Oleh, Dalem Tehang
KETIKA suara adzan Dhuhur terdengar dari masjid, tersadarlah kami bila semua warga binaan tidak bisa ikut solat berjamaah, kecuali khusus yang tergabung dalam majelis taklim rutan.
“Kok pintu nggak dibuka ya, kan waktunya kita keluar kamar sekalian solat di masjid,” kata Teguh.
“Ya gara-gara ada kunjungan anggota DPR itulah makanya kita di-keong kayak gini, Guh. Sudah biasa yang kayak gini setiap kali ada kunjungan pejabat pusat,” jelas kap Yasin.
“O gitu, kap. Berarti malah ngehambat orang beribadah aja dong mereka kunjungan itu,” sambung Teguh.
“Nggak usah ngenilai negatifnya, Guh. Ambil positifnya aja. Kita bisa jamaahan di kamar. Nggak pernah kan kita solat bareng pas waktu dhuhur, ya sekarang kita lakuin. Gitu aja kok repot,” celetuk pak Waras yang segera bergerak menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Melihat “sang suhu” bergerak ke kamar mandi untuk kemudian melaksanakan solat, kami pun menyusul. Bergantian melakukan wudhu. Beberapa saat kemudian, mayoritas penghuni kamar 30 melakukan persujudan kepada Sang Khaliq.
“Alhamdulillah, kita bisa jamaahan solat dhuhur di kamar. Inshaallah kita semua dan tempat ini selalu diberkahi Yang Kuasa,” ucap pak Waras selepas menjadi imam solat dan memimpin doa.
Pak Ramdan segera menyiapkan makan siang. Dibantu beberapa penghuni kamar lainnya. Tepat kami tengah mengisi perut, apel siang berlangsung. Sipir yan bertugas didampingi seorang tamping hanya menghitung dari balik jeruji besi, tanpa kami perlu berdiri dan berbaris seperti biasanya.
Seusai makan siang dan menikmati satu batang rokok cap Mangga, aku menuju bidang tempatku. Leyeh-leyeh. Dan tidak lama kemudian telah terlelap dalam tidur. Sampai kemudian dibangunkan oleh Anton untuk solat Ashar ke masjid.
“Jadi kesini nggak anggota DPR-RI tadi, Ton?” tanyaku kepada Anton.
“Nggak, om. Bener feeling pak Waras, mereka cuma lewat di depan pintu blok aja. Infonya, tiga kamar di Blok A dan empat di Blok C yang dilihat langsung sama mereka. Habis itu mereka balik ke kantor. Barusan aja ninggalin rutan ini,” jelas Anton.
“Syukur kalau gitu, Ton. Nggak nambah-nambah urusan kita,” sahutku, dan bergegas masuk kamar mandi untuk berwudhu.
Selepas solat berjamaah Ashar, aku mengikuti tausiyah ustadz Umar. Koordinator majelis taklim ini mengingatkan perlunya semua warga binaan untuk terus berbagi dengan sesama. Karena pahala bagi yang peduli dengan nasib sesama dalam situasi dirinya yang sulit, justru sangat besar.
“Saya ingin sampaikan khutbah terpendek yang pernah dilakukan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani. Beliau mengatakan: satu suap kamu masukkan makanan ke dalam perut orang yang lapar, lebih baik dari kamu membangun seribu masjid jami’. Dan lebih baik dari memberi kiswah Ka’bah dengan kain sutera. Lebih baik dari orang yang melakukan solat malam dan rukuk. Juga lebih baik dari berjihad melawan kaum kafir dengan pedang yang terhunus. Dan lebih baik daripada berpuasa selama satu tahun pada musim panas. Kamu perlu ketahui, jika makanan itu masuk ke dalam perut orang yang lapar, maka ia mempunyai cahaya matahari yang terang benderang,” ujar ustadz Umar.
Menurut dia, keberadaan di dalam bui bila dijadikan wahana meraih pahala sebanyak-banyaknya akan membawa kita terbebaskan dari semua dosa sebelumnya. Karena kesempatan untuk itu terbuka dengan lebar.
“Jadi, jangan kita pelit dalam berbagi dengan sesama kawan. Jangan biasakan tetep kenyang sendiri sedang kawan di sebelah kita kelaparan. Di tempat ini sebenernya banyak peluang kita meraih pahala sekaligus mengubur dosa-dosa di masa lalu,” imbuh ustadz Umar.
Ia juga menyampaikan agar kami mengingatkan istri masing-masing, bila melakukan kunjungan hendaknya membawa makanan hasil masakannya, bukan membeli dari warung atau rumah makan.
“Mengapa begitu, karena akan terus mengucur pahala untuknya dengan memasakkan makanan untuk kita. Rasulullah bersabda: makanan yang disediakan oleh istri kepada suaminya, lebih baik dari istri itu mengerjakan haji dan umrah. Juga beliau bersabda: ketika istri menyiapkan makanan pagi dan malam, maka pahala terus mengalir dari jari-jemarinya. Hadits lain menyatakan, sekali suami minum air yang disediakan oleh istrinya, lebih baik daripada istri berpuasa selama satu tahun penuh,” jelas ustadz Umar dengan panjang lebar.
Ia menambahkan, sekali kita bertekad untuk memperbaiki diri, maka lakukan dengan istiqomah. Jangan pekan ini rajin beribadah, sepekan kemudian meninggalkannya. Karena Allah tidak menyukai hamba-Nya yang berperilaku demikian.
“Dalam surah Yunus ayat 12, Allah mengatakan: Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali ke jalan yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan,” kata ustadz Umar lagi.
Mengakhiri kultumnya petang itu, mantan dosen ini meminta semua jamaah untuk belajar diam. Bicara seperlunya dan menjauhi ghibah.
“Seorang ulama di dalam kitab Jami’ Bayanil-ilmi wa Fadhlih mengungkapkan: belajarlah diam seperti engkau belajar bicara. Karena jika bicara tidak membimbingmu, maka diam akan menjagamu, dan dengan diam engkau akan mendapat dua hal; dengannya engkau bisa mengambil ilmu dari orang yang lebih berilmu darimu, dan dengannya engkau bisa menolak keburukan orang yang lebih pintar debat dari dirimu,” tuturnya lagi.
Sekembali dari masjid, aku langsung naik ke lantai atas, ke bidang tempatku. Mengambil buku catatan harian dan mencatat hal-hal penting yang aku alami dan dapati hari ini. Seperti kata pak Waras, sekecil apapun yang terjadi merupakan sebuah pelajaran kehidupan, yang layak untuk diingat dan dijadikan kenangan. (bersambung)

