Oleh, Dalem Tehang
“KAMU yang cerdas itu, Guh. Nyambung aja kalau orang ngomong. Aku kagum sama anak-anak muda yang berilmu dan beradab. Dan buatku, orang beradab lebih bernilai dibanding berilmu tapi nggak punya adab,” sahut pak Ramdan, seraya tertawa ngakak.
“Emang aku kurang beradab, pak?” tanya Teguh dengan cepat.
“Jujur, kamu dan semua kawan di kamar ini, punya adab yang baik, Guh. Itulah yang buatku nyaman disini. Kalau ada yang berlaku kurang ajar, baikan aku pindah kamar, ketimbang nanti ribut,” jawab pak Ramdan, dengan nada serius.
“Alhamdulillah, masih ada yang ngakui kalau aku orang baik,” kata Teguh dan tertawa ngakak.
“Nurutku, terlepas dari apapun diskusi malem ini, yang penting kita sama-sama pegang fatsun ini: piring kotor itu perlu dibersihin, bukan disingkirin. Orang yang salah itu perlu dibina, bukan dihina,” kap Yasin menyela, dan ikut tertawa.
“Cocok aku dengan fatsun itu, kap. Tapi kenyataannya kan, kalau mantan napi banyak disingkirin dari pergaulan, bahkan banyak yang ngehina,” ujar Anton, memberi tanggapan.
“Ya biar aja orang nyingkirin atau ngehina, Anton. Kita tetep aja istiqomah. Toh, kita dapet pahala dari orang yang berbuat nggak baik sama kita, dan dosa kita pindah ke orang itu,” kata kap Yasin dengan nada santai.
“Jadi cuekin aja ya, kalau ada orang yang ngelihat kita kayak orang hina, kap,” tukas Anton.
“Cuekin aja, Anton. Ngapain dipikirin. Percaya aja, di balik orang yang ngerendahin atau mempersulit hidup kita, ada Tuhan yang ngangkat dan mudahin segala urusan kita. Mulai sekarang, ayo biasain terus berpikir positif apapun yang kita alami, bahkan setelah bebas nanti,” kata kap Yasin lagi. Terus menyemangati.
“Siap, kap. Seneng aku terus dapet tambahan ilmu kayak gini. Nambah semangat buat terus belajar,” lanjut Anton.
“Ada pelajaran yang jangan sampai kita lupain buat selamanya. Yaitu terus ngasah kesabaran. Karena dengan sabar, kita akan jadi manusia yang tetep ngerasa seneng-seneng aja, dan banyak urusan dunia nggak ngeriwehin kita,” kata pak Waras menimpali.
“Maksudnya gimana sih, pak?” tanya Teguh. Ada nada penasaran dari pertanyaannya.
“Karena di dalam kesabaran itu ada maaf, ada ridho, ada syukur, ada usaha, ada tawakal, juga ada takwa. Selain itu, dalam kesabaran nggak ada kedengkian, nggak ada keluhan, nggak kenal putus asa, pun nggak ada sakit hati. Itu yang pernah aku baca di sebuah buku. Coba telaah, begitu hebatnya kan kita kalau jadi orang yang sabar,” tutur pak Waras, dengan melepas senyum sumringahnya.
Kami semua tanpa sadar sama-sama mengangguk-anggukkan kepala. Membenarkan perkataan pak Waras yang demikian sarat makna. Dan teringatlah aku akan sepotong tulisan seorang sahabat: Kehidupan akan mengantarkanmu kepada tempat-tempat yang tidak terduga. Tapi cinta akan mengembalikanmu kepada rumah, tempat kamu kembali seutuhnya.
“Hidup ini emang penuh ketidakterdugaan ya. Aku sama sekali nggak pernah bayangin sebelumnya, kalau di penjara malah bisa banyak dapet ilmu kebaikan gini,” kataku, setelah kami sama-sama diam beberapa lama.
“Jangankan om. Yang maaf ini, belum berbuat sesuatu melegenda. Orang yang mampu ciptain ponsel aja, nggak nyangka kalau karyanya bakal bisa nguasai kehidupan ratusan juta anak manusia kok,” kata pak Ramdan.
“Emang gimana ceritanya, pak?” tanyaku, tertarik dengan perkataan pak Ramdan.
“Yang nyiptain ponsel atau telepon seluler itu namanya Martin Cooper, seorang insinyur asal Amerika Serikat. Dia buat gawai kecil itu sekitar 50 tahun lalu, sekarang umurnya ya sekitar 92 tahunanlah. Suatu saat, dia lagi di jalanan. Kagetlah si Bapak Ponsel ini, waktu ngelihat orang yang nyeberang jalan di depan mobilnya sambil mainin ponsel karyanya. Sampai dia ngaku terpukul dan nganggep orang-orang yang sambil nyeberang jalan main ponsel itu, layaknya orang gila. Itu bukti kalau seorang pencipta maha karya berupa telepon pinter sekali pun, ngalami ketidakterdugaan seperti kata om tadi,” urai pak Ramdan, dengan wajah serius.
Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Ada rasa bangga karena kawan satu selku banyak yang berpengetahuan luas. Dengan beragam keilmuan dan wawasannya masing-masing. Sebuah pengisian otak dengan beragam dimensi keilmuan dan keketahuan pun terus berlangsung secara alamiah.
Malam semakin larut, perlahan suasana rutan mulai sepi. Hanya sesekali terdengar suara tawa dari beberapa kamar yang penghuninya belum tidur. Tampak kap Yasin, juga pak Waras mulai menguap. Melihat itu, aku pun mengajak untuk memulai beristirahat.
“Ya sudah, yang tua-tua, silakan beristirahat. Biar kami yang masih muda begadang, jagain para tetua tidur,” kata Teguh, menyahuti ajakanku untuk mulai merebahkan badan.
“Emang kamu bisa jagain apa, Guh. Nyamuk aja masih ngegigit badan kamu kok,” celetuk kap Yasin, diiringi tawa lepasnya.
“Yang bener itu, yang muda-muda ngurutin kami yang tua, biar cepet tidur,” kataku, juga sambil tertawa.
“Siap, om. Aku mau ngurut om,” ucap Anton dengan spontan.
“Beneran, Ton. Nggak nolak kalau kamu mau mijit. Cuma telapak kaki aja tapi mijitnya ya. Pasti aku bisa tidur pules,” jawabku, dan bergerak ke bidang tempat tidur.
Anton memenuhi perkataannya. Ia langsung duduk pada bagian bawah badanku yang terlentang di atas kasur, dan tidak lama kemudian memulai gerakannya. Memijat telapak kakiku. Sentuhan tangan anak muda ini memang enak. Tidak tahu kapan mulainya, aku pun tidur dengan pulasnya.
Sebelum adzan Subuh, aku terbangun. Ketika meminum air putih dari tumbler yang ada di rak dekat tempat tidur, aku melihat pak Waras tengah tafakkur di sudut ruangan dekat pintu masuk ruang bagian dalam. Duduk di atas sajadah dengan menundukkan wajah dalam-dalam. Khusu’ menggerakkan jemarinya memainkan tasbih di tangan. Pertanda ia tengah menguntai wiridan.
Hatiku tergerak untuk melakukan hal yang sama. Merajut tali kebersamaan dengan Ilahi Rabbi. Setelah berwudhu, aku mengambil tempat di dekat pak Waras. Solat dua rokaat dilanjutkan dengan membaca istighfar. Saat suara adzan terdengar dari masjid di dalam kompleks rutan, aku pun menyudahi prosesi peribadatan. (bersambung)

