiskan sarapan.
“Babe kayak nggak paham aja. Bos-bos di rutan pasti sudah nyiapin kamar mana aja yang mau dilihat anggota DPR itulah. Lagian, kunjungan wakil rakyat kayak gini kan sekadar formalitas doang. Nggak bakal bawa pengaruh perbaikan juga buat kita-kita kok,” jelas pak Waras.
“O gitu. Kok pak Waras yakin bener kayak gitu, kenapa?” tanyaku lagi, penasaran.
“Aku kan pernah juga jadi anggota Dewan, be. Walau tingkat kabupaten. Jadi pahamlah gimana gaya kunjungan kerja kayak gini. Sudahlah, nggak usah buat kita gupek,” lanjut pak Waras, kali ini disertai tawanya.
“Tapi lihat dong di luar. Semua masuk kamar. Nggak ada keramaian lagi. Jadi tertib gini suasananya,” celetuk Teguh.
“Biasa itu, Guh. Dikondisiin kayak gini, biar kelihatannya bagus. Warga binaannya tertib dan manut semua. Paling juga nanti anggota DPR itu muter di depan aja, setelah itu ngobrol di kantor. Makan-makan, dibawain buah tangan, nggak jarang juga diamplopin, terus pulang,” tutur pak Waras, tetap dengan santainya.
“Nggak nyangka aku, rupanya pak Waras ini mantan wakil rakyat juga. Kayak Aris temen om Mario dong,” ucap Anton, sambil tertawa.
“Itu sekadar pernak-pernik kisah perjalanan hidup aja, Anton. Tapi ada fakta yang mau aku sampein. Waktu kita di atas, akan ada yang ngedukung sekaligus jatuhin kita. Jadi, hati-hatilah,” kata pak Waras lagi.
“Bener itu, pak. Ada saudaraku yang pernah jaya jadi anggota Dewan. Kaya raya dia. Tapi, pas mau nyalon lagi, sudah habis-habisan harta yang didapetnya, malah nggak kepilih. Sampai nangis berhari-hari dia sekeluarganya,” kata pak Ramdan, menimpali.
“Ya itulah misteri kehidupan, pak. Kita nggak pernah tahu. Putarannya nggak terduga. Dan nangis yang jatuhin air mata itu sesuatu yang amat manusiawi. Terkadang, air mata lebih jujur daripada senyuman, sebab ia jatuh saat hati kita merasa tersentuh. Sedangkan senyuman bisa aja hanya buat nutupi kesedihan,” tanggap pak Waras.
Mendengar penuturan pak Waras yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan, aku hanya bisa manggut-manggut sebagai ekspresi kekaguman atas keluasan pengetahuannya. Tentu saja, aku merekam semua ke dalam otak. Terus mengisi cangkir terbuka yang ada di kepala. (bersambung)