-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 469)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 14 April 2023


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan Maghrib menyudahiku menulis pada buku catatan harian. Dengan terburu-buru, aku mandi dan mengikuti solat berjamaah di kamar, yang diimami kap Yasin.


Dan seperti biasa, setiap malam Jum’at, kami semua membaca surah Yasin bersama, dipimpin pak Waras. 12 penghuni kamar mengikuti prosesi peribadatan diikuti doa tersebut. 


“Kita harus pahami, memanjatkan doa itu bukan hanya agar keinginan terkabul, tetapi karena banyak hal yang patut disyukuri. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW mengatakan: Setiap kata adalah doa, dan setiap langkah adalah ibadah. Jangan berharap dipuji dan jangan takut dicaci. Bersihkan diri dari perkataan yang tidak baik, karena kata-kata yang baik adalah sedekah,” kata pak Waras, yang seusai memimpin doa, menyampaikan tausiyahnya.


Ia mengajak kami semua merenungi guliran kehidupan. Dimana di dalam bahagia, Allah selalu menyelipkan duka. Tidak lain agar kita tahu, pasti ada hikmah pada setiap cucuran air mata. Di dalam harap, Allah menaruhkan resah, agar kita sadar dan berdoa dengan penuh kesungguhan. Dan di dalam perjuangan, Allah meletakkan lelah, agar kita tahu mahalnya arti istiqomah.


“Suatu niat jika dilakukan dengan tulus dan ikhlas, pasti Allah beri balasan terbaik untuk kita. Namun, semua butuh waktu. Ada fase dimana sedih, kecewa, terluka, dan bahagia akan dipergilirkan. Jadi, apapun kondisi kita saat ini, nikmati dan syukuri aja, karena selepas ini kita semua akan berdamai kembali dengan diri kita yang sesungguhnya,” urai pak Waras.


Pria bertubuh tambun ini mengajak semua penghuni kamar 30 untuk terus merendahkan hati. Karena manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah mereka yang tidak melihat kedudukannya, dan manusia yang paling banyak memiliki kelebihan adalah mereka yang tidak melihat kelebihan dirinya.


“Kiat paling jitu agar amal perbuatan kita diterima oleh Tuhan, hanya satu. Yaitu kita melupakan amal perbuatan itu sendiri. Imam Al Ghazali menyampaikan, barang siapa mengeluhkan karakter atau perbuatan buruk orang lain, berarti ia telah mengungkapkan keburukan karakter atau perbuatannya sendiri,” sambung pak Waras.


Menurut pak Waras, manusia yang paling banyak kesalahan adalah orang yang paling banyak menyebutkan kesalahan orang lain. Itu sebabnya, hindarilah menilai orang lain dalam bentuk apapun. Karena memperbaiki diri sendiri adalah yang utama.


“Aku pernah membaca sebuah tulisan, bunyinya begini: Ketika orang yang kita cintai sakit, kita katakan itu ujian. Ketika orang yang kita benci sakit, kita katakan itu adzab. Ketika orang yang kita cintai terkena musibah, kita bilang karena ia orang baik. Ketika orang yang kita benci mendapat musibah, kita bilang karena ia dzalim. Hati-hatilah, jangan kita atur ketentuan Tuhan berdasarkan hawa nafsu kita sendiri,” ujar pak Waras lagi.


Pada bagian lain siraman rohaninya, pria yang dikenal sebagai ustadz kampung itu mengajak kami semua memahami dengan hati nurani dan pikiran yang bersih makna ayat 34 dari surah Luqman, yang artinya berbunyi: Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari kiamat, dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.  


Suara adzan Isya mengakhiri tausiyah pak Waras yang banyak menanamkan nilai-nilai kebersihan batin tersebut. Dan kami pun langsung melaksanakan solat berjamaah. Selepasnya, pak Ramdan dibantu beberapa kawan menyiapkan makan malam. Menggelar makanan di lantai atas ruangan sel bagian dalam. 


Sambil menikmati makan malam, Anton menyampaikan keinginannya untuk segera menikah seusai bebas dari penjara.


“Bagus itu, Anton. Berarti kamu sudah punya program begitu keluar nanti. Cuma saranku, baikan kamu cari kerja dulu. Jadi nggak ngandelin orang tua atau mertua aja hidup ke depan,” Teguh menyambut dengan cepat.


“Kalau kerjaan sudah pasti ada, Guh. Bapakku kan punya usaha sampingan, yaitu perusahaan advertising, tinggal aku gabung aja,” sahut Anton dengan santai.


“Syukur kalau gitu. Tapi, nurutku, nggak bagus kalau kamu ngedompleng kerja di perusahaan orang tua sendiri, Anton. Kamu nggak akan nemuin hal-hal sulit dalam bekerja, apalagi kalau kamu dituntut untuk bisa ngembangin perusahaan ke depannya. Sebagai anak pemilik perusahaan, para pimpinan di perusahaan orang tuamu pasti segen mau merintahin kamu kerjain ini dan itu, seperti karyawan lainnya. Dan itu sebenernya amat ngerugiin dirimu sendiri,” kata Teguh.


“Kenapa gitu, Guh. Bukannya malah enteng kerjaanku,” ucap Anton, menyela.


“Kalau kamu mikirnya untuk sesaat, ya iyalah pasti lebih enak kerja di perusahaan orang tua atau keluarga sendiri, Anton. Kamu bisa leha-leha, datang ke kantor semaunya, dan semua keenakan fasilitas kamu dapetin. Tapi, kalau kamu mikir buat masa depanmu, kamu malah rugi. Kemampuanmu nggak akan terasah, nggak teruji, dan kamu nggak punya keahlian yang bisa diandelin,” jelas Teguh lagi. 


“Tapi aku kan harus ada status punya kerjaan sebelum nikah, Guh. Dan yang paling mungkin, ya kerja di perusahaan orang tuaku itulah,” ujar Anton, menanggapi.


“Ya silakan aja kalau itu pilihanmu, Anton. Aku sih cuma kasih saran aja. Tapi nurutku, berumah tangga itu nggak semudah yang dibayangin lo. Bukan gitu ya, kap,” sambung Teguh, seraya meminta pendapat kap Yasin yang masih asyik menikmati makan malam dengan lauk ikan asin sambel hijau kiriman istriku.


“Ya, emang nggak mudah sih jalani kehidupan rumah tangga. Tapi sunah Nabi, kita nikah itu. Yakin aja, tetep bisa dijalani dengan baik kalau sama-sama sepaham dengan pasangan,” kata kap Yasin, dengan santai.


“Kalau kap dulu, sebelum nikah, ada pesen-pesen nggak dari orang tua?” tanya Anton. Menyela dengan cepat.


“Adalah, Anton. Waktu itu ibuku bilang: Nak, nikah itu bukan soal umur atau cinta, tapi kesiapan. Yaitu siap menderita, siap bahagia, siap terluka, siap merana, siap kecewa, siap berjuang, dan siap nerima kekurangan masing-masing. Itu pesen ibuku waktu aku mau nikah dulu,” tutur kap Yasin, sambil matanya menerawang melihat ke arah plafon. 


Melihat gerakan mata kap Yasin, kami yang masih menikmati makan malam, sesaat menghentikan aktivitas. Karena mendadak menyadari, ketika pikiran mengarah kepada ingatan terhadap kedua orang tua, ada rasa trenyuh yang mendalam di dalam jiwa. Sebuah keprihatinan dibalut rasa salah begitu kental, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. (bersambung)

LIPSUS